Aswaja An-Nahdliyah adalah sebuah frasa yang mencerminkan identitas dan landasan teologis serta metodologis salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia, yaitu Nahdlatul Ulama (NU). Frasa ini bukan sekadar label, melainkan esensi dari pemikiran keagamaan, pandangan dunia, dan praktik sosial yang dianut oleh jutaan umat Muslim di Nusantara. Memahami Aswaja An-Nahdliyah berarti menelusuri akar sejarah Islam di Indonesia, melihat bagaimana Islam berinteraksi dengan budaya lokal, dan mengapresiasi upaya-upaya menjaga moderasi dan toleransi di tengah keragaman.
Artikel ini akan mengupas tuntas tentang apa itu Aswaja (Ahlussunnah wal Jama'ah), bagaimana prinsip-prinsipnya diterapkan dan diinternalisasikan dalam konteks An-Nahdliyah, serta relevansinya di era modern. Kita akan menyelami landasan akidah, syariah, dan akhlak yang menjadi pilar Aswaja, kemudian melihat bagaimana Nahdlatul Ulama secara konsisten menjaga dan mengembangkan warisan intelektual ini menjadi sebuah gerakan sosial keagamaan yang transformatif.
Ahlussunnah wal Jama'ah, atau disingkat Aswaja, secara harfiah berarti "pengikut Sunnah Nabi dan Jama'ah (komunitas Muslim)". Istilah ini merujuk pada mayoritas umat Islam yang mengikuti ajaran Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya, serta generasi-generasi setelahnya yang menjaga kemurnian ajaran Islam dari berbagai bid'ah dan penyimpangan. Aswaja adalah manhaj (metodologi) beragama yang berpegang teguh pada Al-Qur'an, Sunnah Nabi, ijma' (konsensus ulama), dan qiyas (analogi) sebagai sumber hukum Islam, dengan tetap menghormati perbedaan pendapat (ikhtilaf) dalam batas-batas yang dibenarkan syariat.
Aswaja bukanlah sebuah sekte baru dalam Islam, melainkan representasi dari jalan tengah (wasathiyah) yang telah ada sejak awal sejarah Islam. Ia terbentuk melalui proses panjang interaksi intelektual dan teologis untuk merumuskan dan mempertahankan ajaran Islam yang sahih di hadapan berbagai aliran pemikiran yang muncul. Terdapat tiga pilar utama yang menjadi ciri khas Aswaja:
Dalam bidang akidah, Aswaja mengikuti formulasi yang dikembangkan oleh dua imam besar: Abul Hasan Al-Asy'ari (hidup sekitar abad ke-9 Masehi) dan Abu Manshur Al-Maturidi (hidup sekitar abad ke-10 Masehi). Keduanya dikenal sebagai pembela akidah Ahlussunnah dari berbagai pandangan ekstrem, seperti Mu'tazilah yang terlalu mengedepankan akal, maupun jabariyah yang meniadakan peran manusia. Ajaran mereka menitikberatkan pada konsep tauhid yang murni, sifat-sifat Allah yang Maha Sempurna, keimanan kepada malaikat, kitab-kitab suci, para nabi dan rasul, hari kiamat, serta qada' dan qadar. Mereka menjaga keseimbangan antara akal dan nash (teks agama), serta antara kehendak bebas manusia (ikhtiyar) dan kehendak mutlak Allah (iradah).
Kedua imam ini tidak menciptakan akidah baru, melainkan merumuskan dan menjelaskan akidah yang telah diwariskan oleh Rasulullah SAW dan para sahabat dengan metode yang rasional dan sistematis, agar dapat dipahami dan dipertahankan dari serangan filosofis dan teologis yang kompleks.
Dalam bidang fikih atau hukum Islam, Aswaja mengikuti salah satu dari empat mazhab utama yang diakui dan telah teruji metodologinya: Mazhab Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hanbali. Keempat mazhab ini merupakan warisan intelektual yang kaya, yang masing-masing memiliki metode istinbath (pengambilan hukum) yang ketat berdasarkan Al-Qur'an dan Sunnah, serta dilengkapi dengan ijma' dan qiyas. Masing-masing mazhab tidak mengklaim diri sebagai yang paling benar secara mutlak, melainkan sebagai jalan menuju kebenaran dengan kerangka metodologi yang kredibel.
Mengikuti salah satu mazhab ini adalah wujud dari sikap tawadhu' (rendah hati) dan kehati-hatian dalam beragama, karena mengakui keterbatasan ilmu individu dan mengikuti bimbingan para ulama yang telah mumpuni. Hal ini juga mencegah kekacauan dalam praktik hukum dan menjaga persatuan umat.
Dalam bidang akhlak dan tasawwuf, Aswaja mengikuti ajaran para sufi yang telah teruji kesahihannya dan tidak bertentangan dengan syariat, seperti yang diajarkan oleh Imam Al-Ghazali (w. 1111 M) dan Imam Junaid Al-Baghdadi (w. 910 M). Tasawwuf dalam Aswaja adalah proses penyucian jiwa (tazkiyatun nufus) dan pembentukan akhlak mulia (mahmudah) agar seorang Muslim dapat mendekatkan diri kepada Allah SWT. Ini bukan tentang meninggalkan dunia, melainkan tentang menghadirkan Allah dalam setiap aspek kehidupan, mengembangkan rasa syukur, sabar, ikhlas, zuhud, dan tawakal. Tasawwuf Aswaja selalu terikat pada syariat, artinya tidak ada tasawwuf yang benar jika ia melanggar hukum Islam.
Integrasi akidah, syariah, dan akhlak ini menjadikan Aswaja sebagai manhaj yang komprehensif, mencakup aspek keyakinan, praktik hukum, dan spiritualitas secara seimbang, membentuk pribadi Muslim yang kaffah (menyeluruh).
Selain pilar-pilar di atas, Aswaja juga memiliki beberapa karakteristik yang melekat, antara lain:
Frasa "An-Nahdliyah" secara spesifik merujuk pada Nahdlatul Ulama (NU), sebuah organisasi massa Islam terbesar di Indonesia yang didirikan pada abad ke-20. Nama "Nahdlatul Ulama" sendiri berarti "Kebangkitan Ulama", yang menunjukkan semangat para pendirinya untuk menghidupkan kembali peran ulama dalam menjaga tradisi Islam, pendidikan, dan kemandirian umat. NU secara tegas menjadikan Aswaja sebagai manhaj (metodologi) dalam beragama, berbangsa, dan bernegara.
Nahdlatul Ulama didirikan pada bulan Januari oleh para kiai kharismatik di Surabaya. Pendiriannya dilatarbelakangi oleh berbagai kondisi, baik internal maupun eksternal:
Para pendiri NU, dipimpin oleh Hadratussyekh KH. Hasyim Asy'ari, melihat bahwa ajaran Aswaja adalah kunci untuk menjaga kemurnian Islam yang selaras dengan budaya lokal (Islam Nusantara) dan mampu menghadapi tantangan modernisasi tanpa kehilangan identitas. NU didirikan untuk mempertahankan manhaj Aswaja dan melestarikan tradisi keilmuan pesantren yang telah terbukti membentuk karakter masyarakat Muslim Indonesia.
Nahdlatul Ulama tidak hanya sekadar mengklaim diri sebagai penganut Aswaja, tetapi mengimplementasikan prinsip-prinsipnya secara konkret dalam seluruh gerak langkah organisasi dan kehidupan warganya:
Aswaja An-Nahdliyah tidak hanya terbatas pada ranah ritual dan teologi, tetapi memiliki implikasi besar dalam kehidupan sosial, budaya, dan politik di Indonesia. NU, sebagai representasi Aswaja An-Nahdliyah, telah memberikan kontribusi yang tak terhingga bagi kemajuan bangsa dan negara.
Dengan prinsip-prinsip tawassuth dan tasamuh, NU menjadi garda terdepan dalam menjaga kebinekaan dan persatuan Indonesia. NU mengajarkan Islam yang ramah, bukan yang marah, Islam yang merangkul, bukan yang memukul. Konsep "hubbul wathan minal iman" (cinta tanah air adalah sebagian dari iman) yang digaungkan oleh KH. Hasyim Asy'ari menjadi doktrin fundamental yang mengikat warga NU pada nasionalisme yang kuat. NU melihat Indonesia sebagai "darul ahdi wa syahadah" (negara perjanjian dan kesaksian), yaitu negara yang didirikan atas dasar kesepakatan seluruh elemen bangsa dan wajib dijaga keberlangsungannya.
NU memiliki jaringan pendidikan yang sangat luas, mulai dari pondok pesantren tradisional, madrasah (diniyah, ibtidaiyah, tsanawiyah, aliyah), hingga perguruan tinggi. Pesantren, sebagai tulang punggung pendidikan NU, adalah lembaga yang mengajarkan ilmu agama secara mendalam, sekaligus membentuk karakter santri menjadi pribadi yang saleh, mandiri, dan bertanggung jawab. Sistem pendidikan ini melahirkan jutaan ulama, cendekiawan, dan pemimpin yang menjadi penggerak pembangunan di berbagai sektor. Pendidikan di pesantren juga menekankan pentingnya sanad (mata rantai keilmuan) yang bersambung kepada para ulama salaf, memastikan keberlanjutan tradisi Aswaja.
NU juga memiliki perhatian besar terhadap pemberdayaan ekonomi umat. Berbagai lembaga ekonomi, koperasi, dan program pelatihan keterampilan digalakkan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat, terutama di pedesaan. Prinsip zakat, infak, dan sedekah (ZIS) diajarkan dan diaplikasikan untuk menciptakan keadilan sosial. Ekonomi dalam perspektif Aswaja An-Nahdliyah adalah bagian integral dari ibadah, di mana mencari rezeki halal dan memberikan manfaat bagi orang lain adalah amal saleh.
Di tengah gelombang ekstremisme dan radikalisme global, Aswaja An-Nahdliyah melalui NU tampil sebagai model Islam moderat (Islam Nusantara) yang relevan. NU aktif dalam forum-forum internasional untuk menyuarakan perdamaian, toleransi, dan menolak segala bentuk kekerasan atas nama agama. Islam Nusantara, sebagai konsep yang diperkenalkan NU, adalah Islam yang berkembang di Indonesia dengan beradaptasi pada budaya dan kearifan lokal tanpa kehilangan substansi ajarannya, menjadi contoh Islam yang harmonis dan inklusif bagi dunia.
Meskipun dikenal sebagai penjaga tradisi, Aswaja An-Nahdliyah tidak jumud atau antiperubahan. NU memiliki mekanisme Bahtsul Masail (pembahasan masalah-masalah kontemporer) yang melibatkan ulama-ulama pakar fikih untuk merumuskan hukum Islam terhadap isu-isu baru yang muncul di masyarakat. Ini menunjukkan fleksibilitas dan kedinamisan Aswaja dalam menjawab tantangan zaman dengan tetap berpegang pada prinsip-prinsip dasar yang kokoh.
Di era globalisasi dan revolusi informasi ini, Aswaja An-Nahdliyah menghadapi berbagai tantangan, namun sekaligus menunjukkan relevansinya yang semakin besar.
Meskipun demikian, Aswaja An-Nahdliyah justru semakin relevan di tengah tantangan ini:
Konsep Islam Nusantara adalah salah satu bentuk konkret dan kontemporer dari implementasi Aswaja An-Nahdliyah di Indonesia. Istilah ini merujuk pada Islam yang telah berdialektika dengan kebudayaan dan kearifan lokal di wilayah Nusantara selama berabad-abad, menghasilkan praktik keagamaan yang unik, moderat, dan inklusif. Islam Nusantara bukanlah mazhab baru atau aliran yang berbeda dari Islam global, melainkan sebuah karakteristik dan pendekatan dakwah yang mengedepankan kearifan lokal tanpa mengorbankan prinsip-prinsip syariat.
Beberapa karakteristik utama Islam Nusantara yang selaras dengan Aswaja An-Nahdliyah antara lain:
Saat ini, Islam Nusantara tidak hanya relevan untuk Indonesia, tetapi juga menjadi model inspiratif bagi dunia Islam. Di tengah gelombang ekstremisme global, banyak negara dan cendekiawan Muslim yang mencari alternatif pemahaman Islam yang moderat dan damai. Islam Nusantara, yang diperjuangkan oleh NU, menawarkan contoh konkret bagaimana Islam dapat hidup harmonis dalam masyarakat multikultural, menjaga keseimbangan antara tradisi dan modernitas, serta berkontribusi pada perdamaian dunia.
NU secara aktif mempromosikan konsep ini melalui berbagai forum internasional, menunjukkan bahwa Islam bukanlah ancaman, melainkan sumber kedamaian dan toleransi. Ini adalah perwujudan dari peran Aswaja An-Nahdliyah sebagai agen perubahan positif di kancah global.
Warisan Aswaja An-Nahdliyah tidak hanya berupa ajaran dan prinsip, tetapi juga institusi, budaya, dan praktik yang telah membentuk identitas keagamaan dan sosial masyarakat Indonesia.
Pondok pesantren adalah jantung dari Aswaja An-Nahdliyah di Indonesia. Sebagai lembaga pendidikan Islam tertua, pesantren telah menjadi benteng pertahanan akidah Aswaja dan pusat transmisi ilmu-ilmu Islam klasik. Di sinilah santri dididik dalam akidah Asy'ariyah-Maturidiyah, fikih Syafi'i, dan tasawwuf Al-Ghazali. Para kiai dan nyai di pesantren adalah pewaris sanad keilmuan yang bersambung langsung kepada para ulama salaf. Pesantren tidak hanya mengajarkan ilmu, tetapi juga membentuk karakter, kemandirian, dan kepribadian yang saleh.
Berbagai amaliyah (praktik keagamaan) yang lazim di lingkungan NU adalah manifestasi nyata dari Aswaja. Contohnya:
Praktik-praktik ini seringkali dituduh bid'ah oleh kelompok puritan, namun bagi NU, ini adalah tradisi yang memiliki dasar syar'i dan mengandung kemaslahatan, serta telah diwariskan secara turun-temurun oleh para ulama. NU selalu menjelaskan bahwa amaliyah tersebut tidak bertentangan dengan Al-Qur'an dan Sunnah, melainkan merupakan bentuk implementasi ajaran Islam dalam konteks lokal.
Dalam Aswaja An-Nahdliyah, peran ulama dan kiai sangat sentral. Mereka adalah pewaris para Nabi, penjaga ilmu agama, dan pemimpin spiritual masyarakat. Kedudukan mereka sangat dihormati karena dianggap memiliki kedalaman ilmu, kearifan, dan akhlak mulia. Fatwa dan bimbingan mereka menjadi rujukan utama bagi umat dalam menghadapi berbagai persoalan agama dan kehidupan. Sistem kepemimpinan kolektif dalam NU, seperti Syuriyah dan Tanfidziyah, memastikan bahwa keputusan-keputusan organisasi selalu berdasarkan musyawarah para ulama dan mempertimbangkan kemaslahatan umat.
Selain struktur utamanya, NU memiliki berbagai badan otonom (banom) dan lembaga yang bergerak di berbagai bidang, seperti:
Jaringan organisasi yang luas ini menunjukkan betapa Aswaja An-Nahdliyah tidak hanya menjadi identitas keagamaan, tetapi juga kekuatan sosial dan kultural yang mengakar kuat di masyarakat Indonesia.
Aswaja An-Nahdliyah adalah sebuah permata berharga dalam khazanah Islam Indonesia. Ia bukan sekadar konsep teologis, melainkan sebuah manhaj kehidupan yang komprehensif, mengintegrasikan keyakinan yang kokoh, praktik hukum yang tertata, dan spiritualitas yang mendalam. Nahdlatul Ulama, sebagai pilar utama Aswaja di Nusantara, telah berhasil menjaga warisan ini, mengembangkannya, dan menjadikannya kekuatan transformatif bagi bangsa dan negara.
Melalui prinsip tawassuth, tasamuh, tawazun, dan i'tidal, Aswaja An-Nahdliyah telah menjadi benteng moderasi yang kokoh, menolak ekstremisme dalam segala bentuknya, dan mempromosikan Islam sebagai agama rahmatan lil 'alamin yang damai dan inklusif. Kontribusinya dalam pendidikan, sosial, ekonomi, dan politik telah membentuk karakter masyarakat Muslim Indonesia yang religius sekaligus nasionalis.
Di masa depan, relevansi Aswaja An-Nahdliyah akan semakin terasa, terutama di tengah kompleksitas tantangan global. Dengan berpegang teguh pada warisan para ulama salaf dan tetap terbuka terhadap inovasi yang konstruktif, Aswaja An-Nahdliyah akan terus menjadi lentera pencerahan, membimbing umat menuju kehidupan yang lebih baik, dunia dan akhirat. Memahami Aswaja An-Nahdliyah berarti memahami esensi Islam yang mengakar kuat di bumi Nusantara, sebuah Islam yang berkarakter, toleran, dan berkeadaban.