Aswaja An Nahdliyah: Memahami Fondasi Islam Nusantara dan Perannya dalam Menjaga Keharmonisan

Dalam bentangan sejarah dan lanskap keagamaan Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU) adalah sebuah entitas yang tak terpisahkan. Sebagai organisasi kemasyarakatan Islam terbesar di dunia, NU memiliki fondasi pemikiran dan gerakan yang berpijak kokoh pada prinsip-prinsip Ahlussunnah wal Jama'ah An-Nahdliyah. Paham keagamaan ini bukan sekadar identitas, melainkan ruh, metodologi, dan cara pandang yang membentuk setiap langkah perjuangan NU. Memahami Aswaja An Nahdliyah adalah sebuah keniscayaan untuk menyelami akar-akar Islam Nusantara, mengerti bagaimana Islam dapat berinteraksi secara harmonis dengan budaya lokal, serta bagaimana ia berkontribusi secara fundamental dalam menjaga keutuhan bangsa, kerukunan sosial, dan moderasi beragama di Indonesia yang majemuk.

Aswaja An Nahdliyah adalah sebuah sintesis yang khas, memadukan tradisi keilmuan Islam yang luhur dengan semangat kebangsaan dan adaptasi terhadap konteks lokal. Ia adalah manifestasi dari Islam yang rahmatan lil 'alamin (rahmat bagi seluruh alam) dalam praktik kehidupan sehari-hari, bukan hanya dalam narasi teoretis. Artikel ini akan mengupas tuntas seluk-beluk Aswaja An Nahdliyah, mulai dari definisi, pilar-pilar, prinsip-prinsip etis, sejarah kelahirannya bersama NU, kontribusinya, tantangan di era modern, hingga relevansinya yang tak lekang oleh waktu.

Ilustrasi buku terbuka, simbol sumber ilmu, hikmah, dan ajaran Islam yang mendalam.

Mengenal Ahlussunnah wal Jama'ah (Aswaja)

Istilah Ahlussunnah wal Jama'ah atau disingkat Aswaja adalah terminologi yang secara harfiah berarti 'golongan orang-orang yang mengikuti Sunnah Nabi dan kebiasaan (ijma') para sahabat'. Ia merujuk pada mayoritas umat Islam yang memegang teguh ajaran Nabi Muhammad SAW, praktik para sahabatnya, serta mengikuti metodologi pemahaman agama yang telah disepakati oleh ulama salafus shalih dari masa ke masa. Aswaja bukanlah sekadar aliran, melainkan sebuah orientasi keagamaan yang mengedepankan keseimbangan antara teks (nash) dan akal, antara syariat dan hakikat, serta antara transmisi (periwayatan) dan pemahaman (dirayah).

Paham Aswaja muncul dan berkembang sebagai upaya untuk menjaga kemurnian ajaran Islam dari berbagai bid'ah, khurafat, dan penyimpangan yang muncul pasca-periode kenabian dan kekhalifahan Rasyidin. Ia adalah respons terhadap aliran-aliran ekstrem seperti Khawarij yang terlalu tekstualis dan keras, atau Mu'tazilah yang terlalu rasionalis hingga mengabaikan sebagian nash. Aswaja hadir sebagai jalan tengah yang moderat, menjaga tatanan akidah, syariat, dan akhlak berdasarkan pemahaman yang jernih dan berkesinambungan.

Pilar-pilar Utama Aswaja

Secara umum, paham Ahlussunnah wal Jama'ah berdiri di atas tiga pilar utama yang menjadi landasan dalam beragama, membentuk kerangka utuh bagi seorang Muslim:

Sumber Ajaran dan Metode Berpikir Aswaja

Aswaja memiliki landasan yang jelas dalam pengambilan hukum dan pemahaman agama, yang bersumber dari:

Ilustrasi kubah masjid, mewakili pusat ibadah, komunitas, dan tradisi Islam yang hidup.

An-Nahdliyah: Spirit Kebangkitan dalam Aswaja

Kata An-Nahdliyah berasal dari akar kata nahdhah (نهضة) yang dalam bahasa Arab berarti 'kebangkitan', 'gerakan', atau 'pencerahan'. Istilah ini secara spesifik melekat pada paham Ahlussunnah wal Jama'ah yang dianut oleh Nahdlatul Ulama, menandakan adanya semangat pembaruan, adaptasi progresif, dan keberpihakan yang kuat terhadap kepentingan umat dan bangsa. Aswaja An Nahdliyah bukan hanya tentang melestarikan tradisi (al-muhafazhatu 'alal qadimis shalih), melainkan juga tentang bagaimana tradisi tersebut relevan dan menjadi solusi atas permasalahan zaman (wal akhdzu bil jadidil ashlah).

Aswaja An Nahdliyah memiliki kekhasan yang membedakannya dari interpretasi Aswaja di tempat lain, terutama dalam konteks sosial, budaya, dan politik Indonesia yang sangat majemuk. Kekhasan ini termanifestasi dalam prinsip-prinsip dasar yang menjadi pegangan NU dalam berkhidmat, tidak hanya di ranah keagamaan tetapi juga kebangsaan dan kemanusiaan universal. Prinsip-prinsip ini menunjukkan wajah Islam yang ramah, moderat, dan inklusif, selaras dengan semangat rahmatan lil 'alamin.

Prinsip-prinsip Dasar Aswaja An Nahdliyah

Lima prinsip utama ini adalah pilar etika dan metodologi yang membentuk karakter Nahdlatul Ulama dan para pengikutnya:

  1. 1. Tawassuth (Moderat/Jalan Tengah)

    Tawassuth (توسط) berarti mengambil jalan tengah, tidak ekstrem ke kanan maupun ke kiri, tidak berlebihan (ifrath) dan tidak pula meremehkan (tafrith). Dalam beragama, Tawassuth berarti menjauhkan diri dari sikap liberalisme yang mengabaikan syariat maupun fundamentalisme yang kaku, literalis, dan anti-perubahan. NU selalu mengedepankan keseimbangan antara akal dan dalil (nash), antara idealisme agama dan realitas kehidupan. Sikap ini memungkinkan NU untuk menerima perbedaan pendapat (ikhtilaf) sebagai rahmat, serta bersikap inklusif terhadap keberagaman dalam masyarakat.

    Dalam konteks sosial dan politik, Tawassuth mendorong NU untuk menjadi kekuatan penyeimbang yang menjaga harmoni, meredam potensi konflik, dan mengupayakan keadilan bagi semua golongan, tanpa memandang latar belakang. Ia adalah antidot terhadap radikalisme dan ekstremisme, menolak kekerasan atas nama agama, dan selalu mengajak pada dialog, musyawarah, serta kebijaksanaan. Prinsip ini berakar kuat dari firman Allah SWT dalam QS. Al-Baqarah: 143, yang menyatakan umat Islam sebagai "umat pertengahan (umat wasath)".

    Penerapan Tawassuth sangat krusial dalam membangun peradaban yang berkeadilan. Ia mewujudkan Islam yang mampu berinteraksi secara positif dengan kemajuan zaman tanpa kehilangan identitasnya, sekaligus tetap menjaga nilai-nilai luhur dan kearifan lokal. Ini adalah kunci bagi NU untuk tetap relevan dan diterima oleh berbagai lapisan masyarakat di Indonesia.

  2. 2. Tasamuh (Toleran)

    Tasamuh (تسامح) berarti menghargai perbedaan pandangan, baik dalam masalah keagamaan (khilafiyah) maupun perbedaan latar belakang sosial, budaya, dan politik. Sikap toleransi ini tidak berarti mencampuradukkan akidah (sinkretisme) atau mengkompromikan prinsip-prinsip dasar agama, melainkan menghormati hak setiap individu untuk meyakini dan menjalankan ajaran agamanya masing-masing. NU secara historis telah membuktikan komitmennya yang teguh terhadap toleransi beragama di Indonesia yang sangat majemuk, bahkan jauh sebelum konsep toleransi menjadi isu global.

    Tasamuh juga berarti kemampuan untuk hidup berdampingan secara damai dengan mereka yang berbeda keyakinan, suku, ras, atau golongan. Ia adalah fondasi penting dalam membangun masyarakat multikultural yang rukun, bersatu, dan saling mendukung, sebagaimana dicita-citakan oleh para pendiri bangsa dan termaktub dalam Pancasila. Prinsip ini mencegah munculnya konflik SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan) serta mendorong terwujudnya persaudaraan kebangsaan (ukhuwah wathaniyah) dan persaudaraan kemanusiaan (ukhuwah insaniyah).

    Diwujudkan dalam praktik seperti tidak memaksakan keyakinan, menghormati ritual agama lain, dan bekerja sama dalam urusan kemanusiaan dan kebangsaan. Tasamuh mengajarkan bahwa perbedaan adalah keniscayaan dan rahmat Tuhan yang harus disikapi dengan bijak, bukan sebagai alasan untuk permusuhan atau perpecahan. Ini adalah salah satu ciri khas Islam Nusantara yang diusung NU.

  3. 3. Tawazun (Seimbang)

    Tawazun (توازن) berarti keseimbangan dalam segala aspek kehidupan, baik dalam hubungan dengan Allah (habluminallah) maupun hubungan dengan sesama manusia (habluminannas), antara kepentingan duniawi dan ukhrawi, serta antara teks agama dan konteks zaman. NU tidak hanya berfokus pada ibadah ritual semata, tetapi juga sangat menekankan pentingnya pembangunan sosial, ekonomi, dan pendidikan sebagai bagian integral dari ajaran Islam.

    Keseimbangan ini juga terlihat dalam metode istinbath hukum (pengambilan hukum) NU, yang tidak hanya terpaku pada dalil naqli (teks Al-Qur'an dan Hadits) tetapi juga mempertimbangkan dalil aqli (akal sehat), maslahat (kemaslahatan umum), dan urf (adat kebiasaan yang baik yang tidak bertentangan dengan syariat). Ini mencegah NU dari sikap statis dan memungkinkan adaptasi terhadap perkembangan zaman tanpa mengorbankan prinsip-prinsip dasar agama. Keseimbangan antara hak dan kewajiban juga menjadi penekanan penting.

    Tawazun menuntun umat untuk tidak terlarut dalam kesenangan duniawi yang melalaikan akhirat, namun juga tidak ekstrem dalam meninggalkan dunia hingga mengabaikan tanggung jawab sosial. Ia mendorong Muslim untuk menjadi pribadi yang utuh, yang mampu mencapai kebahagiaan di dunia tanpa melupakan bekal akhirat, dan sebaliknya. Ini adalah representasi dari Islam yang holistik, mencakup dimensi spiritual, intelektual, sosial, dan material.

  4. 4. I'tidal (Tegak Lurus/Adil)

    I'tidal (اعتدال) berarti tegak lurus dalam kebenaran, bersikap adil, dan tidak memihak kecuali pada kebenaran. Ini menuntut NU untuk selalu berpegang teguh pada prinsip-prinsip kebenaran dan keadilan, meskipun harus berhadapan dengan tekanan, godaan, atau kepentingan sesaat. Sikap ini adalah wujud dari komitmen terhadap amar ma'ruf nahi munkar (mengajak kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran) dengan cara yang bijaksana dan penuh integritas.

    Dalam konteks berbangsa dan bernegara, I'tidal mendorong NU untuk berperan aktif dalam menegakkan keadilan sosial, melawan segala bentuk ketidakadilan, korupsi, dan penindasan, serta memastikan hak-hak seluruh warga negara terlindungi tanpa diskriminasi. Ia adalah prinsip yang menjaga integritas moral dan etika, baik dalam berorganisasi, bermasyarakat, maupun bernegara. I'tidal juga berarti menjaga konsistensi dalam prinsip dan kebijakan, tidak mudah goyah oleh perubahan politik atau kepentingan sesaat.

    Prinsip ini sangat penting dalam membangun tatanan masyarakat yang berkeadilan, di mana hukum ditegakkan tanpa pandang bulu dan setiap individu mendapatkan haknya secara proporsional. Ia menegaskan bahwa keadilan adalah inti dari ajaran Islam, dan umat Islam wajib menjadi pelopor dalam menegakkannya, bahkan jika itu harus berhadapan dengan diri sendiri atau orang terdekat.

  5. 5. Amar Ma'ruf Nahi Munkar (Menyeru Kebaikan, Mencegah Kemungkaran)

    Ini adalah prinsip aktif dalam melakukan dakwah dan reformasi sosial. Amar Ma'ruf Nahi Munkar (الأمر بالمعروف والنهي عن المنكر) berarti mengajak kepada kebaikan (ma'ruf) dan mencegah kemungkaran (munkar). Namun, NU menekankan bahwa implementasi prinsip ini harus dilakukan dengan cara-cara yang berhikmah (bijaksana), mau'izhatul hasanah (nasihat yang baik), dan mujadalah billati hiya ahsan (berdebat dengan cara yang lebih baik dan santun).

    NU menolak cara-cara kekerasan, pemaksaan, penghakiman sepihak, atau anarkisme dalam berdakwah. Sebaliknya, NU mengedepankan persuasi, teladan (uswah hasanah), pendidikan, dan pembangunan. Dakwah bukan berarti menghakimi atau mengkafirkan orang lain, melainkan mengajak dengan kasih sayang dan pemahaman. Prioritas diberikan pada pencegahan kemungkaran yang lebih besar dan penegakan kebaikan yang membawa manfaat lebih luas bagi masyarakat.

    Penerapan prinsip ini tidak hanya berorientasi pada individu, tetapi juga pada sistem dan struktur sosial yang lebih luas. Artinya, kemungkaran harus dicegah secara sistematis melalui jalur-jalur legal dan edukatif, dan kebaikan harus ditegakkan secara menyeluruh dalam kebijakan publik, pendidikan, dan kehidupan bermasyarakat. Ia adalah manifestasi dari kepedulian NU terhadap kualitas moral, spiritual, dan sosial masyarakat secara komprehensif.

Ilustrasi dua tangan yang saling menggenggam, simbol persatuan, gotong royong, dan toleransi.

Sejarah dan Peran Nahdlatul Ulama dalam Konteks Aswaja An Nahdliyah

Nahdlatul Ulama (NU) didirikan pada tanggal 31 Januari 1926 di Surabaya oleh para kiai kharismatik, yang dipelopori oleh Hadratussyekh KH. Hasyim Asy'ari. Pendirian NU merupakan respons yang kompleks terhadap berbagai perkembangan zaman dan kebutuhan mendesak untuk membentengi tradisi keilmuan Islam Ahlussunnah wal Jama'ah dari berbagai ancaman, baik dari gerakan pembaharuan yang cenderung literalis dan puritan di satu sisi, maupun dari cengkeraman kolonialisme Belanda di sisi lain. Pada masa itu, terjadi polarisasi pemahaman keagamaan yang berpotensi memecah belah persatuan umat dan mengikis tradisi pesantren yang telah mengakar.

Latar Belakang Historis Pendirian NU

Pendirian NU tidak dapat dilepaskan dari konteks sosial, politik, dan keagamaan di awal abad ke-20:

Dalam Muktamar NU ke-1 di Surabaya, KH. Hasyim Asy'ari, sebagai pendiri utama dan Rais Akbar pertama, merumuskan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) NU yang secara eksplisit menyebutkan komitmen terhadap Ahlussunnah wal Jama'ah dengan bermazhab pada salah satu imam empat (Hanafi, Maliki, Syafi'i, Hanbali) dalam fikih, serta Imam Abu Hasan Al-Asy'ari dan Abu Mansur Al-Maturidi dalam akidah. Hal ini menunjukkan betapa kuatnya akar Aswaja dalam setiap sendi pendirian dan perjuangan organisasi ini.

Kontribusi NU Berbasis Aswaja An Nahdliyah

Sejak kelahirannya, NU telah memberikan kontribusi besar bagi Indonesia, yang semuanya berakar kuat pada prinsip-prinsip Aswaja An Nahdliyah:

Ilustrasi globe atau peta dunia, menandakan penyebaran nilai-nilai Islam yang universal dan inklusif.

Aswaja An Nahdliyah di Era Modern: Tantangan dan Relevansi

Di tengah arus globalisasi yang tak terbendung, kemajuan teknologi informasi yang pesat, dan dinamika sosial politik yang serba cepat, Aswaja An Nahdliyah menghadapi berbagai tantangan kompleks. Namun, pada saat yang sama, prinsip-prinsip dan metodologinya justru semakin menguat dan relevan sebagai solusi atas berbagai permasalahan kontemporer.

Tantangan yang Dihadapi Aswaja An Nahdliyah

Relevansi Aswaja An Nahdliyah yang Menguat di Era Modern

Meskipun menghadapi berbagai tantangan, prinsip-prinsip Aswaja An Nahdliyah justru semakin relevan dan dibutuhkan di era modern ini, baik di tingkat nasional maupun global:

Penerapan Aswaja An Nahdliyah dalam Kehidupan Sehari-hari

Paham Aswaja An Nahdliyah bukan sekadar teori teologis yang abstrak, melainkan sebuah manhaj (metodologi) beragama yang komprehensif dan panduan praktis yang membentuk cara pandang, sikap, dan perilaku sehari-hari para pengikutnya. Penerapannya terlihat dalam berbagai aspek kehidupan, menciptakan corak keislaman yang khas di Indonesia.

1. Dalam Beribadah dan Spiritual

2. Dalam Berinteraksi Sosial

3. Dalam Berbangsa dan Bernegara

4. Dalam Pendidikan dan Ilmu Pengetahuan

Dengan demikian, Aswaja An Nahdliyah adalah sebuah manhaj (metodologi) beragama yang komprehensif, tidak hanya berdimensi spiritual tetapi juga sosial, budaya, dan kebangsaan. Ia membentuk karakter umat yang moderat, toleran, seimbang, adil, dan senantiasa menyeru kepada kebaikan dengan cara yang bijaksana, menjadi pilar utama bagi keberlangsungan Islam yang damai dan progresif di Indonesia.

Ilustrasi lentera, menyimbolkan pencerahan, petunjuk, dan kebijaksanaan.

Kesimpulan

Aswaja An Nahdliyah merupakan jantung, ruh, dan metodologi utama Nahdlatul Ulama, sebuah paham keagamaan yang mengakar kuat pada tradisi keilmuan Islam klasik yang otentik namun tetap adaptif terhadap dinamika modern. Ia adalah perpaduan harmonis antara akidah Asy'ariyah/Maturidiyah yang kokoh, fikih empat mazhab yang terstruktur, dan tasawuf Imam Al-Ghazali yang menekankan penyucian jiwa, yang semuanya diimplementasikan dengan lima prinsip etis yang menjadi ciri khasnya: Tawassuth (moderat), Tasamuh (toleran), Tawazun (seimbang), I'tidal (adil dan tegak lurus), dan Amar Ma'ruf Nahi Munkar (mengajak kebaikan dan mencegah kemungkaran dengan bijaksana).

Lebih dari sekadar identitas teologis, Aswaja An Nahdliyah adalah sebuah manhaj kehidupan yang membimbing umat Islam di Indonesia untuk menjadi pribadi yang moderat, toleran, adil, seimbang dalam menjalani kehidupan dunia dan akhirat, serta aktif menyeru pada kebaikan dengan cara yang santun dan bijaksana. Peran Nahdlatul Ulama dalam mempertahankan, menyebarkan, dan mengimplementasikan Aswaja An Nahdliyah telah terbukti krusial dalam menjaga keutuhan bangsa, menyebarkan Islam yang ramah dan inklusif (Islam Nusantara), serta menjadi perekat harmoni di tengah keberagaman Indonesia yang merupakan anugerah Illahi.

Di era kontemporer yang penuh tantangan, Aswaja An Nahdliyah justru semakin relevan sebagai solusi atas berbagai permasalahan global, menawarkan model Islam yang damai, inklusif, dan mampu berinteraksi positif dengan modernitas. Ia adalah fondasi kuat bagi Islam Nusantara, yang tidak hanya mempertahankan tradisi keilmuan yang luhur dan nilai-nilai keislaman yang murni, tetapi juga terus bergerak maju, berinovasi, dan berkhidmat untuk kemaslahatan umat manusia secara universal dan menjaga peradaban yang berkeadilan.

🏠 Homepage