Dalam lembaran sejarah peradaban manusia, terdapat banyak kisah yang mengandung hikmah dan pelajaran berharga, salah satunya adalah kisah kaum Tsamud. Kisah ini tidak sekadar narasi masa lalu, melainkan sebuah peringatan abadi yang diabadikan dalam kitab suci Al-Quran, menyoroti konsekuensi dari kesombongan, penolakan kebenaran, dan keingkaran terhadap nikmat Tuhan. Azab yang menimpa kaum Tsamud menjadi bukti nyata bahwa kekuasaan, kekayaan materi, dan kecanggihan teknologi tidak akan mampu menandingi keadilan ilahi ketika batas-batas kemanusiaan dan ketaatan kepada Sang Pencipta telah dilampaui.
Kisah ini bermula di sebuah wilayah yang kini diyakini berada di Madain Saleh, atau Al-Hijr, sebuah tempat yang terletak di antara Hijaz dan Syam, di bagian barat laut Semenanjung Arab. Kaum Tsamud adalah keturunan dari Tsamud bin Jabir bin Iram bin Sam bin Nuh, dan mereka merupakan penerus dari kaum 'Ad dalam hal kemegahan peradaban dan kekuatan fisik. Mereka dianugerahi tanah yang subur, sumber air yang melimpah, serta kemampuan luar biasa dalam mengukir dan membangun hunian dari bukit-bukit batu, menciptakan arsitektur yang megah dan tak tertandingi di masanya. Kota-kota gua yang mereka bangun dari pegunungan bukan hanya kokoh dan indah, melainkan juga menunjukkan tingkat kecanggihan yang mengagumkan, jauh melampaui peradaban kontemporer mereka.
Kemegahan peradaban mereka tercermin dari rumah-rumah mewah yang dipahat langsung dari pegunungan, menciptakan kota-kota gua yang kokoh dan indah. Keterampilan ini tidak hanya menunjukkan kecanggihan teknologi mereka, tetapi juga kekuatan fisik yang luar biasa. Dengan kekayaan alam dan kemewahan hidup, kaum Tsamud hidup dalam kemakmuran yang berlimpah, menikmati hasil pertanian yang subur dan peternakan yang makmur. Mereka membangun saluran irigasi yang rumit, taman-taman yang indah, dan benteng-benteng yang kokoh, menunjukkan keahlian rekayasa yang tinggi. Namun, kemakmuran ini perlahan mengikis spiritualitas mereka, menjerumuskan mereka ke dalam lembah kesyirikan dan penyembahan berhala. Mereka melupakan Tuhan Yang Maha Esa yang telah menganugerahkan segala nikmat tersebut, dan sebaliknya, mereka menciptakan tuhan-tuhan palsu dari batu yang mereka pahat sendiri, bahkan mengkultuskan nenek moyang mereka yang sudah meninggal.
Kisah ini, yang diceritakan berulang kali dalam Al-Quran, seperti dalam Surah Al-A'raf, Hud, Asy-Syu'ara, dan Al-Fajr, berfungsi sebagai peringatan universal. Ia mengajarkan tentang pentingnya tauhid (keesaan Allah), bahaya kesombongan dan penolakan kebenaran, serta konsekuensi dari pelanggaran batas-batas ilahi. Azab yang menimpa mereka bukan hanya kehancuran fisik, tetapi juga pelajaran tentang bagaimana peradaban, sekuat dan semegah apa pun, dapat runtuh jika fondasinya tidak dibangun di atas keimanan dan moralitas yang benar. Mari kita selami lebih dalam kisah kaum Tsamud ini, untuk mengambil setiap hikmah yang terkandung di dalamnya demi kehidupan kita saat ini dan di masa mendatang.
Kaum Tsamud merupakan salah satu kabilah Arab kuno yang disebutkan secara eksplisit dalam Al-Quran dan berbagai sumber sejarah Islam. Mereka adalah keturunan dari generasi setelah Kaum 'Ad yang juga dimusnahkan karena kedurhakaan mereka. Wilayah tempat tinggal mereka adalah Al-Hijr, yang saat ini dikenal sebagai Madain Saleh di bagian utara Madinah, Arab Saudi. Nama 'Tsamud' sendiri sering dikaitkan dengan kemampuan mereka yang luar biasa dalam menggali dan memahat batu. Mereka adalah bangsa yang dianugerahi fisik yang sangat kuat, kecerdasan arsitektur yang tinggi, serta keterampilan teknis yang memungkinkan mereka menguasai seni memahat pegunungan menjadi tempat tinggal yang kokoh, nyaman, dan megah. Peninggalan arsitektur mereka masih dapat dilihat hingga kini, berupa reruntuhan kota gua dengan fasad-fasad yang terpahat indah di tebing-tebing batu, menjadi saksi bisu akan kehebatan dan kemajuan peradaban mereka yang unik.
Wilayah geografis tempat tinggal kaum Tsamud adalah lembah-lembah subur dengan tanah yang gembur dan sumber air bersih yang melimpah ruah, menjadikannya oase di tengah gurun. Keadaan alam yang mendukung ini memungkinkan mereka untuk mengembangkan sektor pertanian dan peternakan dengan sangat sukses. Mereka tidak hanya membangun istana-istana mewah di dataran rendah yang rindang, tetapi juga memahat rumah-rumah tinggal yang aman dan tahan lama di lereng-lereng gunung batu. Adaptasi cerdas ini menunjukkan penguasaan mereka terhadap lingkungan serta hasrat untuk hidup dalam kemewahan dan kenyamanan. Kemakmuran yang berlimpah ini seharusnya mendorong mereka untuk bersyukur kepada Sang Pencipta yang telah menganugerahkan segala nikmat tersebut. Namun, sebaliknya, nikmat tersebut justru membutakan mata hati mereka, menjauhkan mereka dari fitrah untuk menyembah Allah SWT semata. Mereka terjebak dalam lingkaran kesenangan duniawi, menganggap remeh segala peringatan tentang kehidupan akhirat.
Kehidupan kaum Tsamud didominasi oleh kekayaan materi dan kesenangan duniawi yang berlebihan. Mereka terjerumus dalam praktik-praktik penyembahan berhala yang telah diwariskan dari generasi sebelumnya, meninggalkan ajaran tauhid yang telah dibawa oleh nabi-nabi terdahulu seperti Nabi Nuh dan Nabi Hud. Meskipun mereka memiliki pengetahuan yang tinggi dalam arsitektur, teknik irigasi, dan seni pahat, pengetahuan tersebut tidak digunakan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, melainkan untuk membangun monumen-monumen kesombongan, berhala-berhala yang tidak berdaya, dan melanggengkan tradisi yang sesat. Inilah awal mula kemerosotan moral dan spiritual kaum Tsamud, yang pada akhirnya mengundang murka dan azab Allah SWT. Mereka membangun menara-menara kesombongan yang menjulang tinggi, namun hati mereka semakin merosot ke dasar jurang kemaksiatan.
SVG 1: Representasi keahlian Kaum Tsamud dalam memahat gunung menjadi tempat tinggal yang kokoh dan indah.
Di tengah gemerlap kemewahan dan kemajuan peradaban yang memukau, kaum Tsamud terperosok semakin dalam ke dalam lembah kesyirikan yang pekat. Mereka tidak hanya menyembah berhala-berhala yang mereka pahat sendiri dari batu-batu pegunungan, tetapi juga mengkultuskan nenek moyang dan berbagai kekuatan alam yang mereka yakini memiliki pengaruh atas kehidupan mereka. Mereka secara fundamental melupakan Allah SWT, Sang Pemberi Rezeki, Pencipta segala sesuatu, dan Pengatur alam semesta. Kesombongan dan keangkuhan mencengkeram erat hati mereka, membuat mereka merasa bahwa kekuatan fisik yang luar biasa, kecerdasan arsitektur, dan kekayaan yang melimpah ruah adalah hasil murni dari kerja keras dan keunggulan mereka semata, tanpa campur tangan dan karunia dari Tuhan. Sikap arogansi ini adalah bibit-bibit kehancuran yang kelak akan menimpa mereka, sebuah kehancuran yang mereka undang sendiri melalui pilihan-pilihan mereka.
Selain kesyirikan yang akut, moralitas kaum Tsamud juga merosot tajam ke titik terendah. Kesenangan duniawi yang bersifat fana dan kepuasan hawa nafsu menjadi tujuan utama dan satu-satunya dalam hidup mereka, menggeser nilai-nilai kebenaran, keadilan, kasih sayang, dan empati yang seharusnya menjadi pilar masyarakat. Mereka hidup dalam pesta pora yang berlebihan, penindasan terhadap kaum yang lemah dan minoritas, serta berbagai bentuk kemaksiatan yang terang-terangan dan tidak lagi dianggap tabu. Kekuatan fisik yang mereka miliki seringkali disalahgunakan untuk menindas kaum fakir miskin, merampas hak-hak orang lain, dan memperluas kekuasaan mereka secara zalim dan keji. Ini adalah pola umum yang sering terjadi pada masyarakat yang mencapai puncak kemakmuran tanpa diiringi dengan pondasi keimanan yang kuat dan ketaatan spiritual, menjadikannya sebuah contoh klasik dari kejatuhan peradaban.
Al-Quran menggambarkan kondisi mereka sebagai kaum yang "berlebih-lebihan dalam kemewahan" dan "melampaui batas" dalam perilaku mereka (Q.S. Al-Fajr: 10-12). Ayat-ayat suci ini memberikan gambaran yang jelas dan lugas tentang bagaimana kekayaan dan kekuasaan yang tidak terbatas, jika tidak diimbangi dengan keimanan yang kokoh dan ketakwaan kepada Allah, dapat menjadi bencana yang menghancurkan bukan hanya individu, tetapi juga seluruh komunitas dan peradaban. Kemerosotan moral ini bukan hanya masalah pribadi atau segelintir individu, tetapi telah meresap ke dalam struktur sosial, budaya, dan politik kaum Tsamud, menciptakan masyarakat yang rusak dari dalam dan siap menerima balasan atas perbuatan keji mereka. Mereka membangun benteng-benteng materi, namun melubangi benteng-benteng moral mereka sendiri, menjadikannya rapuh dan rentan terhadap kehancuran ilahi.
Melihat kondisi kaum Tsamud yang semakin jauh dari jalan kebenaran, semakin terjerumus dalam kesyirikan dan kemaksiatan, Allah SWT dengan rahmat dan kasih sayang-Nya yang tak terbatas, tidak langsung menjatuhkan azab. Sebagaimana sunatullah-Nya yang selalu memberikan kesempatan, Allah mengutus seorang rasul dari kalangan mereka sendiri untuk membimbing mereka kembali ke jalan yang lurus, jalan tauhid dan kebaikan. Rasul yang mulia tersebut adalah Nabi Saleh AS. Beliau adalah seorang yang dikenal sangat saleh, memiliki kebijaksanaan yang mendalam, dan memiliki kedudukan yang terhormat serta disegani di tengah kaumnya. Allah memilihnya karena kejujuran, integritas, dan kemurnian hatinya, menjadikannya figur yang paling pantas untuk mengemban amanah besar ini, yaitu mengajak kaumnya kembali kepada kebenaran ilahi.
Nabi Saleh AS datang dengan misi yang sangat jelas dan mulia: menyeru kaumnya untuk menyembah Allah Yang Maha Esa semata, dan meninggalkan segala bentuk penyembahan berhala yang telah mereka agungkan secara turun-temurun. Beliau dengan lembut namun tegas mengingatkan mereka akan nikmat-nikmat Allah yang telah dilimpahkan kepada mereka, mulai dari kesuburan tanah yang menghasilkan panen melimpah, kekayaan sumber air yang tak pernah kering, hingga kekuatan fisik dan kecerdasan untuk membangun peradaban megah berupa rumah-rumah pahatan di pegunungan. "Wahai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain Dia," seru Nabi Saleh, sebagaimana diabadikan dalam Al-Quran (Q.S. Hud: 61). Beliau menekankan bahwa segala kemakmuran yang mereka nikmati adalah karunia dari Allah, dan hanya Dialah yang berhak disembah.
Selain menyerukan tauhid, Nabi Saleh AS juga menyeru mereka untuk meninggalkan kesyirikan, kezaliman, dan berbagai bentuk kemaksiatan yang telah mendarah daging di antara mereka. Dengan penuh kesabaran, kebijaksanaan, dan argumentasi yang logis, Nabi Saleh menjelaskan tentang keesaan Allah, hari kebangkitan dan pembalasan, serta balasan yang adil bagi orang-orang yang beriman dan bagi orang-orang yang ingkar. Pesan utamanya adalah reformasi total dalam keyakinan dan perilaku, kembali kepada tauhid murni yang merupakan inti ajaran para nabi sejak Nabi Adam AS, dan menjauhi segala bentuk kejahatan dan kerusakan di muka bumi. Beliau berharap agar kaumnya dapat membuka hati dan pikiran mereka untuk menerima kebenaran sebelum terlambat, sebelum datangnya azab yang pedih.
Sebagaimana rasul-rasul dan nabi-nabi sebelumnya yang diutus untuk membimbing umatnya, dakwah Nabi Saleh AS tidak disambut dengan tangan terbuka atau penerimaan yang hangat. Mayoritas kaum Tsamud, terutama para pembesar, pemuka adat, dan orang-orang kaya yang merasa memiliki kekuasaan, menolak ajarannya mentah-mentah dan dengan congkak. Mereka terlampau terikat pada tradisi nenek moyang yang telah mendarah daging dan merasa nyaman dengan kemewahan serta kekuasaan yang mereka miliki. Mereka tidak ingin ada perubahan yang mengusik kenyamanan, mengancam status quo, atau mengurangi pengaruh mereka di masyarakat. Mereka takut kehilangan kedudukan dan privilese yang telah mereka nikmati selama ini, sehingga mereka memilih untuk menutup mata dan telinga dari seruan kebenaran.
Penolakan mereka terhadap Nabi Saleh AS disertai dengan berbagai tuduhan keji dan ejekan. Mereka menuduh Nabi Saleh sebagai pendusta yang ingin merebut kekuasaan, tukang sihir yang ingin memecah belah kaum, dan orang gila yang telah kehilangan akal sehatnya. "Apakah kamu hendak melarang kami menyembah apa yang disembah nenek moyang kami? Sungguh kami benar-benar dalam keraguan yang menggelisahkan terhadap apa yang kamu serukan kepada kami," demikianlah jawaban mereka yang penuh kesombongan (Q.S. Hud: 62). Mereka mempertanyakan kredibilitas Nabi Saleh, menuduhnya ingin menjadi penguasa dan hanya mencari keuntungan pribadi, serta meragukan keilahian risalah yang dibawanya. Mereka berpegang teguh pada tradisi nenek moyang mereka, meskipun tradisi itu jelas-jelas bertentangan dengan akal sehat dan keesaan Tuhan.
Tantangan yang lebih jauh adalah ketika penolakan ini disertai dengan tuntutan untuk mendatangkan mukjizat yang dapat membuktikan kebenaran risalahnya. Mereka berpikir bahwa dengan tuntutan yang mustahil, seperti mengeluarkan unta dari batu, mereka dapat membungkam Nabi Saleh AS dan terus melanjutkan gaya hidup mereka yang sesat tanpa gangguan. Mereka berasumsi bahwa tidak ada kekuatan yang bisa memenuhi permintaan absurd mereka. Namun, Allah SWT adalah Maha Kuasa atas segala sesuatu, dan Dia akan menunjukkan tanda-tanda kebesaran-Nya bagi orang-orang yang berakal, bahkan jika itu berarti membelah gunung. Tuntutan mereka ini, yang mereka pikir akan menjadi akhir dakwah Nabi Saleh, justru menjadi awal dari terbukanya tirai kebesaran ilahi yang akan menjadi penentu nasib mereka.
Ketika dakwah Nabi Saleh AS terus ditolak dengan keras dan bahkan diejek, kaum Tsamud yang ingkar semakin berani dalam penentangan mereka. Mereka menantang beliau untuk menunjukkan mukjizat nyata sebagai bukti yang tak terbantahkan akan kenabiannya. Dalam sebuah pertemuan besar, mereka berkumpul di hadapan Nabi Saleh dan mengajukan permintaan yang sangat spesifik dan, menurut mereka, mustahil: unta tersebut harus keluar dari celah batu besar di sebuah gunung yang kokoh, dalam kondisi hamil tua, dan memiliki ciri-ciri fisik yang tidak biasa serta mencolok. Ini adalah tuntutan yang mereka anggap sebagai puncak kemustahilan, dengan harapan bahwa Nabi Saleh akan menyerah, dakwahnya terhenti, dan mereka bisa kembali hidup dalam kesyirikan dan kemaksiatan tanpa gangguan.
Nabi Saleh AS, dengan keyakinan penuh akan kekuasaan Allah SWT, menerima tantangan tersebut. Beliau kemudian berdoa kepada Tuhannya, memohon agar permintaan kaumnya yang ingkar itu dikabulkan, agar mereka tidak lagi memiliki alasan untuk menolak kebenaran. Dan kemudian, dengan keajaiban yang nyata dan di luar nalar manusia, sebuah batu besar di hadapan mereka yang kokoh dan tak tergoyahkan, terbelah dengan sendirinya. Dari dalamnya, secara ajaib, keluarlah seekor unta betina yang sangat besar, sesuai dengan semua kriteria yang mereka minta, bahkan lebih sempurna. Unta itu sedang hamil tua, memiliki postur yang gagah dan anggun, serta tampak sehat dan penuh vitalitas. Ini adalah mukjizat yang sangat jelas, sebuah demonstrasi kekuasaan Allah yang tak terbatas, yang seharusnya menghilangkan keraguan dari hati setiap orang yang menyaksikannya.
Munculnya unta ini adalah demonstrasi langsung dari kekuasaan Allah yang tak terbatas dan bukti nyata kenabian Saleh. Ia bukan unta biasa, melainkan "unta betina Allah" (Naaqatullah), sebuah tanda khusus yang mengikat kaum Tsamud pada perjanjian dan ujian berat. Unta ini adalah ujian keimanan dan ketaatan mereka, sebuah manifestasi fisik dari kebesaran ilahi yang berjalan di antara mereka. Allah berfirman: "Ini seekor unta betina, baginya ada giliran minum dan bagimu ada giliran minum pada hari yang tertentu. Dan janganlah kamu menyentuhnya dengan kejahatan, nanti kamu akan ditimpa azab yang besar." (Q.S. Hud: 61, Q.S. Al-A'raf: 73, Q.S. Asy-Syu'ara: 155). Ayat-ayat ini menegaskan status istimewa unta tersebut dan ancaman serius bagi siapa saja yang mengganggunya. Kehadirannya adalah sebuah pengingat yang hidup bagi mereka setiap hari.
SVG 2: Gambaran seekor unta betina yang keluar dari celah batu, mukjizat Nabi Saleh AS yang menakjubkan.
Kehadiran unta betina ini di tengah-tengah kaum Tsamud bukan tanpa syarat, melainkan dilengkapi dengan aturan-aturan ilahi yang ketat. Nabi Saleh AS dengan jelas menyampaikan pesan dari Allah SWT bahwa unta ini adalah tanda khusus, sebuah anugerah sekaligus ujian, dan kaum Tsamud harus memperlakukannya dengan penuh hormat dan kehati-hatian. Ada dua aturan utama yang harus mereka patuhi dan tidak boleh dilanggar sama sekali. Pertama, unta ini memiliki hak istimewa atas sumber air tertentu pada hari-hari yang telah ditetapkan. Air minum di sumur-sumur mereka harus dibagi secara adil: satu hari penuh untuk unta betina tersebut minum sepuasnya, dan satu hari berikutnya untuk seluruh kaum Tsamud minum. Pada hari unta minum, tidak seorang pun diizinkan untuk mengganggu unta tersebut atau mengambil air. Pada hari kaum Tsamud minum, unta akan mencari makan di tempat lain, di padang rumput yang luas. Ini adalah sistem pembagian yang adil, meskipun mungkin terasa berat bagi mereka yang serakah.
Kedua, unta ini tidak boleh diganggu, disakiti, apalagi dibunuh dengan cara apa pun. Nabi Saleh telah memperingatkan dengan sangat keras bahwa siapa pun yang melakukan kejahatan terhadap unta ini akan ditimpa azab yang besar dan pedih dari Allah SWT. Allah SWT berfirman: "Ini seekor unta betina, baginya ada giliran minum dan bagimu ada giliran minum pada hari yang tertentu." (Q.S. Asy-Syu'ara: 155). Juga: "Dan janganlah kamu menyentuhnya dengan kejahatan, nanti kamu akan ditimpa azab yang besar." (Q.S. Hud: 64). Unta ini juga dikenal memiliki ukuran yang sangat besar dan kebiasaan yang unik, yaitu mampu menghasilkan susu yang berlimpah ruah, cukup untuk diminum oleh seluruh kaum Tsamud. Ini seharusnya menjadi nikmat tambahan yang membuat mereka bersyukur, sebuah sumber rezeki yang tak terduga.
Selama beberapa waktu, unta itu hidup di antara kaum Tsamud, menjadi pengingat yang konstan akan kekuasaan Allah dan kenabian Saleh. Kehadirannya adalah ujian kesabaran, ketaatan, dan rasa syukur mereka. Bagi sebagian kecil kaum Tsamud yang beriman dan memiliki hati nurani, unta ini adalah mukjizat yang menguatkan keyakinan mereka, tanda nyata dari kebenaran ajaran Nabi Saleh. Namun, bagi sebagian besar kaum yang ingkar dan sombong, unta ini justru menjadi sumber kegelisahan, kemarahan, dan kebencian yang mendalam. Mereka merasa terganggu dengan kehadirannya, terutama pembagian air yang mereka anggap merugikan dan mengurangi hak-hak mereka. Kebencian ini semakin tumbuh subur di hati mereka, memicu bisikan-bisikan jahat dan menanti waktu yang tepat untuk melakukan kejahatan keji yang akan menjadi awal kehancuran mereka.
Meskipun unta betina itu adalah mukjizat nyata dan peringatan langsung dari Allah SWT, mayoritas kaum Tsamud yang ingkar, terutama para pemimpin, pemuka adat, dan orang-orang kaya yang tamak, merasa sangat terganggu dengan keberadaan unta tersebut. Mereka merasa hak-hak mereka atas air telah dikurangi, dan kehadiran unta itu menjadi simbol ancaman terhadap otoritas, kemewahan, dan tradisi kesyirikan yang telah mereka anut. Unta itu selalu mengingatkan mereka akan keesaan Allah dan kenabian Saleh, sebuah pengingat yang mereka benci. Kebencian, rasa tidak puas, dan arogansi ini perlahan berubah menjadi niat jahat yang mengakar dalam hati mereka. Mereka mulai bersekongkol dan merencanakan dengan licik bagaimana cara menyingkirkan unta tersebut, meskipun tahu konsekuensinya.
Al-Quran secara khusus menyebutkan sembilan orang pemimpin yang sangat berpengaruh dan bejat di antara mereka, yang menjadi otak di balik konspirasi keji ini. Mereka adalah orang-orang yang paling angkuh, paling keras kepala, dan paling menentang ajaran Nabi Saleh AS. Kesembilan orang ini mengumpulkan pengikut-pengikut mereka, merencanakan dengan matang, dan saling menghasut untuk melaksanakan kejahatan besar ini. Mereka melihat unta itu bukan sebagai tanda kebesaran Allah yang harus dihormati, melainkan sebagai penghalang kesenangan, kemewahan hidup, dan kebebasan mereka untuk berbuat maksiat. Mereka beranggapan bahwa setelah unta itu mati, mereka akan terbebas dari aturan-aturan Saleh dan dapat kembali hidup seperti semula, seolah-olah tidak ada yang terjadi.
Hasutan dan bisikan setan menguasai hati dan pikiran mereka. Mereka mencari orang yang paling berani, paling kejam, dan paling tidak memiliki rasa takut untuk menjadi eksekutor dalam rencana jahat ini. Akhirnya, terpilihlah dua orang yang paling jahat dan brutal di antara mereka: Qudar bin Salif dan Mushdi' bin Dahr. Mereka berdua terkenal kejam, tidak memiliki rasa belas kasihan, dan tidak takut akan konsekuensi. Dengan janji-janji iming-iming materi dan kedudukan, para pemimpin Tsamud berhasil meyakinkan Qudar dan Mushdi' untuk membunuh unta betina Allah, padahal mereka tahu persis bahwa itu adalah mukjizat yang sangat sakral dan peringatan keras. Mereka buta karena keserakahan dan kesombongan, sehingga tidak lagi peduli pada peringatan Tuhan. Konspirasi ini menjadi puncak kedurhakaan mereka yang tidak termaafkan.
Pada suatu hari yang nahas, ketika unta betina itu sedang asyik minum air di sumur sesuai gilirannya, Qudar bin Salif dan Mushdi' bin Dahr, yang didukung dan disaksikan oleh komplotan mereka serta sebagian besar kaum Tsamud, melancarkan serangan keji. Qudar bin Salif, dengan tombak atau panah di tangannya, mendekati unta itu dan memanah bagian kakinya, menyebabkan unta itu terhuyung-huyung dan tidak bisa lagi bergerak. Setelah unta itu terjatuh dan tidak berdaya, Mushdi' bin Dahr muncul dan menusuk bagian perut unta hingga mati secara mengenaskan. Peristiwa keji ini disaksikan oleh banyak orang dari kaum Tsamud, dan alih-alih mencegah atau menunjukkan rasa sesal, sebagian besar dari mereka justru bersorak gembira, bertepuk tangan, dan merayakan kematian unta tersebut dengan penuh kegembiraan dan keangkuhan.
Pembunuhan unta ini merupakan puncak dari kedurhakaan kaum Tsamud, sebuah tindakan yang melampaui segala batas yang telah ditetapkan Allah. Mereka tidak hanya menolak risalah kenabian Saleh, tetapi juga dengan sengaja dan penuh kesadaran menghancurkan mukjizat yang telah Allah berikan sebagai bukti kebenaran. Tindakan ini adalah pelanggaran batas yang sangat fatal, yang menunjukkan keangkuhan, kesombongan, dan penentangan total terhadap perintah Allah SWT. Mereka menganggap remeh peringatan Nabi Saleh AS dan merasa bahwa tidak akan ada konsekuensi serius atau balasan atas perbuatan keji mereka. Mereka bahkan berani mengejek Nabi Saleh setelahnya, menantang agar azab yang dijanjikan segera datang.
Setelah membunuh unta itu, mereka bahkan dengan bangga memamerkan perbuatan mereka kepada seluruh kaum. Ada riwayat yang menyebutkan bahwa mereka menyembelih dan memakan daging anak unta yang baru lahir dari unta mukjizat tersebut, menambah daftar panjang kebiadaban mereka dan menunjukkan betapa gelapnya hati mereka. Nabi Saleh AS menyaksikan langsung kebiadaban dan keangkuhan kaumnya. Dengan hati yang hancur dan pilu, beliau tahu bahwa dengan pembunuhan unta ini, azab Allah yang telah diperingatkan berulang kali akan segera menimpa mereka. Ini adalah titik balik yang tidak bisa dihindari, di mana pintu tobat telah tertutup rapat bagi mereka yang ingkar dan durhaka. Kaum Tsamud telah memilih jalan kehancuran mereka sendiri, dan tidak ada lagi jalan kembali.
Setelah kaum Tsamud secara keji membunuh unta mukjizat Allah, Nabi Saleh AS dengan perasaan sedih, marah, dan kecewa yang mendalam, menyampaikan peringatan terakhir kepada kaumnya. Beliau tahu bahwa keputusan Allah untuk menjatuhkan azab sudah tidak dapat dihindari. Dengan suara yang berat, beliau mengatakan bahwa mereka hanya memiliki waktu tiga hari lagi sebelum azab Allah yang pedih dan dahsyat menimpa mereka. Tiga hari ini adalah waktu penangguhan, sebuah kesempatan terakhir yang diberikan oleh Allah bagi mereka untuk merenung, menyesali perbuatan mereka, dan mungkin bertobat, meskipun harapan itu sangat tipis mengingat tingkat kedurhakaan dan kekerasan hati mereka yang telah mencapai puncaknya. Peringatan ini adalah kasih sayang terakhir dari Allah sebelum hukuman-Nya tiba.
Nabi Saleh AS tidak hanya menyampaikan tentang datangnya azab, tetapi juga menjelaskan tanda-tanda yang akan muncul sebagai penanda datangnya azab tersebut. Beliau mengatakan bahwa pada hari pertama, wajah mereka akan menjadi kuning pasi karena ketakutan dan kegelisahan. Pada hari kedua, wajah mereka akan menjadi merah padam, mencerminkan kemarahan dan kemurkaan Allah yang akan segera datang. Dan pada hari ketiga, wajah mereka akan menjadi hitam pekat, sebagai simbol keputusasaan, kegelapan dosa, dan tanda kehancuran yang sudah di ambang mata. Tanda-tanda ini bukan hanya perubahan warna kulit secara fisik, tetapi refleksi dari kegelisahan batin, ketakutan yang mencekam, dan keputusasaan yang akan mencengkeram hati mereka seiring mendekatnya hari perhitungan. Tiga hari itu menjadi masa-masa yang penuh ketegangan, di mana orang-orang beriman mempersiapkan diri dengan doa dan ketakwaan, sementara orang-orang ingkar hidup dalam penantian yang mencekam dan penuh ketakutan.
Sebagian kecil kaum Tsamud, yang masih memiliki sedikit akal sehat dan hati nurani, merasa sangat takut dengan peringatan Nabi Saleh AS. Mereka mulai merenungi perbuatan mereka dan mencari cara untuk selamat. Namun, mayoritas dari mereka, terutama para pembesar dan orang-orang yang terlibat langsung dalam pembunuhan unta, justru semakin membangkang dan mengolok-olok Nabi Saleh. Mereka bahkan merencanakan untuk membunuh Nabi Saleh dan keluarga serta para pengikutnya sebelum azab itu tiba, dengan harapan dapat menghindari konsekuensi ilahi dan membungkam kebenaran selamanya. Mereka berpikir bahwa dengan membunuh Nabi Saleh, azab tidak akan datang. Namun, Allah SWT Maha Melindungi hamba-Nya yang saleh dari rencana jahat mereka. Nabi Saleh dan orang-orang beriman telah diperingatkan untuk meninggalkan kota tersebut.
Tepat pada hari keempat, setelah tiga hari penantian yang mencekam dan penuh tanda-tanya bagi sebagian, serta ejekan bagi yang lain, azab Allah SWT datang menghampiri kaum Tsamud. Azab itu datang dalam bentuk gabungan antara suara yang sangat dahsyat dan memekakkan telinga, serta gempa bumi yang menghancurkan segalanya. Al-Quran menggambarkannya sebagai "teriakan yang sangat keras" (ash-sha'iha) dan "guncangan yang dahsyat" (rajfah). Teriakan itu mungkin adalah suara dari langit, suara petir yang menggelegar dahsyat, mungkin pula suara gemuruh bumi yang membelah, yang secara instan merenggut nyawa mereka dan menghancurkan setiap sel dalam tubuh mereka. Kekuatan azab itu begitu luar biasa sehingga tidak ada satu pun yang mampu bertahan.
Dalam sekejap mata, seluruh kaum Tsamud yang ingkar dan durhaka binasa tanpa ampun. Tubuh-tubuh mereka bergelimpangan tak bernyawa di dalam rumah-rumah pahatan mereka yang kokoh, seolah-olah mereka tidak pernah hidup di sana dan tidak pernah merasakan kemewahan. Bangunan-bangunan megah yang mereka pahat dengan susah payah dari gunung-gunung hancur lebur, rata dengan tanah, menjadi saksi bisu akan kehancuran peradaban yang ingkar dan sombong. Kekokohan arsitektur mereka ternyata tidak mampu melindungi mereka dari murka Allah. Tidak ada satu pun dari mereka yang selamat, tidak ada yang dapat melarikan diri, kecuali Nabi Saleh AS dan para pengikutnya yang beriman, yang telah Allah selamatkan dan perintahkan untuk meninggalkan kota sebelum azab itu tiba, menjauh dari pusat kehancuran.
Azab ini adalah demonstrasi kekuasaan Allah yang tak terbatas dan keadilan-Nya yang mutlak. Kaum Tsamud, dengan segala kekuatan, kecerdasan, dan kemewahan mereka, tidak memiliki daya sedikit pun di hadapan kehendak Allah. Mereka yang menantang Tuhan, mendustakan rasul-Nya, dan membunuh mukjizat-Nya, akhirnya menerima balasan yang setimpal. Allah menghancurkan mereka sebagai pelajaran bagi umat manusia setelahnya. Al-Quran berulang kali menyebutkan kehancuran Tsamud sebagai contoh bagi orang-orang yang tidak mau mengambil pelajaran, misalnya dalam Surah Al-Fajr ayat 9: "Dan (terhadap) kaum Tsamud yang memotong batu-batu besar di lembah?" (yang mengacu pada keahlian mereka dan kehancuran mereka). Azab yang menimpa mereka adalah bukti konkret bahwa kesombongan dan kedurhakaan pasti akan berujung pada kehancuran total, baik di dunia maupun di akhirat.
SVG 3: Ilustrasi kehancuran akibat azab ilahi: gempa bumi dan suara dahsyat yang memusnahkan.
Dalam setiap kehancuran yang menimpa kaum durhaka dan zalim, Allah SWT selalu menyelamatkan hamba-hamba-Nya yang beriman, yang teguh pada kebenaran dan ketakwaan. Begitu pula dengan Nabi Saleh AS dan para pengikutnya yang sedikit jumlahnya, mereka adalah golongan yang mendapatkan perlindungan ilahi. Mereka adalah orang-orang yang mendengar seruan Saleh, beriman kepada Allah Yang Maha Esa, dan menjauhi kedurhakaan serta kesyirikan kaumnya. Sebelum azab yang dahsyat itu tiba, Allah dengan rahmat-Nya memerintahkan Nabi Saleh dan orang-orang yang beriman untuk meninggalkan kota tersebut dan menuju tempat yang aman, jauh dari wilayah yang akan ditimpa bencana.
Mereka diselamatkan dari kehancuran total yang menimpa kaum Tsamud. Keselamatan ini adalah bukti keadilan Allah yang sempurna, yang tidak akan menyamakan orang yang beriman dan bertakwa dengan orang yang berbuat kerusakan dan kezaliman. Kisah ini mengajarkan bahwa meskipun hidup di tengah masyarakat yang rusak, penuh kemaksiatan, dan menentang kebenaran, orang-orang yang tetap teguh pada keimanan dan ketakwaan akan selalu mendapatkan perlindungan, pertolongan, dan jalan keluar dari Allah SWT. Keimanan adalah perisai terkuat di tengah badai kehidupan, dan Allah tidak akan pernah menyia-nyiakan usaha hamba-hamba-Nya yang tulus.
Setelah azab menimpa dan kehancuran merata, Nabi Saleh AS kembali ke reruntuhan kota Tsamud. Dengan hati yang pilu namun penuh ketegasan, beliau melihat puing-puing peradaban yang hancur dan mayat-mayat kaumnya yang bergelimpangan, menjadi tumpukan debu dan tulang belulang. Beliau berucap, "Wahai kaumku, sesungguhnya aku telah menyampaikan kepadamu risalah Tuhanku, dan aku telah menasihati kamu, tetapi kamu tidak menyukai orang-orang yang memberi nasihat." (Q.S. Al-A'raf: 79). Ucapan ini adalah sebuah penyesalan atas kerasnya hati kaumnya, sebuah penegasan bahwa beliau telah menjalankan tugasnya sebagai rasul dengan sempurna, dan sebuah pelajaran abadi bahwa kebenaran akan selalu menang, meskipun harus melalui kehancuran yang menyakitkan bagi mereka yang menolaknya. Kisah ini menjadi mercusuar bagi umat manusia untuk mengambil ibrah dan tidak mengulangi kesalahan serupa.
Kisah kaum Tsamud bukan sekadar dongeng lama atau narasi historis belaka, melainkan sebuah cermin yang memantulkan kebenaran abadi tentang hubungan esensial antara manusia dan Tuhannya. Ada banyak sekali pelajaran yang bisa kita petik dari narasi inspiratif sekaligus menakutkan ini, yang relevan sepanjang masa dan bagi setiap peradaban, dari yang paling primitif hingga yang paling modern dan maju.
Pelajaran paling fundamental dan mendasar dari kisah kaum Tsamud adalah urgensi tauhid, yaitu mengesakan Allah SWT dalam segala bentuk ibadah, keyakinan, dan penghambaan. Kaum Tsamud hancur lebur karena mereka secara terang-terangan menyekutukan Allah dengan berhala-berhala yang mereka ciptakan sendiri dari batu, serta mengkultuskan nenek moyang mereka. Mereka menempatkan kekuasaan materi, kekayaan yang melimpah, dan tradisi nenek moyang di atas ketaatan dan penghambaan kepada Sang Pencipta alam semesta. Hal ini menjadi pengingat yang kuat bahwa sumber segala kebaikan, kekuatan, dan keberkahan hanyalah Allah semata, dan menyekutukan-Nya dengan apa pun adalah dosa terbesar (syirik) yang dapat mengundang murka dan azab-Nya yang sangat pedih. Syirik adalah kezaliman paling besar karena menempatkan makhluk sejajar dengan Sang Pencipta.
Kehancuran peradaban mereka membuktikan bahwa kemewahan materi, teknologi canggih, arsitektur megah, dan kekuatan fisik yang luar biasa tidak akan pernah mampu melindungi seseorang atau suatu kaum dari azab Allah jika hati telah tercemar syirik dan kesesatan. Manusia pada dasarnya adalah makhluk yang lemah, fana, dan sangat bergantung pada Allah dalam setiap tarikan napasnya. Mengalihkan penghambaan kepada selain-Nya, baik itu berhala, kekuasaan, harta, maupun hawa nafsu, adalah tindakan bodoh yang merugikan diri sendiri secara total, baik di dunia yang sementara ini maupun di akhirat yang kekal abadi. Kisah ini menegaskan bahwa keimanan yang murni adalah fondasi utama bagi keselamatan dan kebahagiaan sejati.
Kaum Tsamud adalah kaum yang sangat sombong dan angkuh. Mereka bangga dengan kemampuan luar biasa mereka dalam memahat gunung dan membangun istana-istana megah yang tak tertandingi. Mereka merasa lebih unggul, lebih kuat, dan lebih cerdas dari kaum lain, sehingga menolak kebenaran yang dibawa oleh Nabi Saleh AS karena menganggap diri mereka sudah cukup kuat, kaya, dan berilmu tanpa bimbingan Tuhan. Kesombongan ini membuat mereka enggan untuk tunduk kepada perintah Allah dan meremehkan peringatan keras yang disampaikan oleh rasul-Nya. Mereka percaya bahwa kemajuan material mereka adalah bukti bahwa mereka tidak membutuhkan intervensi ilahi.
Azab yang menimpa mereka adalah balasan yang setimpal dan sangat adil bagi kesombongan yang melampaui batas tersebut. Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong, angkuh, dan membanggakan diri, apalagi jika kesombongan itu membawa mereka pada penolakan terhadap kebenaran. Kisah ini mengajarkan bahwa seberapa pun tinggi kedudukan seseorang di masyarakat, seberapa pun banyak kekayaan materi yang dimiliki, atau seberapa pun hebat kekuatan dan kecerdasan yang didapatkan, semuanya adalah titipan dan anugerah dari Allah SWT semata. Merasa hebat tanpa mengingat dan bersyukur kepada Sang Pemberi adalah awal dari kejatuhan yang menyakitkan. Kesombongan adalah pintu gerbang menuju kehancuran, karena ia memutus hubungan manusia dengan Tuhannya dan dengan sesama manusia.
Kaum Tsamud bukan hanya menyembah berhala dan tenggelam dalam kesyirikan, tetapi juga secara terang-terangan menolak, mendustakan, dan bahkan mencemooh Nabi Saleh AS, utusan Allah yang diutus khusus untuk mereka. Mereka tidak hanya menolak ajakan kebaikan dan tauhid, tetapi juga menuntut mukjizat sebagai bukti, dan bahkan setelah mukjizat unta betina itu datang dan terbukti nyata di hadapan mata mereka, mereka tetap ingkar, tidak beriman, dan malah dengan keji membunuh unta tersebut. Ini adalah bentuk penolakan kebenaran yang paling ekstrem dan tidak ada lagi alasan untuk berdalih.
Pelajaran yang sangat penting yang bisa diambil adalah bahwa menolak ajaran para nabi dan rasul, yang merupakan perwakilan dari kebenaran ilahi yang mutlak, adalah tindakan yang sangat berbahaya dan fatal. Nabi adalah pembawa risalah, petunjuk jalan yang lurus dari Allah, dan menolak mereka sama dengan menolak Allah SWT sendiri. Kehancuran kaum Tsamud adalah bukti nyata bahwa Allah tidak akan membiarkan kezaliman, kesyirikan, dan penolakan kebenaran berlanjut tanpa balasan yang setimpal. Orang-orang yang menolak kebenaran, meskipun telah datang bukti-bukti nyata, akan dihukum dengan seberat-beratnya. Kisah ini adalah peringatan keras bagi siapa saja yang meremehkan dan menolak ajaran agama yang hakiki.
Kisah Nabi Saleh AS juga menyoroti dengan jelas nilai kesabaran, keteguhan, dan keistiqomahan dalam berdakwah dan menyeru kepada kebaikan, bahkan di tengah penolakan dan ejekan yang sengit. Meskipun menghadapi perlawanan yang sangat keras, ancaman, dan penolakan dari mayoritas kaumnya yang ingkar, beliau tidak pernah menyerah atau putus asa dalam menyampaikan risalah Allah. Beliau terus berdakwah dengan hikmah, menjelaskan kebenaran dengan argumen yang logis, dan memberikan peringatan-peringatan yang jelas tentang konsekuensi kedurhakaan, meskipun hasilnya adalah kebencian dan permusuhan.
Bagi para da'i, ulama, dan siapa pun yang menyeru kepada kebaikan dan kebenaran, kisah Nabi Saleh adalah inspirasi yang tak lekang oleh waktu untuk tetap sabar, teguh, dan konsisten, meskipun jalan dakwah penuh dengan tantangan, rintangan, dan bahkan bahaya. Hasil dari dakwah adalah hak prerogatif Allah SWT, tugas kita hanyalah menyampaikan pesan dengan cara yang terbaik, paling bijaksana, dan paling efektif, tanpa pernah lelah. Kesabaran adalah kunci untuk melewati setiap ujian dalam menyampaikan kebenaran, dan Allah akan selalu menyertai hamba-hamba-Nya yang bersabar dan beristiqomah di jalan-Nya.
Mukjizat unta betina adalah amanah besar sekaligus ujian berat bagi kaum Tsamud. Mereka diperintahkan secara eksplisit untuk menjaganya, tidak mengganggunya, dan membiarkannya minum sesuai gilirannya. Namun, mereka justru melanggar amanah yang sangat sakral itu dengan membunuh unta tersebut secara keji. Ini adalah pelajaran yang mendalam tentang pentingnya menjaga setiap amanah yang diberikan, terlebih amanah yang datang langsung dari Allah SWT dalam bentuk tanda-tanda kebesaran-Nya yang nyata.
Setiap nikmat, setiap keajaiban, dan setiap tanda kebesaran Allah yang kita lihat di alam semesta ini, mulai dari penciptaan manusia yang sempurna, hingga pergantian siang dan malam, keindahan alam semesta, adalah amanah yang harus kita syukuri, renungi, dan jaga dengan baik. Mengabaikan, meremehkan, atau bahkan merusak tanda-tanda ini adalah bentuk kedurhakaan yang bisa mengundang azab dan murka Allah. Menjaga amanah berarti menghargai karunia Tuhan dan memahami bahwa segala sesuatu di bumi ini adalah milik-Nya, dan kita hanyalah pengemban amanah untuk mengelola dan memeliharanya dengan baik. Pelanggaran amanah, terutama yang berhubungan dengan tanda-tanda ilahi, memiliki konsekuensi yang sangat serius.
Kisah kaum Tsamud secara tegas menegaskan bahwa Allah SWT adalah Maha Adil. Dia tidak akan menzalimi hamba-hamba-Nya sedikit pun, bahkan seberat biji zarah. Azab yang menimpa kaum Tsamud adalah konsekuensi langsung, mutlak, dan setimpal dari perbuatan durhaka mereka sendiri. Allah telah memberikan banyak kesempatan, peringatan berulang kali, dan bahkan mukjizat yang sangat jelas, namun mereka memilih untuk tetap ingkar, sombong, dan menolak kebenaran hingga akhir.
Ini adalah pengingat yang sangat kuat bagi seluruh umat manusia bahwa setiap perbuatan, baik atau buruk, besar atau kecil, pasti akan mendapatkan balasan yang setimpal dari Allah. Dosa dan kemaksiatan, terutama syirik, kesombongan, menindas yang lemah, dan menentang kebenaran, memiliki konsekuensi yang sangat berat, baik di dunia yang fana ini maupun di akhirat yang kekal abadi. Tidak ada satu pun yang bisa luput dari pengadilan Allah yang Maha Adil dan Maha Teliti. Keadilan Allah adalah mutlak, dan setiap jiwa akan menuai apa yang telah ditaburnya. Kisah ini adalah bukti bahwa keadilan ilahi akan selalu ditegakkan, cepat atau lambat.
Allah SWT memberikan penangguhan tiga hari kepada kaum Tsamud sebelum azab menimpa mereka. Ini bukan karena Allah lalai atau tidak berkuasa untuk langsung menghukum, melainkan karena rahmat dan keadilan-Nya yang ingin memberikan kesempatan terakhir bagi mereka untuk bertobat, merenung, dan kembali ke jalan yang benar. Penundaan azab adalah bagian dari sunatullah (ketetapan Allah), menunjukkan bahwa Allah tidak tergesa-gesa dalam menghukum, namun hukuman itu pasti akan datang jika peringatan terus diabaikan dan kesyirikan serta kemaksiatan terus merajalela.
Pelajaran ini mengajarkan kita untuk tidak meremehkan "kesempatan kedua" atau menunda-nunda tobat. Setiap detik, setiap hari, setiap waktu yang Allah berikan kepada kita adalah anugerah dan kesempatan emas untuk memperbaiki diri, bertaubat dari dosa-dosa, dan mendekatkan diri kepada-Nya. Jangan sampai kita menunda hingga pintu tobat tertutup rapat dan azab menimpa, baik azab di dunia maupun azab di akhirat. Penundaan azab adalah bentuk kasih sayang Allah, tetapi juga merupakan ujian terakhir bagi hamba-Nya. Hikmahnya adalah bahwa manusia harus selalu bersiaga dan senantiasa berintrospeksi diri, tidak pernah merasa aman dari murka Tuhan.
SVG 4: Ilustrasi reruntuhan dengan siluet orang merenung, melambangkan pelajaran dan refleksi dari sejarah.
Meskipun kisah kaum Tsamud terjadi ribuan tahun yang lalu di Semenanjung Arab, relevansinya tetap abadi dan bersifat universal. Peradaban modern, dengan segala kemajuan teknologi yang memukau, kekayaan materi yang berlimpah, dan kebebasan yang seringkali disalahartikan, seringkali mengulangi kesalahan yang sama persis yang telah dilakukan oleh kaum Tsamud. Kisah ini adalah pengingat yang sangat kuat dan peringatan yang tak lekang oleh waktu bagi setiap generasi, bahwa pola kehancuran akibat kesombongan dan kedurhakaan dapat terulang kembali.
Dunia modern sangat didominasi oleh materialisme, di mana nilai-nilai kehidupan seringkali diukur berdasarkan harta benda yang dimiliki, kekuasaan yang dipegang, dan status sosial yang dicapai. Seperti kaum Tsamud yang terbuai oleh kemewahan istana-istana pahatan mereka dan kekayaan alam yang melimpah, masyarakat kini juga sering lupa akan tujuan hakiki kehidupan, tenggelam dalam konsumerisme yang berlebihan dan pengejaran kekayaan yang tak pernah usai. Obsesi terhadap materi ini secara perlahan namun pasti menjauhkan manusia dari tujuan spiritual, mengikis moralitas, dan merusak hubungan sesama manusia serta dengan Tuhan.
Kisah Tsamud mengajarkan bahwa kemewahan dan kekayaan hanyalah sebuah ujian dari Allah SWT. Jika tidak diimbangi dengan rasa syukur yang tulus, keimanan yang kokoh, dan ketaatan kepada Tuhan, semua itu bisa menjadi bumerang yang menghancurkan. Allah tidak akan menghukum kita hanya karena memiliki kekayaan, tetapi karena bagaimana kita menyikapi kekayaan tersebut, bagaimana kita memperolehnya, dan bagaimana kita menggunakannya. Materialisme yang berlebihan pada akhirnya akan membutakan hati dan pikiran, menjebak manusia dalam lingkaran setan keinginan yang tak terbatas, dan membawa pada kehampaan batin yang mendalam.
Manusia modern seringkali merasa sombong dengan pencapaian ilmiah dan teknologi mereka yang luar biasa. Kita telah berhasil mencapai bulan, menguasai internet dan informasi global, mengembangkan kecerdasan buatan yang mampu meniru pikiran manusia, dan menaklukkan berbagai penyakit yang sebelumnya mematikan. Namun, kesombongan ini terkadang membuat kita lupa akan keterbatasan diri dan keagungan Sang Pencipta yang Maha Kuasa. Seperti kaum Tsamud yang bangga dengan keahlian memahat gunung dan membangun arsitektur canggih, kita pun bisa terjebak dalam ilusi bahwa kita adalah penentu segalanya, dan bahwa ilmu pengetahuan dapat menjawab setiap pertanyaan.
Kisah ini menegaskan bahwa seberapa pun canggihnya teknologi dan seberapa pun luasnya ilmu pengetahuan yang dimiliki, ia tidak akan pernah mampu menandingi kekuasaan Allah SWT yang tak terbatas. Bencana alam yang tak terduga, wabah penyakit yang mematikan, atau krisis global yang tak terkendali seringkali menjadi pengingat yang pahit bahwa ada kekuatan yang jauh lebih besar dari akal dan teknologi manusia. Kerendahan hati dan pengakuan akan kekuasaan Tuhan adalah kunci utama untuk menggunakan ilmu pengetahuan secara bijaksana, untuk kemaslahatan umat manusia dan bukan untuk kesombongan atau kehancuran. Kesombongan ilmiah dapat mengarah pada penolakan etika dan moral, yang pada akhirnya membawa bencana.
Di banyak masyarakat modern, terdapat kecenderungan yang semakin kuat untuk menyingkirkan nilai-nilai agama dan moral, menganggapnya sebagai penghalang kemajuan, kebebasan pribadi, atau ekspresi diri. Toleransi terhadap berbagai bentuk kemaksiatan, relativisme moral, dan penolakan terhadap ajaran suci yang universal menjadi semakin umum dan bahkan dianggap sebagai tanda kemajuan. Ini sangat mirip dengan bagaimana kaum Tsamud secara terang-terangan menolak Nabi Saleh AS dan memilih untuk hidup dalam kemaksiatan, penyembahan berhala, dan kezaliman, seolah-olah mereka tidak membutuhkan bimbingan ilahi.
Kisah Tsamud adalah peringatan yang sangat serius bahwa mengabaikan atau menolak nilai-nilai agama yang universal, yang mendorong kepada kebaikan dan melarang keburukan, akan membawa pada kehancuran moral dan sosial yang pada akhirnya meruntuhkan fondasi sebuah peradaban. Fondasi sebuah peradaban yang kuat, harmonis, dan berkelanjutan adalah moralitas dan spiritualitas yang kokoh, bukan hanya materi dan teknologi semata. Tanpa nilai-nilai moral yang menjadi panduan, masyarakat akan terjerumus ke dalam kekacauan, konflik, dan kehancuran. Kisah ini mengajarkan bahwa kehancuran suatu bangsa seringkali dimulai dari kehancuran moral dan spiritualnya.
Meskipun kisah Tsamud tidak secara eksplisit membahas masalah lingkungan dalam konteks modern, namun pembunuhan unta betina dan masalah pembagian air yang menjadi pemicu konflik menunjukkan bagaimana pengelolaan sumber daya yang tidak adil, keserakahan, dan penghancuran "tanda" alam bisa memicu bencana besar. Unta betina itu adalah bagian dari ekosistem mereka, dan pemusnahannya adalah tindakan yang merusak keseimbangan. Di masa kini, eksploitasi berlebihan terhadap lingkungan, polusi yang parah, deforestasi, dan perubahan iklim adalah bentuk-bentuk "kedurhakaan" terhadap alam yang telah Allah anugerahkan kepada kita sebagai amanah.
Kisah ini dapat diinterpretasikan sebagai seruan untuk bertanggung jawab atas lingkungan dan sumber daya alam, tidak hanya untuk keuntungan sesaat atau keuntungan pribadi, tetapi untuk keberlangsungan hidup seluruh makhluk dan generasi mendatang. Mengabaikan keseimbangan alam sama dengan mengabaikan perintah Sang Pencipta untuk menjaga bumi ini sebagai khalifah. Kerusakan lingkungan yang masif dapat berujung pada azab yang tak kalah dahsyatnya, seperti kelaparan, kekeringan, atau bencana alam yang merusak. Kisah Tsamud mengingatkan bahwa intervensi ilahi dapat datang ketika manusia telah melampaui batas dalam merusak bumi dan kehidupan di dalamnya.
Di tengah kehancuran yang menimpa kaum Tsamud yang durhaka, Nabi Saleh AS dan para pengikutnya yang beriman diselamatkan oleh Allah SWT. Ini adalah pesan harapan, optimisme, dan kekuatan bagi orang-orang beriman di setiap zaman. Meskipun berada di tengah-tengah mayoritas masyarakat yang ingkar, zalim, dan menentang kebenaran, Allah akan selalu menolong hamba-hamba-Nya yang teguh dalam keimanan, ketakwaan, dan kesabaran.
Kisah ini menguatkan keyakinan bahwa kekuatan doa, kesabaran, tawakal kepada Allah, dan keistiqomahan dalam berpegang teguh pada kebenaran adalah perisai terbaik menghadapi berbagai tantangan hidup, tekanan sosial, dan bahkan ancaman fisik. Jangan pernah merasa sendiri atau putus asa dalam menghadapi kezaliman dan kemaksiatan yang merajalela, karena pertolongan Allah selalu dekat bagi mereka yang benar-benar mencari-Nya dengan hati yang tulus dan ikhlas. Ia menunjukkan bahwa iman adalah benteng yang kokoh, bahkan lebih kokoh dari rumah-rumah pahatan gunung kaum Tsamud. Pada akhirnya, yang selamat adalah mereka yang beriman, bukan mereka yang sombong dengan kekuatan dan kekayaan.
Kisah azab kaum Tsamud adalah salah satu kisah yang paling sering diulang dalam Al-Quran, di berbagai surah dan konteks, dan ini menunjukkan betapa pentingnya pelajaran yang terkandung di dalamnya bagi seluruh umat manusia. Ia berfungsi sebagai teguran dan peringatan abadi bagi umat manusia dari segala zaman, dari generasi ke generasi. Kisah ini bukan hanya tentang kehancuran fisik sebuah kaum yang sombong, tetapi juga tentang kehancuran spiritual dan moral yang mendahuluinya, yang menjadi akar dari segala bencana.
Dari kisah ini, kita belajar bahwa kekuatan sejati tidak terletak pada kemegahan bangunan atau kekayaan materi yang melimpah, tidak pula pada kecanggihan teknologi atau kekuatan fisik semata. Kekuatan sejati terletak pada keimanan yang kokoh, ketaatan yang tulus kepada perintah Allah, dan kerendahan hati untuk senantiasa menerima kebenaran, bahkan jika itu datang dari orang yang kita anggap rendah. Azab yang menimpa Tsamud adalah konsekuensi logis dan adil dari pilihan mereka untuk ingkar, sombong, menolak utusan Allah, dan bahkan membunuh mukjizat-Nya.
Marilah kita ambil pelajaran berharga ini dengan hati yang lapang dan pikiran yang terbuka. Jadikanlah kisah kaum Tsamud sebagai pengingat yang tak pernah padam untuk selalu bersyukur atas setiap nikmat yang Allah anugerahkan, menjauhi kesyirikan dan kesombongan dalam setiap aspek kehidupan, serta senantiasa istiqamah di jalan kebenaran dan ketakwaan. Semoga kita termasuk golongan yang mengambil hikmah dari sejarah, yang belajar dari kesalahan masa lalu, bukan golongan yang mengulangi kesalahan serupa dan berujung pada penyesalan yang tiada akhir.
Allah SWT berfirman dalam Al-Quran: "Maka lihatlah bagaimana akibat orang-orang yang berbuat kerusakan." (Q.S. Al-A'raf: 86). Ayat ini mengakhiri kisah Tsamud dalam beberapa surah, mengajak kita untuk merenungkan akhir dari kesombongan, kedurhakaan, dan penolakan kebenaran, dan mendorong kita untuk selalu berada di jalan yang lurus, jalan yang diridai oleh Allah SWT, Tuhan semesta alam.