Ilustrasi simbolis: Gelombang sejarah dan penulisan
Babad Diponegoro, sebuah karya sastra epik yang mengisahkan perjalanan hidup dan perjuangan Pangeran Diponegoro, merupakan salah satu pilar penting dalam khazanah sejarah dan sastra Indonesia. Ditulis dalam bahasa Jawa dan bernarasi penuh kepahlawanan, babad ini secara tradisional dipandang sebagai sumber primer otentik mengenai peristiwa Perang Jawa (1825-1830) dan figur sentralnya.
Namun, dunia akademis dan pembaca global mendapatkan perspektif yang segar dan mendalam melalui karya Peter Carey, novelis pemenang Penghargaan Booker, yang merangkai Babad Diponegoro dengan narasi fiksi historisnya. Carey tidak hanya menerjemahkan, tetapi juga menginterpretasikan kembali teks kuno ini, membawanya ke audiens yang lebih luas dan memicu diskusi tentang sejarah, ingatan, dan kekuatan narasi.
Karya Peter Carey, terutama dalam novelnya "His Illegal Self" dan risetnya terkait Babad Diponegoro, menunjukkan ketertarikannya yang mendalam pada tokoh-tokoh sejarah yang kompleks dan konteks sosial-politik yang bergejolak. Melalui penafsirannya, Babad Diponegoro tidak lagi hanya menjadi dokumen sejarah yang kaku, melainkan menjadi sebuah narasi yang hidup, sarat emosi, dan relevan dengan tantangan kemanusiaan universal.
Carey, sebagai seorang sejarawan dan narator yang ulung, mendekati Babad Diponegoro dengan kepekaan seorang ahli bahasa dan imajinasi seorang seniman. Ia menggali lapisan-lapisan makna, menyoroti sisi kemanusiaan Pangeran Diponegoro yang mungkin terabaikan dalam bacaan tradisional. Fokusnya sering kali pada perjuangan internal, keraguan, dan momen-momen kerentanan sang pangeran, yang membuat sosoknya terasa lebih membumi dan bisa dipahami oleh pembaca modern.
Babad Diponegoro sendiri adalah sebuah contoh fiksi sejarah dalam bentuknya yang paling murni. Ditulis untuk melegitimasi dan merayakan perjuangan Pangeran Diponegoro, teks ini memiliki agenda tersendiri. Peter Carey, dalam kapasitasnya sebagai penulis fiksi sejarah, memahami betul bahwa sejarah seringkali merupakan konstruksi naratif. Ia menggunakan Babad Diponegoro sebagai titik tolak untuk mengeksplorasi bagaimana ingatan kolektif dibentuk, bagaimana cerita tentang kepahlawanan dibangun, dan bagaimana kekuasaan mempengaruhi penulisan sejarah.
Melalui karyanya, Carey mengajak pembaca untuk mempertanyakan siapa yang menulis sejarah dan untuk siapa sejarah itu ditulis. Ia menempatkan Babad Diponegoro dalam dialog dengan narasi kolonial yang dominan saat itu, menawarkan perspektif alternatif yang sering kali terpinggirkan. Pendekatan ini krusial untuk memahami dinamika kekuatan di balik setiap catatan sejarah.
Menerjemahkan dan menafsirkan karya sastra dari bahasa dan konteks budaya yang berbeda bukanlah tugas yang mudah. Babad Diponegoro ditulis dalam bahasa Jawa kuno, kaya akan metafora, simbol, dan rujukan budaya yang spesifik. Peter Carey, dengan latar belakang akademisnya dan penguasaannya terhadap studi Asia Tenggara, mampu menavigasi kompleksitas ini.
Namun, setiap interpretasi pasti akan membawa bias dari penafsirnya. Carey mungkin menambahkan elemen-elemen naratif atau menekankan aspek-aspek tertentu yang sesuai dengan visi artistiknya. Inilah letak kekuatan sekaligus tantangan dari penafsiran Carey. Ia membuka pintu bagi diskusi lebih lanjut tentang otentisitas, subjektivitas dalam sejarah, dan bagaimana narasi dapat diukir ulang lintas generasi dan budaya.
Karya Peter Carey yang mengacu pada Babad Diponegoro telah berhasil memperkenalkan kembali kisah Pangeran Diponegoro dan Perang Jawa kepada audiens global. Ia mengingatkan kita bahwa sejarah bukan hanya rangkaian fakta, melainkan juga kumpulan cerita yang terus-menerus dibicarakan, ditafsirkan, dan ditulis ulang. Babad Diponegoro, melalui lensa Peter Carey, menjadi lebih dari sekadar catatan masa lalu; ia menjadi pengingat tentang perjuangan melawan penindasan, tentang kompleksitas kepemimpinan, dan tentang kekuatan narasi dalam membentuk identitas sebuah bangsa.
Kolaborasi tak langsung antara penulis babad kuno dan novelis kontemporer ini menggarisbawahi sifat Babad Diponegoro yang dinamis dan terus relevan. Ini adalah bukti bahwa cerita-cerita besar dari masa lalu tetap memiliki resonansi di masa kini, terutama ketika dihadirkan dengan kepekaan artistik dan kecerdasan akademis.