Konsep aurat merupakan salah satu aspek penting dalam ajaran Islam yang mengatur batasan fisik yang wajib ditutupi, baik bagi laki-laki maupun perempuan. Perbedaan pendapat mengenai batasan aurat wanita di kalangan ulama merupakan hal yang lazim terjadi dalam kerangka keragaman ijtihad di dalam Islam. Terdapat empat madzhab utama dalam Sunni Islam, yaitu Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hanbali, yang masing-masing memiliki pandangan tersendiri mengenai batasan aurat wanita, meskipun secara umum terdapat kesamaan fundamental.
Menurut madzhab Hanafi, aurat wanita merdeka (bukan budak) di depan laki-laki yang bukan mahram adalah seluruh tubuhnya kecuali wajah dan kedua telapak tangan hingga pergelangan tangan. Pandangan ini didasarkan pada beberapa interpretasi ayat Al-Qur'an dan hadits. Para ulama Hanafi berpendapat bahwa wajah dan telapak tangan termasuk bagian yang boleh terlihat karena sering kali terekspos dalam aktivitas sehari-hari dan juga sebagai alat untuk berinteraksi. Namun, dalam kondisi tertentu seperti ketika berada di tempat umum yang ramai atau khawatir menimbulkan fitnah, mereka menyarankan untuk menutup wajah dan telapak tangan.
Meskipun demikian, perlu dicatat bahwa Imam Abu Hanifah sendiri memiliki pandangan yang lebih ketat dalam beberapa kasus, namun pandangan yang lebih dominan dalam madzhab Hanafi adalah yang mengizinkan terlihatnya wajah dan telapak tangan. Perlu juga diingat bahwa ada perbedaan pandangan di dalam madzhab Hanafi sendiri mengenai bagian mana dari telapak tangan yang dimaksud, apakah hanya telapak tangan atau juga termasuk bagian lengan bawah.
Madzhab Maliki memiliki pandangan yang serupa dengan madzhab Hanafi dalam hal aurat wanita merdeka di depan laki-laki bukan mahram, yaitu seluruh tubuh kecuali wajah dan kedua telapak tangan hingga pergelangan tangan. Namun, Imam Malik bin Anas, pendiri madzhab ini, lebih menekankan pada konsep fitnah (godaan) dan maslahah (kemaslahatan). Jika terlihatnya wajah dan telapak tangan berpotensi menimbulkan fitnah atau kemudaratan, maka wajib untuk ditutup.
Oleh karena itu, dalam konteks sosial modern yang sering kali dikhawatirkan lebih rentan terhadap fitnah, banyak pengikut madzhab Maliki yang cenderung menganjurkan penutupan wajah (khususnya dengan cadar) dan telapak tangan, meskipun secara hukum dasar tidak diwajibkan dalam semua kondisi. Kunci utama dalam madzhab Maliki adalah menjaga kehormatan dan mencegah fitnah.
Madzhab Syafi'i, yang didirikan oleh Imam Syafi'i, memiliki pandangan yang sedikit berbeda dan cenderung lebih ketat. Menurut madzhab ini, aurat wanita merdeka di depan laki-laki bukan mahram adalah seluruh tubuhnya, termasuk rambut kepala, leher, dan kaki. Yang dikecualikan hanya bagian dalam dari kedua telapak tangan dan kedua telapak kaki (bagian yang biasa sujud).
Pandangan ini didasarkan pada interpretasi bahwa seluruh tubuh wanita adalah aurat kecuali apa yang secara eksplisit dikecualikan oleh dalil syar'i. Oleh karena itu, kewajiban menutup aurat menjadi lebih luas. Para pengikut madzhab Syafi'i sangat menekankan pentingnya menjaga aurat secara keseluruhan.
Madzhab Hanbali, yang didirikan oleh Imam Ahmad bin Hanbal, dikenal sebagai madzhab yang paling ketat dalam masalah aurat. Menurut madzhab ini, aurat wanita merdeka di depan laki-laki bukan mahram adalah seluruh tubuhnya, termasuk wajah dan kedua telapak tangan. Bahkan sebagian ulama Hanbali berpandangan bahwa kuku jari tangan juga termasuk aurat.
Pendapat ini didasarkan pada pemahaman yang sangat hati-hati terhadap dalil-dalil syar'i, dengan tujuan untuk mencegah segala kemungkinan terjadinya pelanggaran atau fitnah. Oleh karena itu, mayoritas pengikut madzhab Hanbali menganut pandangan bahwa wanita wajib menutup seluruh tubuhnya, termasuk wajahnya.
Dari tinjauan di atas, terlihat bahwa terdapat perbedaan pendapat yang signifikan mengenai batasan aurat wanita di kalangan empat madzhab utama. Madzhab Hanafi dan Maliki cenderung lebih longgar dengan mengecualikan wajah dan telapak tangan (dengan catatan), sementara madzhab Syafi'i dan Hanbali menganggap seluruh tubuh wanita adalah aurat yang wajib ditutupi.
Perbedaan ini muncul karena perbedaan dalam metode istinbath (penggalian hukum) dan interpretasi terhadap dalil-dalil Al-Qur'an dan Sunnah. Penting bagi seorang Muslimah untuk memahami perbedaan ini, memilih pendapat yang paling meyakinkan baginya berdasarkan ilmu, dan senantiasa berpegang teguh pada niat untuk menjalankan perintah Allah SWT demi menjaga kehormatan diri dan masyarakat.
Apapun pandangan yang dipegang, prinsip utama dalam menjaga aurat adalah ketakwaan, rasa malu kepada Allah, dan niat untuk terhindar dari fitnah serta menjaga kesucian diri. Kehati-hatian dalam berbusana dan berinteraksi adalah bentuk ketaatan yang patut diapresiasi dalam keragaman pemahaman ini.