Dalam khazanah sastra dan sejarah Nusantara, terdapat karya-karya epik yang menjadi sumber pengetahuan tak ternilai mengenai masa lalu, sistem kepercayaan, dan tatanan masyarakat. Salah satu karya yang sering disebut dan memiliki kedalaman makna tersendiri adalah Babad Sengkala. Istilah "babad" merujuk pada sebuah babad atau catatan sejarah, sementara "sengkala" berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti "tahun" atau "penanggalan". Secara harfiah, Babad Sengkala berarti catatan sejarah yang berkaitan dengan penanggalan, peristiwa penting yang ditandai oleh tahun, atau bahkan sebuah sistem perhitungan waktu yang unik yang terkandung dalam narasi sejarah itu sendiri.
Sengkala bukan sekadar penanda waktu dalam pengertian kalender masehi atau hijriah semata. Dalam konteks babad, sengkala seringkali diwujudkan dalam bentuk sebuah frasa atau kata-kata yang memiliki makna numerik tersembunyi. Frasa ini, ketika diuraikan dengan kaidah tertentu, akan menghasilkan angka tahun dalam sistem penanggalan Jawa (yaitu perhitungan tahun Saka). Misalnya, frasa "Sirna Ilang Kertaning Bumi" yang terkenal, secara spiritual dan budaya mengacu pada tahun 666 Saka, yang bertepatan dengan tahun 744 Masehi. Frasa-frasa ini diciptakan untuk membuat peristiwa sejarah menjadi lebih mudah diingat, lebih puitis, dan terkadang juga sebagai sarana penyampaian ajaran moral atau filosofis.
Babad Sengkala, oleh karena itu, tidak hanya menyajikan kronologi peristiwa, tetapi juga membangun sebuah narasi yang terjalin erat dengan pemahaman kosmologis dan spiritual masyarakat pendukungnya. Setiap frasa sengkala yang disematkan pada sebuah peristiwa memberikan bobot dan makna yang lebih dalam. Ini menunjukkan bagaimana sejarah tidak hanya dipandang sebagai rangkaian kejadian, tetapi juga sebagai bagian dari siklus waktu yang lebih besar, penuh dengan simbolisme.
Fungsi utama Babad Sengkala adalah sebagai alat bantu memori kolektif. Di masa lalu, ketika pencatatan tertulis belum merata, sistem sengkala menjadi cara yang efektif untuk mengabadikan momen-momen penting. Pembuatan frasa sengkala yang cerdas dan bermakna ganda membutuhkan kecerdasan dan pemahaman mendalam atas bahasa, filsafat, dan peristiwa itu sendiri.
Selain fungsi mnemonik, Babad Sengkala juga memiliki signifikansi kultural dan filosofis yang mendalam:
Membaca Babad Sengkala membutuhkan pemahaman tentang aturan-aturan penafsiran sengkala. Setiap kata dalam frasa sengkala memiliki nilai numerik yang ditetapkan. Misalnya, dalam sistem yang umum digunakan:
Urutan pembacaan angka dari sengkala juga bervariasi, ada yang dibaca dari depan ke belakang, ada pula yang dibaca dari belakang ke depan. Hal ini yang terkadang menimbulkan perbedaan interpretasi jika tidak dipahami konteksnya dengan baik.
Contoh lain sengkala yang sering ditemui adalah "Rengsa Kala Muksa" yang bernilai 1300 Saka, atau "Gajah Ngerang" yang bernilai 1280 Saka. Frasa-frasa ini tidak hanya menjadi penanda waktu, tetapi juga seringkali mengandung narasi simbolis yang kaya, misalnya tentang kemenangan, kekalahan, atau perubahan besar yang terjadi pada masa tersebut.
Meskipun teknologi digital telah mengubah cara kita mencatat dan mengakses informasi, Babad Sengkala tetap relevan. Ia mengajarkan kita tentang pentingnya kedalaman makna, kreativitas dalam penyampaian informasi, dan kekayaan warisan budaya yang dimiliki bangsa Indonesia. Mempelajari Babad Sengkala adalah sebuah perjalanan intelektual yang membuka mata terhadap cara berpikir leluhur kita yang sarat kearifan. Ini adalah pengingat bahwa di balik setiap peristiwa, ada waktu yang berdetak dan makna yang terkandung, menunggu untuk diungkap.