Dalam bentangan sejarah dan lanskap keagamaan Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU) adalah sebuah entitas yang tak terpisahkan. Sebagai organisasi kemasyarakatan Islam terbesar di dunia, NU memiliki fondasi pemikiran dan gerakan yang berpijak kokoh pada prinsip-prinsip Ahlussunnah wal Jama'ah An-Nahdliyah. Paham keagamaan ini bukan sekadar identitas, melainkan ruh, metodologi, dan cara pandang yang membentuk setiap langkah perjuangan NU. Memahami Aswaja An Nahdliyah adalah sebuah keniscayaan untuk menyelami akar-akar Islam Nusantara, mengerti bagaimana Islam dapat berinteraksi secara harmonis dengan budaya lokal, serta bagaimana ia berkontribusi secara fundamental dalam menjaga keutuhan bangsa, kerukunan sosial, dan moderasi beragama di Indonesia yang majemuk.
Aswaja An Nahdliyah adalah sebuah sintesis yang khas, memadukan tradisi keilmuan Islam yang luhur dengan semangat kebangsaan dan adaptasi terhadap konteks lokal. Ia adalah manifestasi dari Islam yang rahmatan lil 'alamin (rahmat bagi seluruh alam) dalam praktik kehidupan sehari-hari, bukan hanya dalam narasi teoretis. Artikel ini akan mengupas tuntas seluk-beluk Aswaja An Nahdliyah, mulai dari definisi, pilar-pilar, prinsip-prinsip etis, sejarah kelahirannya bersama NU, kontribusinya, tantangan di era modern, hingga relevansinya yang tak lekang oleh waktu.
Ilustrasi buku terbuka, simbol sumber ilmu, hikmah, dan ajaran Islam yang mendalam.
Istilah Ahlussunnah wal Jama'ah atau disingkat Aswaja adalah terminologi yang secara harfiah berarti 'golongan orang-orang yang mengikuti Sunnah Nabi dan kebiasaan (ijma') para sahabat'. Ia merujuk pada mayoritas umat Islam yang memegang teguh ajaran Nabi Muhammad SAW, praktik para sahabatnya, serta mengikuti metodologi pemahaman agama yang telah disepakati oleh ulama salafus shalih dari masa ke masa. Aswaja bukanlah sekadar aliran, melainkan sebuah orientasi keagamaan yang mengedepankan keseimbangan antara teks (nash) dan akal, antara syariat dan hakikat, serta antara transmisi (periwayatan) dan pemahaman (dirayah).
Paham Aswaja muncul dan berkembang sebagai upaya untuk menjaga kemurnian ajaran Islam dari berbagai bid'ah, khurafat, dan penyimpangan yang muncul pasca-periode kenabian dan kekhalifahan Rasyidin. Ia adalah respons terhadap aliran-aliran ekstrem seperti Khawarij yang terlalu tekstualis dan keras, atau Mu'tazilah yang terlalu rasionalis hingga mengabaikan sebagian nash. Aswaja hadir sebagai jalan tengah yang moderat, menjaga tatanan akidah, syariat, dan akhlak berdasarkan pemahaman yang jernih dan berkesinambungan.
Secara umum, paham Ahlussunnah wal Jama'ah berdiri di atas tiga pilar utama yang menjadi landasan dalam beragama, membentuk kerangka utuh bagi seorang Muslim:
Dalam bidang akidah, Aswaja mengikuti dua mazhab teologi utama, yaitu Asy'ariyah yang didirikan oleh Abul Hasan Al-Asy'ari dan Maturidiyah yang didirikan oleh Abu Mansur Al-Maturidi. Kedua mazhab ini menegaskan keesaan Allah SWT (tauhid), sifat-sifat-Nya yang sempurna (seperti Ilmu, Kekuasaan, Kehendak, Hayat), kenabian Muhammad SAW sebagai penutup para nabi, kebenaran hari kiamat, adanya surga dan neraka, qada dan qadar, serta hal-hal ghaib lainnya berdasarkan Al-Qur'an dan Sunnah, dengan pendekatan rasional yang tidak berlebihan.
Mazhab Asy'ariyah dan Maturidiyah secara umum memiliki pandangan yang sama dalam banyak hal, meskipun terdapat perbedaan nuansa dalam beberapa detail metodologi atau interpretasi. Keduanya berhasil menyintesiskan argumen-argumen rasional untuk membela akidah Islam dari serangan filosofis maupun bid'ah teologis, sambil tetap menjaga otoritas nash. Mereka menolak anthropomorfisme (menyerupakan Allah dengan makhluk) dan tahrif (mengubah makna ayat/hadits tentang sifat Allah), serta meyakini bahwa akal dapat memahami sebagian kebenaran agama, namun wahyu adalah sumber utama.
Dalam bidang fikih (hukum Islam), Aswaja mengikuti salah satu dari empat mazhab fikih yang diakui secara luas, yaitu Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hanbali. Keempat mazhab ini merupakan warisan intelektual para imam mujtahid agung yang kaya akan metode ijtihad, interpretasi hukum, dan penerapan syariat dalam berbagai konteks. Mengikuti mazhab bukan berarti taqlid buta, melainkan meneladani metodologi para ulama yang telah diakui keilmuannya dalam menggali hukum dari sumber-sumber utama (Al-Qur'an, Hadits, Ijma', Qiyas).
Di Indonesia, khususnya di lingkungan NU, mazhab Syafi'i adalah yang paling dominan. Keterikatan pada mazhab ini memberikan kerangka hukum yang jelas, konsisten, dan teruji selama berabad-abad, sehingga umat tidak mudah terombang-ambing oleh fatwa-fatwa yang tidak memiliki dasar kuat atau cenderung ekstrem. Ia juga merupakan bentuk penghormatan terhadap tradisi keilmuan yang telah diwariskan oleh para ulama terdahulu.
Dalam bidang tasawuf (etika dan spiritual), Aswaja mengikuti mazhab tasawuf yang moderat, seperti yang diajarkan oleh Imam Al-Ghazali dan Imam Junaid Al-Baghdadi. Tasawuf ini menekankan penyucian jiwa (tazkiyatun nufus), penguatan akhlak mulia (seperti ikhlas, sabar, syukur, zuhud, tawakal), serta kedekatan dengan Allah SWT melalui ibadah yang khusyuk dan praktik kebaikan, tanpa menjauhkan diri dari kehidupan dunia dan syariat.
Tasawuf dalam Aswaja adalah tasawuf yang terikat syariat (tasawuf sunni), yang menolak ajaran-ajaran tasawuf ekstrem yang menyimpang dari syariat atau mengarah pada monisme (wahdatul wujud) yang salah. Ia mengajarkan pentingnya menjaga keseimbangan antara lahir dan batin, antara ibadah ritual dan interaksi sosial, serta antara syariat dan hakikat, agar seorang Muslim dapat mencapai kebahagiaan sejati di dunia dan akhirat.
Aswaja memiliki landasan yang jelas dalam pengambilan hukum dan pemahaman agama, yang bersumber dari:
Al-Qur'an adalah sumber ajaran Islam yang paling utama dan otentik, kalamullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Aswaja meyakini Al-Qur'an sebagai petunjuk hidup yang sempurna, mencakup akidah, syariat, akhlak, sejarah, dan informasi tentang alam ghaib. Dalam memahami Al-Qur'an, Aswaja mengikuti metodologi tafsir yang sahih, memperhatikan asbabun nuzul (sebab-sebab turunnya ayat), konteks historis, serta penjelasan dari Nabi Muhammad SAW (Sunnah) dan para sahabat.
Penekanan diberikan pada pemahaman yang utuh dan tidak parsial, menghindari penafsiran yang hanya mengambil sebagian ayat tanpa mempertimbangkan ayat lain yang relevan, atau penafsiran yang hanya mengandalkan akal tanpa merujuk pada tradisi keilmuan yang telah mapan.
As-Sunnah, yang terdiri dari ucapan, perbuatan, dan ketetapan (taqrir) Nabi Muhammad SAW, merupakan sumber ajaran Islam kedua setelah Al-Qur'an. Sunnah berfungsi sebagai penjelas dan pelengkap Al-Qur'an, memberikan rincian tentang tata cara ibadah, muamalah, akhlak, dan berbagai aspek kehidupan lainnya. Aswaja sangat menekankan pentingnya sanad (rantai periwayat) hadits yang sahih, serta metodologi ilmu hadits untuk membedakan hadits sahih, hasan, dan dha'if.
Dalam praktiknya, Aswaja mengedepankan hadits-hadits yang mutawatir (diriwayatkan banyak jalur) dan masyhur (populer), serta mengutamakan pemahaman yang komprehensif dari para ulama hadits dan fikih, bukan hanya interpretasi literal semata.
Ijma' adalah kesepakatan atau konsensus para ulama mujtahid dari suatu generasi setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW mengenai suatu masalah hukum. Dalam pandangan Aswaja, ijma' merupakan hujjah (dalil) yang kuat karena mengindikasikan adanya kebenaran yang telah diterima secara luas oleh umat Islam. Ijma' biasanya merujuk pada ijma' sahabat atau ijma' ulama empat mazhab. Ia berfungsi untuk memberikan kepastian hukum dan menghindari perpecahan umat dalam masalah-masalah krusial.
Qiyas adalah metode penetapan hukum suatu masalah baru yang tidak disebutkan secara eksplisit dalam Al-Qur'an, Sunnah, maupun ijma', dengan cara menganalogikannya (membandingkannya) dengan masalah lain yang sudah ada hukumnya, karena adanya persamaan 'illat (sebab hukum) antara keduanya. Qiyas digunakan oleh para mujtahid sebagai alat untuk mengembangkan hukum Islam agar relevan dengan perkembangan zaman dan permasalahan baru.
Dalam Aswaja, penggunaan qiyas harus dilakukan oleh ulama yang memiliki kapasitas ijtihad yang memadai, dengan tetap berpegang pada prinsip-prinsip syariat dan kemaslahatan umat. Ia menunjukkan fleksibilitas Islam dalam memberikan solusi atas persoalan-persoalan kontemporer.
Secara keseluruhan, Aswaja mendorong umat untuk berpikir kritis namun tetap menjaga adab dan ketaatan pada tradisi keilmuan yang telah mapan. Ia adalah jalan tengah yang menghindari ekstremisme, baik rasionalisme yang mengabaikan teks agama maupun literalisme yang kaku dan mengabaikan konteks serta tujuan syariat. Paham ini mengakui perbedaan pendapat (ikhtilaf) sebagai rahmat, sepanjang masih dalam koridor syariat dan tidak mengancam persatuan umat.
Ilustrasi kubah masjid, mewakili pusat ibadah, komunitas, dan tradisi Islam yang hidup.
Kata An-Nahdliyah berasal dari akar kata nahdhah (نهضة) yang dalam bahasa Arab berarti 'kebangkitan', 'gerakan', atau 'pencerahan'. Istilah ini secara spesifik melekat pada paham Ahlussunnah wal Jama'ah yang dianut oleh Nahdlatul Ulama, menandakan adanya semangat pembaruan, adaptasi progresif, dan keberpihakan yang kuat terhadap kepentingan umat dan bangsa. Aswaja An Nahdliyah bukan hanya tentang melestarikan tradisi (al-muhafazhatu 'alal qadimis shalih), melainkan juga tentang bagaimana tradisi tersebut relevan dan menjadi solusi atas permasalahan zaman (wal akhdzu bil jadidil ashlah).
Aswaja An Nahdliyah memiliki kekhasan yang membedakannya dari interpretasi Aswaja di tempat lain, terutama dalam konteks sosial, budaya, dan politik Indonesia yang sangat majemuk. Kekhasan ini termanifestasi dalam prinsip-prinsip dasar yang menjadi pegangan NU dalam berkhidmat, tidak hanya di ranah keagamaan tetapi juga kebangsaan dan kemanusiaan universal. Prinsip-prinsip ini menunjukkan wajah Islam yang ramah, moderat, dan inklusif, selaras dengan semangat rahmatan lil 'alamin.
Lima prinsip utama ini adalah pilar etika dan metodologi yang membentuk karakter Nahdlatul Ulama dan para pengikutnya:
Tawassuth (توسط) berarti mengambil jalan tengah, tidak ekstrem ke kanan maupun ke kiri, tidak berlebihan (ifrath) dan tidak pula meremehkan (tafrith). Dalam beragama, Tawassuth berarti menjauhkan diri dari sikap liberalisme yang mengabaikan syariat maupun fundamentalisme yang kaku, literalis, dan anti-perubahan. NU selalu mengedepankan keseimbangan antara akal dan dalil (nash), antara idealisme agama dan realitas kehidupan. Sikap ini memungkinkan NU untuk menerima perbedaan pendapat (ikhtilaf) sebagai rahmat, serta bersikap inklusif terhadap keberagaman dalam masyarakat.
Dalam konteks sosial dan politik, Tawassuth mendorong NU untuk menjadi kekuatan penyeimbang yang menjaga harmoni, meredam potensi konflik, dan mengupayakan keadilan bagi semua golongan, tanpa memandang latar belakang. Ia adalah antidot terhadap radikalisme dan ekstremisme, menolak kekerasan atas nama agama, dan selalu mengajak pada dialog, musyawarah, serta kebijaksanaan. Prinsip ini berakar kuat dari firman Allah SWT dalam QS. Al-Baqarah: 143, yang menyatakan umat Islam sebagai "umat pertengahan (umat wasath)".
Penerapan Tawassuth sangat krusial dalam membangun peradaban yang berkeadilan. Ia mewujudkan Islam yang mampu berinteraksi secara positif dengan kemajuan zaman tanpa kehilangan identitasnya, sekaligus tetap menjaga nilai-nilai luhur dan kearifan lokal. Ini adalah kunci bagi NU untuk tetap relevan dan diterima oleh berbagai lapisan masyarakat di Indonesia.
Tasamuh (تسامح) berarti menghargai perbedaan pandangan, baik dalam masalah keagamaan (khilafiyah) maupun perbedaan latar belakang sosial, budaya, dan politik. Sikap toleransi ini tidak berarti mencampuradukkan akidah (sinkretisme) atau mengkompromikan prinsip-prinsip dasar agama, melainkan menghormati hak setiap individu untuk meyakini dan menjalankan ajaran agamanya masing-masing. NU secara historis telah membuktikan komitmennya yang teguh terhadap toleransi beragama di Indonesia yang sangat majemuk, bahkan jauh sebelum konsep toleransi menjadi isu global.
Tasamuh juga berarti kemampuan untuk hidup berdampingan secara damai dengan mereka yang berbeda keyakinan, suku, ras, atau golongan. Ia adalah fondasi penting dalam membangun masyarakat multikultural yang rukun, bersatu, dan saling mendukung, sebagaimana dicita-citakan oleh para pendiri bangsa dan termaktub dalam Pancasila. Prinsip ini mencegah munculnya konflik SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan) serta mendorong terwujudnya persaudaraan kebangsaan (ukhuwah wathaniyah) dan persaudaraan kemanusiaan (ukhuwah insaniyah).
Diwujudkan dalam praktik seperti tidak memaksakan keyakinan, menghormati ritual agama lain, dan bekerja sama dalam urusan kemanusiaan dan kebangsaan. Tasamuh mengajarkan bahwa perbedaan adalah keniscayaan dan rahmat Tuhan yang harus disikapi dengan bijak, bukan sebagai alasan untuk permusuhan atau perpecahan. Ini adalah salah satu ciri khas Islam Nusantara yang diusung NU.
Tawazun (توازن) berarti keseimbangan dalam segala aspek kehidupan, baik dalam hubungan dengan Allah (habluminallah) maupun hubungan dengan sesama manusia (habluminannas), antara kepentingan duniawi dan ukhrawi, serta antara teks agama dan konteks zaman. NU tidak hanya berfokus pada ibadah ritual semata, tetapi juga sangat menekankan pentingnya pembangunan sosial, ekonomi, dan pendidikan sebagai bagian integral dari ajaran Islam.
Keseimbangan ini juga terlihat dalam metode istinbath hukum (pengambilan hukum) NU, yang tidak hanya terpaku pada dalil naqli (teks Al-Qur'an dan Hadits) tetapi juga mempertimbangkan dalil aqli (akal sehat), maslahat (kemaslahatan umum), dan urf (adat kebiasaan yang baik yang tidak bertentangan dengan syariat). Ini mencegah NU dari sikap statis dan memungkinkan adaptasi terhadap perkembangan zaman tanpa mengorbankan prinsip-prinsip dasar agama. Keseimbangan antara hak dan kewajiban juga menjadi penekanan penting.
Tawazun menuntun umat untuk tidak terlarut dalam kesenangan duniawi yang melalaikan akhirat, namun juga tidak ekstrem dalam meninggalkan dunia hingga mengabaikan tanggung jawab sosial. Ia mendorong Muslim untuk menjadi pribadi yang utuh, yang mampu mencapai kebahagiaan di dunia tanpa melupakan bekal akhirat, dan sebaliknya. Ini adalah representasi dari Islam yang holistik, mencakup dimensi spiritual, intelektual, sosial, dan material.
I'tidal (اعتدال) berarti tegak lurus dalam kebenaran, bersikap adil, dan tidak memihak kecuali pada kebenaran. Ini menuntut NU untuk selalu berpegang teguh pada prinsip-prinsip kebenaran dan keadilan, meskipun harus berhadapan dengan tekanan, godaan, atau kepentingan sesaat. Sikap ini adalah wujud dari komitmen terhadap amar ma'ruf nahi munkar (mengajak kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran) dengan cara yang bijaksana dan penuh integritas.
Dalam konteks berbangsa dan bernegara, I'tidal mendorong NU untuk berperan aktif dalam menegakkan keadilan sosial, melawan segala bentuk ketidakadilan, korupsi, dan penindasan, serta memastikan hak-hak seluruh warga negara terlindungi tanpa diskriminasi. Ia adalah prinsip yang menjaga integritas moral dan etika, baik dalam berorganisasi, bermasyarakat, maupun bernegara. I'tidal juga berarti menjaga konsistensi dalam prinsip dan kebijakan, tidak mudah goyah oleh perubahan politik atau kepentingan sesaat.
Prinsip ini sangat penting dalam membangun tatanan masyarakat yang berkeadilan, di mana hukum ditegakkan tanpa pandang bulu dan setiap individu mendapatkan haknya secara proporsional. Ia menegaskan bahwa keadilan adalah inti dari ajaran Islam, dan umat Islam wajib menjadi pelopor dalam menegakkannya, bahkan jika itu harus berhadapan dengan diri sendiri atau orang terdekat.
Ini adalah prinsip aktif dalam melakukan dakwah dan reformasi sosial. Amar Ma'ruf Nahi Munkar (الأمر بالمعروف والنهي عن المنكر) berarti mengajak kepada kebaikan (ma'ruf) dan mencegah kemungkaran (munkar). Namun, NU menekankan bahwa implementasi prinsip ini harus dilakukan dengan cara-cara yang berhikmah (bijaksana), mau'izhatul hasanah (nasihat yang baik), dan mujadalah billati hiya ahsan (berdebat dengan cara yang lebih baik dan santun).
NU menolak cara-cara kekerasan, pemaksaan, penghakiman sepihak, atau anarkisme dalam berdakwah. Sebaliknya, NU mengedepankan persuasi, teladan (uswah hasanah), pendidikan, dan pembangunan. Dakwah bukan berarti menghakimi atau mengkafirkan orang lain, melainkan mengajak dengan kasih sayang dan pemahaman. Prioritas diberikan pada pencegahan kemungkaran yang lebih besar dan penegakan kebaikan yang membawa manfaat lebih luas bagi masyarakat.
Penerapan prinsip ini tidak hanya berorientasi pada individu, tetapi juga pada sistem dan struktur sosial yang lebih luas. Artinya, kemungkaran harus dicegah secara sistematis melalui jalur-jalur legal dan edukatif, dan kebaikan harus ditegakkan secara menyeluruh dalam kebijakan publik, pendidikan, dan kehidupan bermasyarakat. Ia adalah manifestasi dari kepedulian NU terhadap kualitas moral, spiritual, dan sosial masyarakat secara komprehensif.
Ilustrasi dua tangan yang saling menggenggam, simbol persatuan, gotong royong, dan toleransi.
Nahdlatul Ulama (NU) didirikan pada tanggal 31 Januari 1926 di Surabaya oleh para kiai kharismatik, yang dipelopori oleh Hadratussyekh KH. Hasyim Asy'ari. Pendirian NU merupakan respons yang kompleks terhadap berbagai perkembangan zaman dan kebutuhan mendesak untuk membentengi tradisi keilmuan Islam Ahlussunnah wal Jama'ah dari berbagai ancaman, baik dari gerakan pembaharuan yang cenderung literalis dan puritan di satu sisi, maupun dari cengkeraman kolonialisme Belanda di sisi lain. Pada masa itu, terjadi polarisasi pemahaman keagamaan yang berpotensi memecah belah persatuan umat dan mengikis tradisi pesantren yang telah mengakar.
Pendirian NU tidak dapat dilepaskan dari konteks sosial, politik, dan keagamaan di awal abad ke-20:
Munculnya gerakan Wahabi di Arab Saudi yang berupaya melakukan purifikasi Islam dengan mengkritik praktik-praktik keagamaan yang selama ini dipegang oleh kaum tradisionalis, seperti tawassul (meminta perantara kepada wali), ziarah kubur (mengunjungi makam wali), dan peringatan maulid Nabi. Puncaknya adalah jatuhnya kekuasaan di Hijaz (Mekah dan Madinah) ke tangan dinasti Saud yang beraliran Wahabi. Hal ini menimbulkan kekhawatiran di kalangan ulama Nusantara, yang khawatir tradisi keilmuan dan amaliah Ahlussunnah wal Jama'ah akan terancam, termasuk akses untuk berziarah ke makam Nabi Muhammad SAW dan para sahabat.
Dalam menyikapi ini, para ulama Nusantara mengirim Komite Hijaz ke Raja Ibnu Saud untuk menyampaikan aspirasi agar tradisi Aswaja tetap dihormati dan kebebasan bermazhab di tanah suci dijamin. Kegagalan Komite Hijaz dalam mencapai kesepakatan memicu kesadaran akan pentingnya sebuah wadah resmi untuk para ulama tradisionalis di Nusantara.
Penjajahan Belanda juga menjadi faktor penting. Politik Islam Belanda (Orientalisme) cenderung memecah belah umat dan mengintervensi urusan agama. Belanda berusaha menjauhkan umat Islam dari semangat jihad dan nasionalisme, serta mempromosikan Islam yang sekuler dan terpisah dari politik. NU didirikan sebagai upaya untuk menguatkan identitas keislaman dan kebangsaan, serta melawan upaya de-Islamisasi dan intervensi kolonial dalam urusan agama dan pendidikan.
Pada masa itu, kaum "modernis" Islam di Indonesia (misalnya Muhammadiyah) sudah memiliki wadah organisasi yang rapi. Sementara itu, ulama pesantren yang dikenal sebagai kaum "tradisionalis" belum memiliki organisasi formal yang menyatukan mereka. Para kiai pesantren merasa perlu adanya wadah untuk menyatukan visi, mengoordinasikan gerakan, dan mempertahankan metode pengajaran klasik di pesantren yang berbasis kitab kuning (kitab-kitab klasik mazhab empat).
Dalam Muktamar NU ke-1 di Surabaya, KH. Hasyim Asy'ari, sebagai pendiri utama dan Rais Akbar pertama, merumuskan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) NU yang secara eksplisit menyebutkan komitmen terhadap Ahlussunnah wal Jama'ah dengan bermazhab pada salah satu imam empat (Hanafi, Maliki, Syafi'i, Hanbali) dalam fikih, serta Imam Abu Hasan Al-Asy'ari dan Abu Mansur Al-Maturidi dalam akidah. Hal ini menunjukkan betapa kuatnya akar Aswaja dalam setiap sendi pendirian dan perjuangan organisasi ini.
Sejak kelahirannya, NU telah memberikan kontribusi besar bagi Indonesia, yang semuanya berakar kuat pada prinsip-prinsip Aswaja An Nahdliyah:
NU memainkan peran vital dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Salah satu momen paling monumental adalah Resolusi Jihad pada 22 Oktober 1945, yang dikeluarkan oleh KH. Hasyim Asy'ari. Resolusi ini menyerukan kepada seluruh umat Islam, khususnya para santri dan kiai, untuk melawan penjajah Belanda yang ingin kembali menduduki Indonesia setelah proklamasi kemerdekaan. Fatwa ini mengobarkan semangat perjuangan rakyat, memicu pertempuran heroik 10 November di Surabaya, dan menjadi manifestasi nyata dari komitmen Aswaja An Nahdliyah terhadap cinta tanah air (hubbul wathan minal iman) sebagai bagian tak terpisahkan dari iman.
Prinsip Tawassuth dan Tasamuh juga memungkinkan NU untuk menerima Pancasila sebagai dasar negara dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sebagai bentuk final, karena dianggap selaras dengan nilai-nilai Islam yang rahmatan lil 'alamin. NU memandang bahwa Pancasila dan NKRI adalah hasil konsensus kebangsaan yang melindungi semua warga negara dan menjamin kebebasan beragama, sejalan dengan prinsip-prinsip keadilan dan persatuan dalam Islam. Ini menegaskan bahwa Islam dan nasionalisme di Indonesia dapat bersanding secara harmonis.
Pesantren, sebagai tulang punggung dan basis kultural NU, telah menjadi pusat pendidikan Islam tradisional yang mengajarkan kitab kuning dan membentuk karakter santri berdasarkan nilai-nilai Aswaja. Pesantren telah menjadi benteng pertahanan ilmu pengetahuan Islam klasik dan etika spiritual selama berabad-abad. Selain itu, NU juga memiliki jaringan lembaga pendidikan formal yang sangat luas, dari tingkat dasar (MI, MTs, MA) hingga perguruan tinggi, seperti Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) di berbagai daerah. Lembaga-lembaga ini menyebarkan ilmu pengetahuan yang seimbang antara ilmu agama dan ilmu umum, mencetak generasi yang intelek, berakhlak mulia, dan berwawasan kebangsaan. Hal ini merupakan perwujudan prinsip Tawazun dalam pendidikan.
Melalui prinsip Tawassuth, Tasamuh, dan I'tidal, NU menjadi garda terdepan dalam menyebarkan paham moderasi beragama di Indonesia. NU secara konsisten menolak segala bentuk radikalisme, ekstremisme, terorisme, dan ujaran kebencian yang mengatasnamakan agama. NU mengajarkan Islam yang ramah, dialogis, merangkul, dan toleran, bukan Islam yang pemarah, menghakimi, atau memecah belah. NU senantiasa menyerukan persatuan umat (ukhuwah islamiyah) dan persatuan bangsa (ukhuwah wathaniyah) sebagai prioritas utama. Konsep "Islam Nusantara" yang diusung NU merupakan salah satu representasi penting dari moderasi beragama ini, menunjukkan bahwa Islam dapat berkembang dengan identitas lokal yang kuat dan kaya tanpa kehilangan esensinya.
NU juga sangat aktif dalam berbagai kegiatan sosial dan ekonomi sebagai implementasi dari prinsip Tawazun dan I'tidal yang mengutamakan kemaslahatan umat. Lembaga-lembaga seperti Lembaga Amil Zakat, Infak, dan Sedekah Nahdlatul Ulama (LAZISNU) bergerak dalam upaya pengentasan kemiskinan, penyaluran bantuan sosial, dan pengembangan filantropi Islam. Sementara itu, Lembaga Perekonomian Nahdlatul Ulama (LPNU) berupaya meningkatkan kesejahteraan anggota dan masyarakat melalui pengembangan ekonomi kerakyatan, koperasi, dan UMKM. NU juga memiliki rumah sakit, balai pengobatan, dan klinik yang menyediakan layanan kesehatan bagi masyarakat. Semua ini adalah wujud nyata dari kepedulian sosial NU yang berakar pada ajaran Islam untuk tolong-menolong dan menciptakan keadilan ekonomi.
Aswaja An Nahdliyah memiliki pendekatan yang akomodatif terhadap budaya lokal selama tidak bertentangan dengan syariat. Hal ini menjadikan Islam di Indonesia berkembang dengan ciri khas yang unik, kaya akan akulturasi dan asimilasi dengan adat istiadat setempat. Tradisi-tradisi seperti tahlilan, yasinan, maulidan (peringatan Maulid Nabi), manaqiban, dan ziarah kubur adalah contoh nyata dari harmonisasi Islam dengan budaya lokal. Praktik-praktik ini, yang sering kali ditentang oleh kaum puritan, justru dipertahankan dan diperkaya oleh NU sebagai bentuk ekspresi spiritualitas dan penguatan ikatan sosial. Ini menunjukkan keluwesan Aswaja dalam menerima praktik-praktik keagamaan yang memiliki dasar dan kemaslahatan, serta tidak bertentangan dengan prinsip dasar Islam, menjadikannya bagian tak terpisahkan dari "Islam Nusantara."
Ilustrasi globe atau peta dunia, menandakan penyebaran nilai-nilai Islam yang universal dan inklusif.
Di tengah arus globalisasi yang tak terbendung, kemajuan teknologi informasi yang pesat, dan dinamika sosial politik yang serba cepat, Aswaja An Nahdliyah menghadapi berbagai tantangan kompleks. Namun, pada saat yang sama, prinsip-prinsip dan metodologinya justru semakin menguat dan relevan sebagai solusi atas berbagai permasalahan kontemporer.
Media sosial dan internet telah menjadi platform yang sangat efektif dalam menyebarkan paham-paham keagamaan yang kadang bertentangan dengan prinsip Aswaja An Nahdliyah. Paham-paham ini bisa bersifat liberal-sekuler yang mengikis nilai-nilai agama, maupun radikal-literalis yang mendorong intoleransi dan kekerasan. Generasi muda, yang akrab dengan dunia digital, menjadi sasaran utama penyebaran paham-paham ini. Hal ini menuntut NU untuk lebih masif dan inovatif dalam melakukan dakwah digital, edukasi, dan pendidikan karakter berbasis Aswaja agar tidak kehilangan relevansi di ruang siber.
Meningkatnya akses informasi juga menyebabkan banyak individu, terutama kaum muda, cenderung melakukan interpretasi agama secara mandiri tanpa bimbingan ulama yang mumpuni atau tanpa memahami tradisi keilmuan yang kuat. Fenomena ini dapat mengikis otoritas ulama dan tradisi sanad keilmuan, yang merupakan pilar penting dalam Aswaja.
Meskipun pesantren tetap menjadi jantung NU, modernisasi pendidikan dan orientasi ekonomi kadang membuat sebagian santri kurang mendalami tradisi keilmuan klasik Aswaja secara mendalam. Tuntutan untuk beradaptasi dengan kurikulum nasional dan kebutuhan pasar kerja dapat menggeser fokus dari kajian kitab kuning yang intensif. Dibutuhkan inovasi dalam metodologi pengajaran agar tradisi ini tetap relevan, menarik, dan mudah diakses oleh generasi sekarang, tanpa kehilangan kedalaman dan otentisitasnya.
Selain itu, arus globalisasi juga membawa pola pikir yang cenderung instan dan pragmatis, yang kadang berbenturan dengan nilai-nilai kesabaran, ketekunan, dan adab dalam menuntut ilmu yang diajarkan di pesantren. Tantangan ini mengharuskan NU untuk terus memperkuat dan merevitalisasi peran pesantren sebagai pusat pendidikan dan pengkaderan ulama yang berkomitmen pada Aswaja.
Globalisasi membawa serta nilai-nilai baru yang kadang berbenturan dengan nilai-nilai luhur Aswaja dan budaya lokal Indonesia, seperti individualisme ekstrem, materialisme, konsumerisme, dan hedonisme. Pergeseran ini berpotensi mengikis semangat gotong royong, solidaritas sosial, dan akhlak mulia yang menjadi ciri khas masyarakat Indonesia. NU memiliki tugas besar untuk membentengi masyarakat dari dampak negatif ini, sambil tetap membuka diri terhadap kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Tantangan lain adalah munculnya fenomena post-truth dan disinformasi, yang dapat mempengaruhi cara pandang masyarakat terhadap agama dan kebangsaan. Hal ini menuntut NU untuk lebih aktif dalam literasi digital dan penyampaian informasi yang akurat dan berbasis ilmu, serta memperkuat nilai-nilai kritik dan tabayyun (klarifikasi) dalam menghadapi berita.
Tantangan politik identitas seringkali menggunakan isu agama sebagai alat untuk meraih kekuasaan atau kepentingan tertentu, yang berpotensi memecah belah umat dan bangsa. Polarisasi sosial yang tajam dapat mengancam persatuan dan kerukunan. NU, dengan prinsip Tawassuth dan Tasamuh-nya, harus terus menjadi penyejuk, perekat persatuan, dan garda terdepan dalam mengedukasi masyarakat agar tidak terjebak dalam politik identitas yang destruktif. Peran NU sebagai "penjaga" (haris) dan "pemelihara" (ra'i) NKRI menjadi semakin vital.
Dinamika demokrasi yang kadang diwarnai dengan retorika populis dan provokatif juga menjadi tantangan. NU harus mampu menjaga jarak yang tepat dari politik praktis, sehingga dapat terus berperan sebagai moral force dan penyeimbang yang independen, fokus pada kemaslahatan umat dan bangsa di atas kepentingan golongan.
Meskipun menghadapi berbagai tantangan, prinsip-prinsip Aswaja An Nahdliyah justru semakin relevan dan dibutuhkan di era modern ini, baik di tingkat nasional maupun global:
Di tengah maraknya ekstremisme, radikalisme, dan terorisme global yang mengatasnamakan agama, Aswaja An Nahdliyah menawarkan model Islam yang moderat, toleran, dan damai, sangat dibutuhkan untuk menciptakan ketenteraman dunia. Konsep Islam Nusantara yang diusung NU, yang menekankan akomodasi budaya dan toleransi, menjadi contoh nyata bahwa Islam bisa hidup berdampingan secara harmonis dengan tradisi lokal dan modernitas. Model ini telah banyak dilirik oleh komunitas internasional sebagai alternatif terhadap narasi ekstremis.
Penyebaran Islam yang rahmatan lil 'alamin melalui Aswaja An Nahdliyah menjadi penawar bagi konflik-konflik berbasis agama di berbagai belahan dunia, menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang mengajarkan kasih sayang, bukan kebencian; persatuan, bukan perpecahan.
Dengan komitmennya yang teguh terhadap Pancasila dan NKRI, Aswaja An Nahdliyah menjadi benteng terakhir yang menjaga persatuan dan kesatuan bangsa dari ancaman disintegrasi. NU telah terbukti mampu merajut keberagaman Indonesia melalui prinsip Tasamuh dan Tawassuth. Peran NU dalam mempromosikan persatuan di tengah keberagaman, membangun dialog antarumat beragama, dan menolak upaya-upaya yang memecah belah bangsa, sangat krusial dalam menjaga stabilitas dan keutuhan Indonesia.
Aswaja An Nahdliyah mengajarkan bahwa cinta tanah air adalah bagian dari iman, dan menjaga keutuhan bangsa adalah kewajiban agama. Ini memberikan legitimasi teologis bagi nasionalisme Indonesia yang inklusif dan pluralistik, memperkuat fondasi kebangsaan yang beragam.
Dalam masyarakat global yang seringkali kehilangan pegangan moral akibat arus materialisme dan pragmatisme, prinsip-prinsip Aswaja An Nahdliyah, seperti Tawazun dan I'tidal, memberikan panduan etika yang kokoh. Ia membimbing individu dan kolektif untuk menjalani kehidupan yang seimbang dan bermakna, tidak hanya mengejar materi tetapi juga mengutamakan spiritualitas, keadilan, dan kemanusiaan. Akhlak mulia yang diajarkan dalam tasawuf Aswaja menjadi relevan untuk membangun karakter bangsa yang berintegritas dan beradab.
Aswaja An Nahdliyah menawarkan sebuah kerangka moral yang mampu membimbing umat dalam menghadapi kompleksitas kehidupan modern, mulai dari etika digital, tanggung jawab lingkungan, hingga keadilan sosial, dengan tetap berlandaskan pada nilai-nilai Islam yang universal.
Model Aswaja An Nahdliyah yang akomodatif, adaptif, damai, dan inklusif dapat menjadi inspirasi bagi penyelesaian konflik dan pembangunan perdamaian di berbagai belahan dunia yang sedang bergejolak karena konflik antaragama, ideologi, atau etnis. Pendekatan NU yang mengedepankan dialog, toleransi, dan kebijaksanaan dalam dakwah dapat menjadi model bagi masyarakat internasional untuk membangun koeksistensi damai.
Kontribusi intelektual NU melalui Bahtsul Masail dan kajian-kajian keislaman yang komprehensif juga memberikan sumbangsih bagi pengembangan pemikiran Islam global, menawarkan solusi-solusi keagamaan yang kontekstual dan relevan bagi permasalahan umat manusia secara universal.
Paham Aswaja An Nahdliyah bukan sekadar teori teologis yang abstrak, melainkan sebuah manhaj (metodologi) beragama yang komprehensif dan panduan praktis yang membentuk cara pandang, sikap, dan perilaku sehari-hari para pengikutnya. Penerapannya terlihat dalam berbagai aspek kehidupan, menciptakan corak keislaman yang khas di Indonesia.
Muslim Aswaja An Nahdliyah cenderung mengikuti salah satu dari empat mazhab fikih yang diakui (umumnya mazhab Syafi'i di Indonesia) dalam praktik ibadah seperti shalat, puasa, zakat, haji, dan berbagai muamalah. Konsistensi ini memberikan kerangka yang jelas, terstruktur, dan teruji dalam menjalankan syariat. Ini membantu menghindari kebingungan akibat perbedaan pendapat yang terlalu luas atau penafsiran yang tidak memiliki dasar kuat, serta menjaga disiplin dalam beribadah sesuai tuntunan para ulama mujtahid.
Praktik seperti tahlilan (doa bersama untuk orang yang meninggal), yasinan (membaca surat Yasin berjamaah), maulidan (peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW), manaqiban (pembacaan kisah-kisah wali), dan ziarah kubur (mengunjungi makam para wali dan ulama) adalah contoh nyata dari tradisi keagamaan yang dihidupkan oleh Muslim Aswaja An Nahdliyah. Tradisi-tradisi ini, yang di beberapa tempat atau aliran lain dianggap bid'ah (inovasi dalam agama yang tidak ada dasarnya), justru dianggap sebagai tradisi baik (bid'ah hasanah) yang memiliki dasar syariat, memperkaya spiritualitas, mempererat tali silaturahmi, dan mengandung nilai-nilai dakwah serta pengingat akan akhirat.
Tasawuf Imam Al-Ghazali dan Junaid Al-Baghdadi yang menjadi bagian integral dari Aswaja menekankan pentingnya akhlak mulia (karakter etis) dan tazkiyatun nufus (penyucian jiwa). Ini mendorong umat untuk tidak hanya fokus pada ibadah ritual, tetapi juga pada pembentukan karakter positif seperti ikhlas, sabar, syukur, zuhud (tidak tamak dunia), tawakal (berserah diri kepada Allah), jujur, amanah, dan kasih sayang terhadap sesama. Tujuannya adalah mencapai kedekatan dengan Allah SWT (ma'rifatullah) melalui hati yang bersih dan perbuatan yang baik.
Prinsip Tasamuh sangat terlihat dalam interaksi sosial sehari-hari. Muslim Aswaja An Nahdliyah diajarkan untuk menghormati pemeluk agama lain, serta tidak mencampuri urusan keyakinan mereka. Dalam masyarakat majemuk seperti Indonesia, sikap ini menjadi perekat penting untuk menjaga keharmonisan, mencegah konflik antarumat beragama, dan membangun persaudaraan kebangsaan. Mereka tidak memaksakan ajaran agama kepada non-Muslim, namun tetap berpegang teguh pada keyakinannya.
Semangat gotong royong dan kepedulian sosial sangat ditekankan. Misalnya, membantu tetangga yang kesulitan, berpartisipasi dalam kerja bakti membersihkan lingkungan, atau aktif dalam kegiatan sosial kemasyarakatan yang bersifat filantropi. Ini adalah manifestasi dari habluminannas (hubungan baik dengan sesama manusia) yang harus seimbang dengan habluminallah (hubungan baik dengan Allah SWT). Kewajiban berzakat, infak, dan sedekah juga menjadi praktik rutin yang mendorong solidaritas sosial.
Tradisi Halal Bihalal (saling memaafkan), anjangsana (kunjungan), dan kunjungan antar keluarga atau kiai, merupakan bentuk nyata dari upaya menjaga silaturahmi yang diajarkan dalam Islam. Ini memperkuat ikatan sosial, mempererat persaudaraan (ukhuwah islamiyah), dan mencegah perpecahan. Kebersamaan dalam pengajian, majelis taklim, dan kegiatan keagamaan lainnya juga menjadi sarana memperkuat ukhuwah.
Konsep hubbul wathan minal iman (cinta tanah air sebagian dari iman) adalah prinsip yang sangat dipegang teguh oleh Muslim Aswaja An Nahdliyah. Ini mendorong mereka untuk menjadi warga negara yang baik, patuh hukum, berpartisipasi aktif dalam pembangunan, dan berkontribusi positif bagi kemajuan bangsa. Cinta tanah air diwujudkan bukan hanya melalui retorika, tetapi melalui kerja nyata dan komitmen terhadap kemajuan Indonesia.
Penerimaan Pancasila sebagai dasar negara dan NKRI sebagai bentuk final, adalah wujud nyata dari Tawassuth dan I'tidal. Bagi Aswaja An Nahdliyah, prinsip-prinsip Islam yang universal dapat selaras dengan nilai-nilai kebangsaan, dan tidak ada pertentangan antara menjadi Muslim yang taat dan warga negara yang setia. Pancasila dianggap sebagai "kalimatun sawa'" (titik temu) bagi berbagai elemen bangsa. NU menganggap upaya mengganti Pancasila dan membubarkan NKRI adalah tindakan inkonstitusional dan inkonsepsional yang harus ditolak.
Dengan prinsip Tawassuth, Muslim Aswaja An Nahdliyah diajarkan untuk menjauhi segala bentuk pemikiran dan gerakan ekstrem yang berpotensi memecah belah bangsa atau menggunakan kekerasan atas nama agama. Mereka menjadi garda terdepan dalam menjaga perdamaian dan stabilitas, serta menyebarkan pesan Islam yang moderat dan toleran ke seluruh lapisan masyarakat. Peran ini sangat penting dalam membentengi bangsa dari ideologi-ideologi transnasional yang radikal.
Adab terhadap guru (kiai/ulama) dan tradisi sanad keilmuan sangat dijunjung tinggi. Ini memastikan keberlanjutan mata rantai ilmu dari generasi ke generasi, menjaga otentisitas ajaran, dan mencegah penyimpangan pemahaman. Menuntut ilmu dilakukan dengan penuh hormat dan kesabaran, meyakini keberkahan ilmu yang didapat dari guru yang memiliki sanad yang jelas.
Dalam pandangan Aswaja An Nahdliyah, tidak ada dikotomi atau pemisahan antara ilmu agama dan ilmu umum. Keduanya penting untuk membentuk insan yang paripurna, cerdas secara intelektual dan spiritual, serta mampu berkontribusi secara komprehensif bagi peradaban. Oleh karena itu, pesantren-pesantren NU seringkali mengintegrasikan kurikulum umum dalam pendidikannya, dan banyak santri yang juga melanjutkan studi di bidang ilmu-ilmu modern.
Diajarkan untuk berpikir kritis dalam memahami ajaran agama, namun tetap dalam koridor adab, sopan santun, dan menghormati ulama. Musyawarah dan Bahtsul Masail (pembahasan masalah keagamaan) adalah tradisi intelektual yang hidup dalam NU untuk mencari solusi atas berbagai persoalan kontemporer secara kolektif, berbasis dalil dan tradisi keilmuan, serta mempertimbangkan kemaslahatan umat. Ini menunjukkan dinamisnya Aswaja dalam berijtihad.
Dengan demikian, Aswaja An Nahdliyah adalah sebuah manhaj (metodologi) beragama yang komprehensif, tidak hanya berdimensi spiritual tetapi juga sosial, budaya, dan kebangsaan. Ia membentuk karakter umat yang moderat, toleran, seimbang, adil, dan senantiasa menyeru kepada kebaikan dengan cara yang bijaksana, menjadi pilar utama bagi keberlangsungan Islam yang damai dan progresif di Indonesia.
Ilustrasi lentera, menyimbolkan pencerahan, petunjuk, dan kebijaksanaan.
Aswaja An Nahdliyah merupakan jantung, ruh, dan metodologi utama Nahdlatul Ulama, sebuah paham keagamaan yang mengakar kuat pada tradisi keilmuan Islam klasik yang otentik namun tetap adaptif terhadap dinamika modern. Ia adalah perpaduan harmonis antara akidah Asy'ariyah/Maturidiyah yang kokoh, fikih empat mazhab yang terstruktur, dan tasawuf Imam Al-Ghazali yang menekankan penyucian jiwa, yang semuanya diimplementasikan dengan lima prinsip etis yang menjadi ciri khasnya: Tawassuth (moderat), Tasamuh (toleran), Tawazun (seimbang), I'tidal (adil dan tegak lurus), dan Amar Ma'ruf Nahi Munkar (mengajak kebaikan dan mencegah kemungkaran dengan bijaksana).
Lebih dari sekadar identitas teologis, Aswaja An Nahdliyah adalah sebuah manhaj kehidupan yang membimbing umat Islam di Indonesia untuk menjadi pribadi yang moderat, toleran, adil, seimbang dalam menjalani kehidupan dunia dan akhirat, serta aktif menyeru pada kebaikan dengan cara yang santun dan bijaksana. Peran Nahdlatul Ulama dalam mempertahankan, menyebarkan, dan mengimplementasikan Aswaja An Nahdliyah telah terbukti krusial dalam menjaga keutuhan bangsa, menyebarkan Islam yang ramah dan inklusif (Islam Nusantara), serta menjadi perekat harmoni di tengah keberagaman Indonesia yang merupakan anugerah Illahi.
Di era kontemporer yang penuh tantangan, Aswaja An Nahdliyah justru semakin relevan sebagai solusi atas berbagai permasalahan global, menawarkan model Islam yang damai, inklusif, dan mampu berinteraksi positif dengan modernitas. Ia adalah fondasi kuat bagi Islam Nusantara, yang tidak hanya mempertahankan tradisi keilmuan yang luhur dan nilai-nilai keislaman yang murni, tetapi juga terus bergerak maju, berinovasi, dan berkhidmat untuk kemaslahatan umat manusia secara universal dan menjaga peradaban yang berkeadilan.