Surah Az-Zumar, surah ke-39 dalam Al-Quran, adalah salah satu surah Makkiyah yang diturunkan di Mekah sebelum hijrah Nabi Muhammad ﷺ ke Madinah. Surah ini kaya akan pesan-pesan fundamental mengenai keesaan Allah (tauhid), kebangkitan setelah kematian, ganjaran dan hukuman, serta sifat-sifat Allah yang Maha Agung. Dinamai "Az-Zumar" yang berarti "rombongan-rombongan" karena pada ayat-ayat terakhirnya menggambarkan bagaimana manusia akan digiring ke surga atau neraka dalam rombongan-rombongan berdasarkan amal perbuatan mereka. Secara keseluruhan, Surah Az-Zumar menekankan pentingnya mengikhlaskan seluruh bentuk ibadah hanya kepada Allah semata dan memperingatkan keras tentang bahaya syirik (menyekutukan Allah) serta konsekuensinya di akhirat.
Di antara ayat-ayat yang memiliki makna sangat mendalam dan menjadi landasan pokok akidah Islam adalah ayat ke-3. Ayat ini tidak hanya menegaskan prinsip tauhid, tetapi juga menyingkap tabir alasan sesat para penyembah berhala dan memberikan peringatan tegas kepada mereka. Memahami ayat ini secara komprehensif adalah kunci untuk mengukuhkan fondasi keimanan dan memurnikan praktik ibadah kita dari segala bentuk kontaminasi syirik.
Mari kita telusuri lafaz, transliterasi, dan terjemah dari Surah Az-Zumar ayat 3:
أَلَا لِلَّهِ الدِّينُ الْخَالِصُ ۚ وَالَّذِينَ اتَّخَذُوا مِن دُونِهِ أَوْلِيَاءَ مَا نَعْبُدُهُمْ إِلَّا لِيُقَرِّبُونَا إِلَى اللَّهِ زُلْفَىٰ ۚ إِنَّ اللَّهَ يَحْكُمُ بَيْنَهُمْ فِي مَا هُمْ فِيهِ يَخْتَلِفُونَ ۗ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي مَنْ هُوَ كَاذِبٌ كَفَّارٌ
Alā lillāhil-dīnul-khāliṣ, wal-lażīnattakhażū min dūnihī auliyā`a mā na'buduhum illā liyuqarribūnā ilallāhi zulfā, innallāha yaḥkumu bainahum fī mā hum fīhi yakhtalifūn, innallāha lā yahdī man huwa kāżibun kaffār.
Ingatlah! Hanya milik Allah agama yang murni (ikhlas). Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Dia (berkata), "Kami tidak menyembah mereka melainkan (berharap) agar mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya." Sungguh, Allah akan memutuskan di antara mereka tentang apa yang mereka perselisihkan. Sungguh, Allah tidak memberi petunjuk kepada pendusta dan orang yang sangat ingkar.
Sebelum mendalami ayat ini, penting untuk memahami konteks Surah Az-Zumar secara keseluruhan. Surah ini diturunkan pada periode akhir dakwah Nabi Muhammad ﷺ di Mekah, ketika tekanan dan penindasan kaum Quraisy terhadap kaum Muslimin semakin memuncak. Dalam kondisi seperti ini, Al-Quran terus-menerus menegaskan prinsip tauhid, keesaan Allah, dan kebatilan syirik. Tujuannya adalah untuk menguatkan iman para pengikut Nabi dan membantah argumen-argumen kaum musyrikin yang menyembah berhala dan sekutu-sekutu selain Allah.
Surah Az-Zumar dimulai dengan penegasan bahwa Al-Quran diturunkan dari Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Kemudian, surah ini langsung beralih ke inti pesan: ibadah harus ditujukan semata-mata kepada Allah dengan tulus ikhlas. Ayat-ayat setelahnya menguraikan berbagai tanda kebesaran Allah di alam semesta sebagai bukti keesaan-Nya, serta menjelaskan bagaimana manusia akan menghadapi takdirnya di hari kiamat. Oleh karena itu, Ayat 3 ini adalah poros utama yang mengikat seluruh tema surah, yakni tentang kemurnian agama dan bahaya menyekutukan Allah.
Setiap frasa dalam Ayat 3 ini memiliki bobot makna yang sangat besar. Mari kita bedah beberapa kata kunci:
Kata ini adalah partikel penarik perhatian atau penegasan (huruf tanbih). Penggunaannya di awal ayat menandakan bahwa apa yang akan disampaikan selanjutnya adalah sebuah kebenaran fundamental yang harus diperhatikan dengan sungguh-sungguh. Ini bukan sekadar informasi, melainkan sebuah proklamasi penting yang membutuhkan kesadaran penuh dari pendengar.
Frasa ini dimulai dengan huruf lam yang menunjukkan kepemilikan eksklusif atau kekhususan. "Lillāhi" berarti bahwa sesuatu (dalam hal ini, agama yang murni) secara mutlak dan tidak terbagi adalah milik Allah semata. Implikasinya, tidak ada entitas lain yang berhak mengklaim kepemilikan atasnya, apalagi berbagi dalam kepemilikan tersebut.
Kata "Ad-Dīn" memiliki beberapa makna dalam bahasa Arab:
Kata ini berasal dari akar kata 'khalaṣa' yang berarti bersih, murni, tulus, bebas dari campuran. "Al-Khāliṣ" berarti sesuatu yang telah dimurnikan dari segala kotoran atau campuran.
"Auliyā'" (bentuk jamak dari 'walī') berarti pelindung, penolong, teman dekat, atau sekutu. Frasa ini merujuk kepada kaum musyrikin yang mencari pertolongan, perlindungan, atau perantara kepada selain Allah, seperti berhala, malaikat, nabi, orang saleh yang telah meninggal, atau jin. Tindakan ini adalah esensi dari syirik, yaitu menyekutukan Allah dalam kekuasaan, perlindungan, dan ibadah.
Ini adalah pengakuan sekaligus pembelaan diri dari kaum musyrikin. Mereka tidak secara terang-terangan menolak keberadaan Allah sebagai Tuhan Yang Maha Pencipta, tetapi mereka mengklaim bahwa berhala-berhala atau sesembahan lain yang mereka puja berfungsi sebagai perantara atau "jembatan" untuk mendekatkan diri kepada Allah. "Zulfā" berarti kedekatan posisi atau derajat. Mereka mengira bahwa dengan beribadah kepada perantara ini, mereka akan mendapatkan kedudukan yang lebih tinggi di sisi Allah.
Ayat ini adalah peringatan dan jaminan keadilan. Allah adalah Hakim Yang Maha Adil. Di hari kiamat, Dia akan mengadili seluruh perselisihan antara kaum musyrikin dan kaum mukminin, antara kebenaran dan kebatilan. Keputusan Allah akan berdasarkan keadilan mutlak dan tidak ada yang bisa membantahnya.
Penutup ayat ini sangat kuat.
Ayat ini adalah inti dari ajaran tauhid. Mari kita selami lebih jauh tafsirnya.
Frasa "أَلَا لِلَّهِ الدِّينُ الْخَالِصُ" (Ingatlah! Hanya milik Allah agama yang murni) adalah pernyataan mutlak mengenai Tauhid Uluhiyah, yaitu pengesaan Allah dalam segala bentuk ibadah. Ini berarti bahwa seluruh ibadah, baik yang bersifat hati (niat, cinta, takut, harap, tawakal), lisan (dzikir, doa, istighfar), maupun perbuatan (salat, puasa, zakat, haji, sedekah, kurban), harus ditujukan semata-mata hanya kepada Allah, tanpa menyekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun. Kebenaran ini adalah fitrah manusia dan inti dari ajaran seluruh nabi dan rasul.
Dīnul Khāliṣ adalah ibadah yang tulus, bersih dari riya' (pamer kepada manusia), sum'ah (mencari popularitas), ujub (kagum pada diri sendiri), dan syirik dalam segala bentuknya. Seorang hamba yang memiliki 'Dīnul Khāliṣ' adalah dia yang menjadikan Allah sebagai satu-satunya tujuan dalam hidupnya, mencintai-Nya di atas segalanya, takut kepada-Nya dengan sebenar-benar takut, berharap hanya kepada-Nya, dan bertawakal sepenuhnya kepada-Nya. Ia tidak mencari pujian atau imbalan dari manusia, karena ia yakin bahwa pahala sejati hanya datang dari Allah.
Ini juga mencakup keyakinan bahwa hukum dan syariat yang sempurna berasal dari Allah. Mengikuti 'Dīnul Khāliṣ' berarti menyerahkan diri sepenuhnya kepada kehendak Allah, mengikuti perintah-Nya, dan menjauhi larangan-Nya, serta berhukum dengan syariat-Nya. Tidak ada campur tangan manusia yang bisa mengubah atau mencampuri kemurnian agama yang telah ditetapkan Allah.
Bagian kedua ayat ini, "وَالَّذِينَ اتَّخَذُوا مِن دُونِهِ أَوْلِيَاءَ مَا نَعْبُدُهُمْ إِلَّا لِيُقَرِّبُونَا إِلَى اللَّهِ زُلْفَىٰ" (Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Dia (berkata), "Kami tidak menyembah mereka melainkan (berharap) agar mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya"), menyingkap esensi dan argumen palsu para pelaku syirik.
Kaum musyrikin di masa Nabi Muhammad ﷺ, dan juga dalam banyak tradisi pagan lainnya, tidak sepenuhnya menolak keberadaan Tuhan Yang Maha Esa. Mereka mengakui Allah sebagai pencipta langit dan bumi (Tauhid Rububiyah), sebagaimana disebutkan dalam beberapa ayat Al-Quran lainnya (misalnya, Surah Luqman: 25, Surah Az-Zukhruf: 9). Namun, masalah utama mereka adalah dalam Tauhid Uluhiyah (ibadah) dan Tauhid Asma wa Sifat (nama dan sifat Allah). Mereka merasa bahwa Allah terlalu tinggi dan jauh untuk didekati secara langsung, sehingga mereka mencari perantara berupa berhala, patung, orang saleh yang telah meninggal, atau makhluk lainnya. Mereka beranggapan bahwa perantara-perantara ini memiliki kedudukan istimewa di sisi Allah dan dapat menyampaikan doa atau permohonan mereka kepada-Nya.
Argumen "liyuqarribūnā ilallāhi zulfā" (agar mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya) adalah inti dari syirik. Ini adalah bentuk syirik akbar, yaitu menyekutukan Allah dalam ibadah. Al-Quran dengan tegas membantah argumen ini. Allah tidak membutuhkan perantara. Dia Maha Dekat, Maha Mendengar, dan Maha Mengabulkan doa. Firman Allah dalam Surah Al-Baqarah ayat 186: "Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Aku, maka sesungguhnya Aku dekat. Aku kabulkan permohonan orang yang berdoa apabila dia berdoa kepada-Ku."
Konsep perantara yang sah (wasilah) dalam Islam adalah dengan amal saleh atau melalui doa orang saleh yang masih hidup. Adapun menjadikan orang yang sudah meninggal, jin, atau benda mati sebagai perantara dalam ibadah atau permohonan adalah bentuk kesyirikan yang dilarang keras. Mereka yang berbuat syirik sebenarnya telah merendahkan keagungan Allah dan mengingkari sifat-sifat-Nya yang Maha Dekat dan Maha Kuasa.
Frasa "إِنَّ اللَّهَ يَحْكُمُ بَيْنَهُمْ فِي مَا هُمْ فِيهِ يَخْتَلِفُونَ" (Sungguh, Allah akan memutuskan di antara mereka tentang apa yang mereka perselisihkan) menegaskan bahwa Allah adalah satu-satunya Hakim yang akan memutuskan segala perselisihan di antara manusia, khususnya dalam hal akidah dan ibadah. Kaum mukminin dan musyrikin berbeda pandangan tentang siapa yang berhak disembah dan bagaimana cara beribadah yang benar. Allah akan menyelesaikan perselisihan ini di hari kiamat.
Keputusan Allah akan didasarkan pada kebenaran mutlak. Mereka yang mengikuti petunjuk Allah dan mengesakan-Nya dalam ibadah akan mendapatkan surga, sedangkan mereka yang menyekutukan-Nya akan mendapatkan azab neraka. Ini adalah peringatan bagi setiap individu untuk merenungkan akidahnya dan memastikan bahwa ia berada di jalan yang benar sebelum hari penghakiman tiba.
Penutup ayat ini, "إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي مَنْ هُوَ كَاذِبٌ كَفَّارٌ" (Sungguh, Allah tidak memberi petunjuk kepada pendusta dan orang yang sangat ingkar), adalah konsekuensi logis dari perilaku syirik. Mengapa Allah tidak memberi petunjuk kepada mereka? Karena mereka telah memilih jalan dusta dan pengingkaran secara sukarela.
Ayat ini sarat dengan pelajaran dan hikmah yang fundamental bagi kehidupan seorang Muslim:
Pesan utama ayat ini adalah keharusan untuk mengikhlaskan seluruh ibadah hanya kepada Allah. Keikhlasan adalah ruh dan esensi dari setiap amal saleh. Tanpa keikhlasan, amal perbuatan bisa menjadi sia-sia di sisi Allah, bahkan bisa mendatangkan dosa jika niatnya adalah riya' atau syirik. Seorang Muslim harus senantiasa introspeksi diri, memastikan bahwa niatnya dalam beribadah, berinfak, berdakwah, atau melakukan kebaikan apapun adalah semata-mata mencari keridaan Allah, bukan pujian manusia atau tujuan duniawi lainnya.
Ayat ini adalah pukulan telak terhadap segala bentuk syirik, baik syirik akbar maupun syirik asghar. Ia menjelaskan secara gamblang bahwa argumen "mendekatkan diri kepada Allah" melalui perantara adalah alasan yang batil dan merupakan bentuk kedustaan serta keingkaran. Seorang Muslim harus menjauhi segala praktik yang mengarah pada syirik, seperti meminta pertolongan kepada selain Allah (baik yang hidup maupun yang sudah meninggal), percaya pada jimat, perdukunan, atau mengandalkan kekuatan selain Allah dalam hal-hal yang hanya menjadi kekuasaan-Nya.
Salah satu hikmah terbesar dari ayat ini adalah penegasan bahwa Allah Maha Dekat dengan hamba-Nya dan tidak membutuhkan perantara. Hamba dapat langsung berdoa, memohon, dan mengadu kepada Allah tanpa melalui siapapun. Keyakinan ini membebaskan manusia dari ketergantungan kepada makhluk dan mengarahkan seluruh harapan hanya kepada Sang Pencipta. Ini adalah inti dari kemuliaan manusia, yaitu dapat berhubungan langsung dengan Tuhannya.
Ayat ini memperingatkan kita tentang bahaya kedustaan dan keingkaran yang disengaja. Ketika seseorang dengan sengaja menolak kebenaran yang telah jelas, atau berbohong atas nama agama untuk membenarkan kesalahannya, maka Allah akan mencabut petunjuk dari hatinya. Ini adalah pelajaran penting tentang pentingnya kejujuran (sidq) dan kesediaan untuk menerima kebenaran, meskipun itu berat atau bertentangan dengan tradisi yang sudah ada.
Pengingat bahwa Allah akan memutuskan segala perselisihan di hari kiamat adalah motivasi bagi kaum mukminin untuk tetap istiqamah di atas kebenaran, meskipun menghadapi penolakan dan permusuhan. Ini juga menjadi peringatan bagi pelaku kesyirikan bahwa kebatilan mereka tidak akan luput dari pengadilan Allah. Setiap orang akan mendapatkan balasan sesuai dengan amal dan keyakinannya.
Konsep 'Dīnul Khāliṣ' (agama yang murni) tidak hanya berbicara tentang keyakinan di hati, tetapi juga amal perbuatan. Ibadah yang murni mencerminkan iman yang tulus. Ini menunjukkan bahwa iman dan amal tidak dapat dipisahkan; keduanya harus sinkron dan saling mendukung dalam membentuk pribadi Muslim yang kaffah.
Meskipun diturunkan lebih dari 14 abad yang lalu, pesan dari Surah Az-Zumar Ayat 3 tetap relevan dan urgen di era modern ini. Bentuk-bentuk syirik mungkin tidak selalu berupa penyembahan berhala fisik seperti di zaman dahulu, tetapi esensinya tetap sama: menyandarkan harapan, rasa takut, atau kecintaan yang seharusnya hanya milik Allah kepada selain-Nya.
Di dunia yang serba materialistis, banyak orang menjadikan harta, kekuasaan, jabatan, atau popularitas sebagai "sesembahan" mereka. Mereka menghabiskan seluruh waktu dan energi untuk mengejar hal-hal duniawi, seolah-olah itulah satu-satunya tujuan hidup mereka. Ini adalah bentuk syirik halus, di mana kecintaan dan pengabdian kepada dunia menggeser posisi Allah dalam hati. Egoisme dan kesombongan juga bisa menjadi "sekutu" yang menjauhkan seseorang dari Allah, membuatnya merasa cukup dengan dirinya sendiri dan tidak membutuhkan petunjuk Ilahi.
Meskipun Islam mengajarkan tolong-menolong, ketergantungan yang berlebihan pada manusia, partai politik, negara, atau institusi tertentu hingga menggeser tawakal kepada Allah, bisa menjadi bentuk syirik. Ketika seseorang lebih percaya pada kekuatan manusia atau sistem buatan manusia daripada kekuasaan Allah, ia telah melenceng dari 'Dīnul Khāliṣ'.
Di era media sosial, fenomena riya' dan sum'ah sangat merajalela. Banyak orang melakukan amal kebaikan, beribadah, atau menampilkan citra religius bukan karena Allah, melainkan untuk mendapatkan pujian, pengakuan, atau popularitas dari pengikutnya. Ayat 3 Surah Az-Zumar mengingatkan kita bahwa 'Dīnul Khāliṣ' adalah amal yang tersembunyi dari pandangan manusia dan hanya ditujukan kepada Allah. Ini menuntut kejujuran dan keikhlasan yang tinggi dalam menggunakan platform digital.
Peringatan terhadap "pendusta dan orang yang sangat ingkar" juga relevan untuk mereka yang fanatik secara buta terhadap suatu kelompok, mazhab, atau pemikiran tanpa didasari dalil yang kuat dari Al-Quran dan Sunnah. Ketika seseorang membela keyakinan atau praktik yang jelas-jelas bertentangan dengan tauhid hanya karena itu adalah tradisi atau ajaran kelompoknya, ia berisiko jatuh ke dalam kategori yang diingkari oleh Allah.
Dalam konteks surah ini, ayat-ayat lain Az-Zumar menjelaskan tanda-tanda kebesaran Allah di alam semesta. Di zaman modern, dengan kemajuan ilmu pengetahuan, kita memiliki lebih banyak kesempatan untuk merenungkan keagungan ciptaan Allah. Dari mikrokosmos atom hingga makrokosmos galaksi, semua menunjukkan kesempurnaan penciptaan dan keesaan Sang Pencipta. Merenungkan ini seharusnya semakin mengukuhkan 'Dīnul Khāliṣ' di hati kita.
Surah Az-Zumar ayat 3 adalah permata Al-Quran yang memberikan landasan kokoh bagi akidah Islam. Ia adalah proklamasi abadi tentang keesaan Allah (Tauhid Uluhiyah) dan keharusan untuk mengikhlaskan seluruh ibadah hanya kepada-Nya. Ayat ini membantah argumen batil kaum musyrikin yang menjadikan perantara dalam ibadah, mengingatkan mereka akan kedustaan dan keingkaran mereka, serta menegaskan bahwa Allah adalah Hakim Yang Maha Adil yang akan memutuskan segala perselisihan di hari kiamat.
Bagi seorang Muslim, ayat ini adalah pengingat konstan untuk menjaga kemurnian niat dan amal, menjauhkan diri dari segala bentuk syirik, dan senantiasa mendekatkan diri kepada Allah secara langsung tanpa perantara. Di tengah hiruk-pikuk kehidupan modern yang penuh dengan godaan materialisme dan riya', pesan dari Surah Az-Zumar ayat 3 berfungsi sebagai kompas spiritual yang membimbing kita kembali kepada fitrah tauhid dan keikhlasan sejati. Memahami, menghayati, dan mengamalkan isi ayat ini adalah kunci menuju kebahagiaan sejati di dunia dan akhirat, karena hanya milik Allah-lah agama yang murni dan ikhlas.
Semoga kita semua diberikan taufik dan hidayah untuk senantiasa mengamalkan 'Dīnul Khāliṣ' dalam setiap aspek kehidupan kita, sehingga kita termasuk golongan hamba-hamba-Nya yang tulus dan diridai oleh-Nya.