Aswaja & NU: Memahami Islam Nusantara yang Moderat dan Inklusif

Simbol Islam Nusantara Ilustrasi kubah masjid dengan bulan sabit dan bintang, dihiasi motif batik sebagai representasi Islam di Indonesia.

Indonesia, sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia, adalah rumah bagi corak keislaman yang unik dan khas, dikenal sebagai Islam Nusantara. Pilar utama dari Islam Nusantara ini adalah ajaran Ahlussunnah wal Jama'ah (Aswaja) yang dipegang teguh oleh Nahdlatul Ulama (NU). Artikel ini akan menggali secara mendalam tentang apa itu Aswaja, bagaimana ia menjadi fondasi bagi NU, serta bagaimana NU memainkan peran krusial dalam menjaga keutuhan bangsa, menyebarkan moderasi, dan beradaptasi dengan tantangan zaman.

Memahami Aswaja dan NU bukan sekadar mempelajari sejarah organisasi keagamaan, melainkan menyelami inti dari identitas keislaman mayoritas masyarakat Indonesia. Ini adalah kisah tentang bagaimana ajaran Islam yang autentik, relevan, dan adaptif, mampu berdialog dengan budaya lokal, membangun peradaban, serta berkontribusi pada perdamaian dan keharmonisan global. Dengan lebih dari 90 juta anggota, NU bukan hanya organisasi massa terbesar, tetapi juga kekuatan sosio-politik dan kultural yang tak terpisahkan dari perjalanan bangsa Indonesia.

Pengantar: Aswaja dan Nahdlatul Ulama

Apa itu Ahlussunnah wal Jama'ah (Aswaja)?

Ahlussunnah wal Jama'ah, disingkat Aswaja, secara harfiah berarti "golongan yang mengikuti ajaran Nabi Muhammad SAW dan jalan para sahabatnya." Ini adalah mazhab teologi dan metodologi pemahaman Islam yang diyakini oleh mayoritas umat Muslim di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Aswaja menekankan pentingnya mengikuti Sunnah (ajaran dan praktik Nabi Muhammad) dan Ijma' (konsensus) ulama salafus shalih (generasi awal Muslim yang saleh).

Secara esensial, Aswaja adalah pendekatan moderat dalam beragama, menghindari ekstremisme baik dalam bentuk liberalisme yang terlalu permisif maupun fundamentalisme yang kaku. Aswaja mengajarkan keseimbangan antara akal dan nash (teks agama), antara spiritualitas dan syariat, serta antara dimensi individu dan sosial dalam kehidupan beragama.

Prinsip-prinsip utama Aswaja meliputi:

Dalam ranah akidah, Aswaja di Indonesia umumnya mengikuti mazhab Asy'ariyah dan Maturidiyah. Dalam fikih (hukum Islam), menganut salah satu dari empat mazhab utama: Hanafi, Maliki, Syafi'i, atau Hambali, dengan mayoritas Muslim Indonesia mengikuti Mazhab Syafi'i. Sedangkan dalam tasawuf (etika dan spiritualitas), mengikuti ajaran Imam Al-Ghazali dan Imam Junaid Al-Baghdadi.

Nahdlatul Ulama (NU): Penjaga Tradisi Aswaja

Nahdlatul Ulama, yang berarti "Kebangkitan Ulama," adalah organisasi Islam terbesar di Indonesia dan bahkan di dunia. Didirikan pada 31 Januari 1926 M (16 Rajab 1344 H) di Surabaya oleh Hadratus Syekh KH. Hasyim Asy'ari bersama para ulama lainnya, NU bertujuan untuk melestarikan, mengembangkan, dan menyebarkan ajaran Ahlussunnah wal Jama'ah di tengah masyarakat Indonesia.

Kehadiran NU bermula dari kekhawatiran para ulama tradisionalis terhadap gelombang modernisasi dan reformasi Islam yang dibawa dari Timur Tengah, yang cenderung mengabaikan tradisi keilmuan Islam klasik dan praktik keagamaan lokal. NU didirikan sebagai wadah untuk mempertahankan praktik keislaman yang telah mengakar di Nusantara, yang bercirikan moderasi, toleransi, dan akulturasi dengan budaya lokal.

Sejak awal berdirinya, NU tidak hanya fokus pada aspek keagamaan, tetapi juga pada isu-isu sosial, pendidikan, dan politik. Para pendiri NU menyadari bahwa kemerdekaan dan kemajuan bangsa adalah bagian integral dari misi dakwah Islam. Oleh karena itu, NU selalu terlibat aktif dalam perjuangan kemerdekaan, pembangunan nasional, dan pembentukan karakter bangsa.

Sejarah Aswaja dan Perkembangannya

Aswaja di Era Awal Islam

Konsep Ahlussunnah wal Jama'ah berakar kuat pada masa Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya. Setelah wafatnya Nabi, muncul berbagai perselisihan dan perpecahan di kalangan umat Muslim, terutama terkait masalah kepemimpinan dan penafsiran ajaran Islam. Di tengah gejolak ini, mayoritas umat Muslim tetap berpegang pada ajaran Nabi dan tradisi yang telah disepakati oleh para sahabat, yang kemudian dikenal sebagai golongan Ahlussunnah wal Jama'ah.

Ciri utama pada masa ini adalah kepatuhan pada Al-Qur'an dan Sunnah, serta merujuk pada pemahaman para sahabat yang dianggap paling dekat dengan Nabi. Mereka menghindari bid'ah (inovasi dalam agama yang tidak ada dasarnya) dan khurafat (keyakinan takhayul).

Perkembangan Mazhab Akidah: Asy'ariyah dan Maturidiyah

Seiring berjalannya waktu, ketika umat Islam berinteraksi dengan filsafat Yunani dan berkembangnya ilmu kalam (teologi), muncul perdebatan sengit mengenai sifat-sifat Tuhan, kebebasan kehendak manusia, dan status Al-Qur'an. Kelompok Mu'tazilah, misalnya, menonjol dengan pendekatan rasionalis mereka yang terkadang dianggap terlalu jauh dari teks-teks suci.

Menanggapi hal ini, muncullah dua teolog besar yang merumuskan kerangka akidah Ahlussunnah wal Jama'ah secara sistematis:

  1. Imam Abul Hasan Al-Asy'ari (w. 324 H/935 M): Awalnya seorang Mu'tazilah, ia kemudian beralih dan mengembangkan teologi yang menyeimbangkan akal dan nash. Al-Asy'ari menekankan bahwa akal harus tunduk pada wahyu, namun tidak menafikan peran akal dalam memahami wahyu. Mazhab Asy'ariyah mendominasi dunia Islam, khususnya di wilayah Mesir, Syam, Irak, dan Nusantara.
  2. Imam Abu Mansur Al-Maturidi (w. 333 H/944 M): Berasal dari Samarkand, Asia Tengah, Al-Maturidi mengembangkan mazhab teologi yang memiliki banyak kesamaan dengan Asy'ariyah, meskipun dengan beberapa perbedaan kecil dalam penekanan. Mazhab Maturidiyah banyak diikuti di Asia Tengah, India, dan sebagian Turki.

Kedua mazhab ini menjadi pilar utama akidah Aswaja, memberikan landasan teologis yang kokoh bagi umat Muslim untuk memahami ketuhanan dan ajaran Islam dengan cara yang rasional namun tetap berpegang teguh pada wahyu.

Perkembangan Mazhab Fikih: Empat Mazhab

Dalam bidang fikih (hukum Islam), Aswaja berpegang pada metodologi hukum yang dikembangkan oleh empat imam mazhab besar. Mereka bukan hanya ahli hukum, tetapi juga tokoh spiritual yang sangat dihormati:

  1. Imam Abu Hanifah (w. 150 H/767 M): Pendiri Mazhab Hanafi, dikenal dengan penggunaan akal (ra'yu) dan qiyas (analogi) yang kuat, terutama dalam kasus-kasus baru yang tidak ditemukan secara eksplisit dalam nash.
  2. Imam Malik bin Anas (w. 179 H/795 M): Pendiri Mazhab Maliki, fokus pada praktik penduduk Madinah (amal ahlil Madinah) sebagai sumber hukum, selain Al-Qur'an dan Sunnah, mengingat Madinah adalah tempat Nabi SAW berdakwah dan wafat.
  3. Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi'i (w. 204 H/820 M): Pendiri Mazhab Syafi'i, dikenal sebagai "Nashirussunnah" (penolong Sunnah). Mazhab ini menonjolkan metodologi (ushul fikih) yang sangat sistematis, menempatkan Al-Qur'an, Sunnah, Ijma', dan Qiyas sebagai sumber hukum secara berurutan. Mazhab Syafi'i adalah yang paling dominan di Indonesia.
  4. Imam Ahmad bin Hanbal (w. 241 H/855 M): Pendiri Mazhab Hanbali, sangat menekankan pada Al-Qur'an dan Sunnah dengan interpretasi yang harfiah, serta menghindari penafsiran berlebihan.

Meskipun ada perbedaan dalam detail hukum, keempat mazhab ini saling menghormati dan dianggap sah dalam Islam. Keberadaan mereka adalah kekayaan intelektual umat, menunjukkan fleksibilitas dan kedalaman pemahaman syariat Islam.

Perkembangan Tasawuf: Al-Ghazali dan Junaid Al-Baghdadi

Tasawuf adalah dimensi spiritual dalam Islam yang fokus pada penyucian jiwa, penguatan moral, dan pendekatan diri kepada Allah. Dalam Aswaja, tasawuf yang diakui adalah tasawuf sunni yang tidak bertentangan dengan syariat dan akidah.

Dua tokoh sentral dalam tasawuf sunni adalah:

  1. Imam Junaid Al-Baghdadi (w. 297 H/909 M): Dikenal sebagai "Sayyid At-Taifah" (penghulu kaum sufi), ia merumuskan tasawuf yang sangat selaras dengan syariat. Ajarannya menekankan pentingnya ilmu, amal, dan akhlak sebagai landasan utama spiritualitas.
  2. Imam Abu Hamid Al-Ghazali (w. 505 H/1111 M): Dijuluki "Hujjatul Islam" (argumen Islam), Al-Ghazali berhasil menyatukan fikih, akidah, dan tasawuf dalam karya-karya monumentalnya seperti "Ihya' Ulumuddin." Beliau mengembalikan tasawuf ke jalur yang benar setelah sempat terkontaminasi oleh pemikiran-pemikiran yang menyimpang.

Tasawuf dalam Aswaja bukan tentang meninggalkan dunia, melainkan tentang bagaimana hidup di dunia dengan hati yang bersih, etika yang luhur, dan selalu mengingat Allah.

Aswaja di Indonesia dan Lahirnya Islam Nusantara

Kedatangan Islam ke Nusantara

Islam masuk ke Nusantara secara bertahap, mulai abad ke-7 hingga ke-13 Masehi, melalui jalur damai perdagangan, dakwah, dan akulturasi budaya. Para pedagang Muslim dari Arab, Persia, dan India membawa ajaran Islam yang umumnya beraliran Aswaja, khususnya Mazhab Syafi'i, serta tradisi tasawuf.

Para ulama dan wali penyebar Islam, seperti Wali Songo di Jawa, tidak datang dengan membawa pedang, melainkan dengan kebijaksanaan, keramahan, dan kemampuan berdialog dengan budaya lokal. Mereka memahami konteks masyarakat Nusantara yang kaya akan tradisi pra-Islam dan berhasil mengintegrasikan nilai-nilai Islam ke dalam kerangka budaya yang ada, tanpa menghilangkan identitas asli Nusantara.

Proses islamisasi yang damai ini menciptakan corak keislaman yang unik, di mana syariat Islam diterapkan namun dengan tetap menghormati adat istiadat setempat yang tidak bertentangan dengan ajaran agama. Inilah cikal bakal dari apa yang kemudian dikenal sebagai Islam Nusantara.

Islam Nusantara: Konsep dan Relevansinya

Islam Nusantara adalah istilah yang merujuk pada pemahaman dan praktik keislaman yang dikembangkan di kepulauan Nusantara, yang mengedepankan nilai-nilai moderasi, toleransi, keseimbangan, serta mengakomodasi kearifan lokal. Istilah ini dipopulerkan oleh NU sebagai bentuk perlawanan terhadap narasi Islam yang cenderung seragam, puritan, dan seringkali intoleran yang dibawa dari luar.

Ciri-ciri Islam Nusantara meliputi:

Islam Nusantara bukanlah mazhab baru atau aliran yang berbeda dari Islam pada umumnya, melainkan sebuah metode pemahaman dan praksis keislaman yang kontekstual. Ini adalah cara ber-Islam yang otentik bagi masyarakat Nusantara, yang telah terbukti mampu menjaga keharmonisan dan persatuan di tengah kemajemukan.

"Islam Nusantara adalah Islam yang secara substansi tidak berbeda dengan Islam di bagian dunia lain, namun secara ekspresi kebudayaan dan pendekatan dakwah, ia memiliki kekhasan yang lahir dari dialog panjang dengan realitas sosial-budaya Nusantara."

Nahdlatul Ulama: Sejarah Pendirian dan Pilar Gerakan

Latar Belakang dan Pendirian NU

Pendirian Nahdlatul Ulama pada 1926 tidak terlepas dari situasi sosio-politik dan keagamaan di awal abad ke-20. Pada masa itu, dua kekuatan besar mempengaruhi dinamika keislaman di Indonesia:

  1. Kolonialisme Belanda: Penjajahan Belanda tidak hanya menindas secara politik dan ekonomi, tetapi juga mencoba mengintervensi urusan agama dan pendidikan Islam.
  2. Gerakan Modernisme Islam: Gelombang pembaruan Islam dari Timur Tengah (misalnya gerakan Wahabi di Arab Saudi) mulai masuk ke Indonesia. Gerakan ini cenderung menolak tradisi keagamaan lokal, mazhab fikih, dan praktik tasawuf yang telah mengakar, dianggap sebagai bid'ah atau syirik.

Para ulama tradisionalis di Jawa, yang dikenal sebagai "Kaum Santri," merasa khawatir terhadap ancaman-ancaman ini. Mereka melihat bahwa tradisi keilmuan Islam klasik yang telah diwariskan secara turun-temurun melalui pesantren-pesantren terancam punah. Praktik-praktik keagamaan seperti tahlilan, ziarah kubur, maulidan, yang menjadi bagian integral dari kehidupan beragama masyarakat, mulai dikritik keras.

Untuk merespons tantangan ini, muncullah inisiatif dari beberapa ulama karismatik, di antaranya adalah:

Puncaknya adalah pembentukan "Komite Hijaz" pada 1924, yang bertujuan untuk memperjuangkan kebebasan bermazhab di tanah Hijaz (Mekah dan Madinah) yang saat itu dikuasai oleh Dinasti Saud yang menganut paham Wahabi. Ketika Komite Hijaz selesai menunaikan tugasnya, para ulama bersepakat untuk membentuk organisasi permanen yang lebih besar untuk melestarikan ajaran Aswaja. Maka pada 31 Januari 1926, berdirilah Nahdlatul Ulama.

Tujuan dan Pilar Gerakan NU

Tujuan utama Nahdlatul Ulama adalah:

  1. Melestarikan, mengembangkan, dan menyebarkan ajaran Ahlussunnah wal Jama'ah.
  2. Mewujudkan kemaslahatan masyarakat, kemajuan bangsa, dan ketinggian harkat dan martabat manusia.

Untuk mencapai tujuan tersebut, NU bergerak melalui berbagai pilar:

1. Pendidikan

Pendidikan adalah tulang punggung gerakan NU. Sejak awal, pesantren menjadi basis utama NU dalam mencetak ulama dan kader. NU mengembangkan sistem pendidikan formal dan non-formal dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi. Lembaga pendidikan NU antara lain:

Pendidikan NU tidak hanya mengajarkan ilmu agama, tetapi juga ilmu pengetahuan umum, keterampilan, dan menanamkan nilai-nilai kebangsaan serta karakter moderat.

2. Dakwah dan Sosial Keagamaan

Dakwah NU bercirikan pendekatan yang damai, persuasif, dan akomodatif terhadap budaya lokal. Para kiai dan dai NU menyampaikan ajaran Islam dengan hikmah (kebijaksanaan) dan mau'izah hasanah (nasihat yang baik), tidak dengan paksaan atau kekerasan. Kegiatan dakwah NU meliputi:

Selain dakwah, NU juga aktif dalam kegiatan sosial melalui lembaga-lembaga seperti Lembaga Amil Zakat, Infak, dan Sedekah NU (LAZISNU) dan Lembaga Penanggulangan Bencana dan Perubahan Iklim NU (LPBI NU) yang memberikan bantuan kemanusiaan dan mitigasi bencana.

3. Ekonomi dan Kemandirian Umat

NU berupaya memperkuat ekonomi umat melalui pengembangan koperasi, usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), serta Baitul Mal wat Tamwil (BMT). Tujuannya adalah untuk mewujudkan kemandirian ekonomi masyarakat, khususnya di kalangan nahdliyin (warga NU), sehingga tidak hanya kuat secara spiritual tetapi juga mandiri secara ekonomi.

4. Politik Kebangsaan

Meskipun NU secara kelembagaan tidak berafiliasi dengan partai politik tertentu, namun NU memiliki peran politik kebangsaan yang sangat kuat. Sejak awal, NU terlibat aktif dalam perjuangan kemerdekaan dan pembentukan dasar negara Indonesia. NU menjadi salah satu aktor utama dalam merumuskan dan mempertahankan Pancasila sebagai ideologi negara, serta NKRI sebagai bentuk final dari negara Indonesia.

Sikap politik NU selalu mengedepankan persatuan, kesatuan, dan kemaslahatan umat serta bangsa di atas kepentingan kelompok atau golongan. NU adalah penjaga Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika.

Struktur Organisasi dan Badan Otonom NU

Struktur Hierarkis NU

NU memiliki struktur organisasi yang kokoh dan berjenjang dari pusat hingga tingkat ranting, mencerminkan jangkauannya yang luas di seluruh Indonesia bahkan hingga mancanegara.

  1. Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU): Tingkat tertinggi yang berkedudukan di Jakarta. Dipimpin oleh Rais Aam (pemimpin tertinggi dalam hal keilmuan dan keagamaan) dan Ketua Umum (pemimpin eksekutif).
  2. Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU): Tingkat provinsi, mengkoordinir seluruh cabang di wilayahnya.
  3. Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU): Tingkat kabupaten/kota.
  4. Majelis Wakil Cabang Nahdlatul Ulama (MWCNU): Tingkat kecamatan.
  5. Pengurus Ranting Nahdlatul Ulama (PRNU): Tingkat desa/kelurahan, menjadi ujung tombak pelayanan dan dakwah NU di tengah masyarakat.

Setiap tingkatan pengurus dilengkapi dengan struktur Syuriyah (dewan penasihat/ulama) yang dipimpin oleh Rais dan Tanfidziyah (dewan pelaksana) yang dipimpin oleh Ketua. Ini mencerminkan dualisme kepemimpinan yang harmonis antara ulama yang memiliki otoritas keilmuan dan kiai/tokoh yang memiliki otoritas manajerial.

Badan Otonom NU

Untuk mengakomodasi berbagai segmen masyarakat dan memperluas jangkauan gerakannya, NU memiliki sejumlah Badan Otonom (Banom) yang masing-masing fokus pada kelompok usia atau profesi tertentu. Banom-banom ini sangat vital dalam menjalankan roda organisasi NU di lapangan:

  1. Jam'iyyah Ahlith Thariqah al-Mu'tabarah an-Nahdliyyah: Wadah bagi pengamal tarekat mu'tabarah.
  2. Muslimat Nahdlatul Ulama: Organisasi perempuan NU, fokus pada pemberdayaan perempuan, pendidikan anak, kesehatan, dan kesejahteraan keluarga.
  3. Fatayat Nahdlatul Ulama: Organisasi pemudi NU, membina perempuan muda dalam bidang agama, sosial, dan kepemimpinan.
  4. Gerakan Pemuda Ansor (GP Ansor): Organisasi pemuda NU, dikenal dengan Banser (Barisan Ansor Serbaguna) yang aktif dalam kegiatan sosial, pengamanan, dan penjagaan kerukunan umat.
  5. Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU): Organisasi pelajar laki-laki NU, fokus pada pembinaan pelajar di tingkat sekolah menengah.
  6. Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama (IPPNU): Organisasi pelajar perempuan NU, serupa dengan IPNU namun untuk pelajar putri.
  7. Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII): Organisasi mahasiswa yang secara historis berafiliasi kuat dengan NU, membina mahasiswa dalam bidang keilmuan, keislaman, dan kebangsaan.
  8. Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU): Wadah bagi para sarjana dan cendekiawan NU untuk berkontribusi dalam pembangunan ilmu pengetahuan dan masyarakat.
  9. Lembaga Kemaslahatan Keluarga Nahdlatul Ulama (LKKNU): Fokus pada isu-isu keluarga, anak, dan perempuan.
  10. Jami'iyyatul Qurro' wal Huffazh (JQH): Wadah bagi para qari' (pembaca Al-Qur'an) dan hafizh (penghafal Al-Qur'an).
  11. Lembaga Seni Budaya Muslimin Indonesia (Lesbumi): Mengembangkan seni dan budaya Islam yang berlandaskan nilai-nilai Aswaja dan kearifan lokal.

Setiap Banom memiliki otonomi dalam menjalankan programnya, namun tetap di bawah koordinasi dan arahan NU secara umum. Keberadaan Banom-banom ini menunjukkan dinamisme dan cakupan gerakan NU yang sangat luas.

Simbol Toleransi dan Buku Ilustrasi tangan-tangan yang saling menggenggam melambangkan toleransi, di atas sebuah buku terbuka sebagai simbol ilmu dan tradisi.

Peran NU dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara

Kontribusi NU pada Kemerdekaan Indonesia

Sejak awal berdirinya, NU telah menunjukkan komitmen kuat terhadap kemerdekaan Indonesia. Para ulama NU terlibat aktif dalam pergerakan nasional, bahkan sebelum proklamasi kemerdekaan.

Kontribusi NU tidak hanya berhenti pada perjuangan fisik, tetapi juga dalam perumusan ideologi negara dan menjaga stabilitas politik pasca-kemerdekaan. Para pemimpin NU selalu hadir dalam setiap fase penting sejarah Indonesia.

NU dan Pembentukan Karakter Bangsa

NU tidak hanya berjuang untuk kemerdekaan fisik, tetapi juga untuk membentuk karakter bangsa yang beriman, berakhlak mulia, dan berbudaya. Melalui pendidikan pesantren dan dakwah, NU menanamkan nilai-nilai luhur seperti:

Nilai-nilai ini menjadi landasan kuat bagi masyarakat Indonesia untuk membangun peradaban yang berkeadilan dan berperikemanusiaan. Para santri dan alumni pesantren NU tersebar di seluruh pelosok negeri, menjadi agen-agen perubahan dan penjaga nilai-nilai tersebut.

NU dan Tantangan Kontemporer

Menghadapi Radikalisme dan Ekstremisme

Di era modern, dunia menghadapi gelombang radikalisme dan ekstremisme yang mengatasnamakan agama. NU, dengan ajaran Aswaja-nya yang moderat, menjadi benteng utama dalam melawan ideologi-ideologi ini. NU secara tegas menolak segala bentuk kekerasan, terorisme, dan pemaksaan dalam beragama.

NU melakukan pendekatan komprehensif untuk menghadapi radikalisme:

Peran NU dalam menjaga Indonesia dari ancaman radikalisme sangat fundamental. Tanpa NU, gelombang ekstremisme mungkin akan lebih mudah menyebar dan merusak tatanan sosial yang telah terbangun.

Adaptasi dengan Modernisasi dan Globalisasi

NU bukanlah organisasi yang anti-modernisasi. Sebaliknya, NU selalu berupaya untuk beradaptasi dengan kemajuan zaman tanpa kehilangan identitas keaswajaannya. NU menyadari bahwa teknologi dan informasi adalah alat yang bisa dimanfaatkan untuk dakwah dan pengembangan organisasi.

Dengan demikian, NU membuktikan bahwa tradisi dapat beriringan dengan modernitas, dan Islam dapat relevan di tengah arus globalisasi.

Lingkungan Hidup dan Kemanusiaan

Dalam beberapa dekade terakhir, NU juga semakin aktif dalam isu lingkungan hidup dan kemanusiaan. Melalui Lembaga Penanggulangan Bencana dan Perubahan Iklim NU (LPBI NU), organisasi ini terlibat dalam upaya mitigasi bencana, pelestarian lingkungan, dan advokasi kebijakan yang berpihak pada keberlanjutan.

Para ulama NU juga mengeluarkan fatwa-fatwa terkait lingkungan, seperti pelarangan pembakaran hutan dan pentingnya menjaga kelestarian alam, menunjukkan bahwa Islam memiliki perhatian besar terhadap keberlanjutan planet ini.

Pendidikan, Dakwah, dan Ekonomi ala NU

Filosofi Pendidikan Pesantren NU

Pendidikan pesantren adalah jantung dari tradisi keilmuan NU. Filosofi dasarnya adalah membentuk insan yang "tafaqquh fiddin" (mendalami ilmu agama) sekaligus memiliki akhlakul karimah (akhlak mulia). Ciri khas pesantren NU meliputi:

  1. Sistem Bandongan dan Sorogan: Metode pengajaran tradisional di mana kiai membaca dan menerjemahkan kitab, sementara santri mendengarkan dan mencatat (bandongan), atau santri membaca kitab di hadapan kiai (sorogan).
  2. Penguasaan Kitab Kuning: Kurikulum utama adalah kitab-kitab klasik dalam berbagai disiplin ilmu Islam (fikih, tafsir, hadis, nahwu, sharaf, balaghah, tasawuf, dll.).
  3. Kemandirian dan Kesederhanaan: Santri dididik untuk hidup mandiri, sederhana, dan memiliki etos kerja yang tinggi.
  4. Interaksi Kiai-Santri: Hubungan batin yang kuat antara kiai dan santri menjadi inti dari proses pendidikan, di mana kiai bukan hanya guru tetapi juga figur teladan dan pembimbing spiritual.
  5. Penanaman Akhlak dan Adab: Selain ilmu, pesantren sangat menekankan adab (etika) terhadap guru, sesama santri, dan masyarakat.
  6. Integrasi dengan Kehidupan Masyarakat: Pesantren bukan menara gading, melainkan bagian integral dari masyarakat, tempat santri belajar berinteraksi dan mengabdi.

Filosofi ini telah terbukti efektif dalam mencetak ulama, cendekiawan, dan pemimpin yang memiliki kedalaman ilmu agama dan kepedulian sosial.

Karakteristik Dakwah NU

Dakwah Nahdlatul Ulama memiliki karakteristik yang membedakannya dari gerakan dakwah lainnya, sesuai dengan prinsip-prinsip Aswaja dan kearifan lokal:

  1. Hikmah (Kebijaksanaan): Dakwah dilakukan dengan cara yang bijaksana, mempertimbangkan konteks, audiens, dan tujuan.
  2. Mau'izah Hasanah (Nasihat yang Baik): Menyampaikan pesan agama dengan cara yang santun, persuasif, dan tidak menghakimi.
  3. Mujadalah Billati Hiya Ahsan (Berdebat dengan Cara yang Terbaik): Jika terjadi perdebatan, dilakukan dengan argumentasi yang logis dan etika yang baik, menghindari fitnah dan kekerasan verbal.
  4. Tafsir Kontekstual: Menginterpretasikan ajaran Islam dengan mempertimbangkan realitas sosial, budaya, dan historis masyarakat Nusantara.
  5. Akulturatif: Dakwah NU tidak merusak budaya lokal, melainkan mengintegrasikan nilai-nilai Islam ke dalam tradisi yang sudah ada.
  6. Inklusif dan Toleran: Menjangkau semua lapisan masyarakat, termasuk non-Muslim, dengan pesan-pesan perdamaian dan kerukunan.

Model dakwah seperti ini telah menjadikan Islam diterima secara luas di Nusantara dan mampu membangun masyarakat yang harmonis di tengah kemajemukan.

Ekonomi Keumatan NU: Pemberdayaan dan Kesejahteraan

NU sangat concern terhadap kemandirian ekonomi umat. Dalam pandangan NU, kemajuan spiritual harus diiringi dengan kemajuan ekonomi agar umat tidak mudah terpengaruh oleh hal-hal yang tidak sejalan dengan ajaran Islam. Beberapa inisiatif ekonomi NU meliputi:

Gerakan ekonomi NU berupaya membangun sistem ekonomi yang berbasis kerakyatan, berkeadilan, dan sesuai dengan prinsip-prinsip syariah.

NU di Kancah Global: Islam Rahmatan Lil 'Alamin

Mengenalkan Islam Moderat ke Dunia

Di tengah maraknya stigma negatif terhadap Islam akibat aksi terorisme dan ekstremisme, NU memikul peran penting dalam mengenalkan wajah Islam yang sesungguhnya: Islam yang moderat, toleran, dan damai. Melalui konsep Islam Nusantara, NU berupaya menunjukkan kepada dunia bahwa ada model ber-Islam yang mampu berdialog dengan modernitas, menghargai keberagaman, dan berkontribusi pada perdamaian global.

PBNU secara aktif menjalin hubungan dengan berbagai organisasi Islam dan lembaga internasional di seluruh dunia. Mereka menghadiri konferensi-konferensi internasional, melakukan dialog antar-agama, dan berbagi pengalaman Indonesia dalam mengelola kemajemukan.

Beberapa inisiatif global NU meliputi:

Kontribusi pada Perdamaian Dunia

NU tidak hanya berdakwah tentang perdamaian, tetapi juga aktif mengadvokasi dan berpartisipasi dalam upaya-upaya perdamaian. Konsep "Jihad damai" yang diusung NU menekankan bahwa jihad bukanlah perang fisik semata, melainkan perjuangan untuk keadilan, kebenaran, dan perdamaian melalui jalur non-kekerasan.

NU mendorong dialog sebagai solusi konflik, menolak penggunaan kekerasan atas nama agama, dan selalu menyerukan pentingnya persatuan umat manusia. Dalam konteks isu-isu Palestina, Rohingya, atau konflik di Timur Tengah, NU selalu menyerukan solusi damai dan keadilan bagi pihak-pihak yang tertindas.

Dengan peran globalnya, NU ingin menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang mengedepankan perdamaian, keadilan, dan kasih sayang bagi seluruh makhluk, bukan hanya bagi umat Muslim.

Kesimpulan: Masa Depan Aswaja dan NU

Ahlussunnah wal Jama'ah (Aswaja) sebagai kerangka pemahaman Islam yang moderat, toleran, dan seimbang, telah menemukan ekspresi otentiknya di Indonesia melalui Nahdlatul Ulama (NU). Selama hampir satu abad, NU tidak hanya berhasil melestarikan tradisi keilmuan Islam klasik, tetapi juga beradaptasi dengan tantangan zaman, berkontribusi pada kemerdekaan bangsa, dan menjadi penjaga utama nilai-nilai kebangsaan Indonesia.

NU, dengan kekuatan akar rumputnya yang masif, jaringan pesantren dan lembaga pendidikan yang luas, serta komitmen kuat pada Pancasila dan NKRI, adalah aktor kunci dalam menjaga stabilitas sosial dan politik Indonesia. Gerakan Islam Nusantara yang diusung NU kini menjadi inspirasi bagi banyak negara di dunia yang bergulat dengan ekstremisme dan intoleransi.

Masa depan Aswaja dan NU di Indonesia dan dunia tampak cerah namun penuh tantangan. Globalisasi, revolusi digital, dan dinamika geopolitik terus membawa isu-isu baru yang membutuhkan respons cerdas dan bijaksana. NU diharapkan terus menjadi pelopor dalam mengembangkan pemahaman Islam yang relevan, solutif, dan inklusif, sehingga mampu menjawab persoalan umat dan kemanusiaan.

Dengan tetap berpegang teguh pada khittah (garis perjuangan) dan prinsip-prinsip Aswaja, serta terus berinovasi dalam pendidikan, dakwah, dan pemberdayaan ekonomi, Nahdlatul Ulama akan terus menjadi mercusuar Islam moderat, penjaga tradisi yang adaptif, dan pilar penting bagi kemajuan Indonesia dan perdamaian dunia. Mempelajari dan memahami Aswaja dan NU berarti menyelami kekayaan Islam yang ramah, santun, dan menyejukkan, yang telah mewarnai peradaban Nusantara dan menginspirasi dunia.

🏠 Homepage