Bulan Muharram adalah salah satu bulan yang mulia dalam kalender Islam, dan di dalamnya terdapat banyak amalan sunah yang dianjurkan, salah satunya adalah puasa. Dari sekian banyak puasa sunah di bulan ini, puasa Tasu'a dan Asyura menempati posisi yang istimewa. Artikel ini akan mengupas tuntas tentang puasa Tasu'a adalah, mulai dari pengertian, dalil syar'i, hikmah di baliknya, tata cara pelaksanaan, hingga menjawab pertanyaan-pertanyaan umum yang sering muncul.
Puasa Tasu'a seringkali disebut beriringan dengan puasa Asyura. Keduanya merupakan puasa sunah yang sangat dianjurkan oleh Rasulullah ﷺ. Namun, tidak semua umat Muslim memahami secara mendalam mengapa puasa Tasu'a ini ada, apa urgensinya, dan bagaimana ia berbeda atau melengkapi puasa Asyura. Sejarah dan konteks di balik anjuran puasa ini sangat penting untuk diketahui, karena ia bukan sekadar penambahan amalan, melainkan memiliki tujuan mulia untuk menjaga identitas keislaman dan meraih keutamaan yang lebih sempurna.
Dengan memahami seluk-beluk puasa Tasu'a, diharapkan kita dapat menjalankan ibadah ini dengan penuh kesadaran dan keikhlasan, serta meraih pahala dan keberkahan dari Allah SWT. Kita akan menjelajahi setiap aspek, mulai dari dasar-dasar syariat, manfaat spiritual, hingga bagaimana cara terbaik untuk melaksanakannya dalam kehidupan sehari-hari. Pemahaman yang komprehensif akan meningkatkan kualitas ibadah kita, menjadikannya lebih bermakna dan berlandaskan ilmu.
Ilustrasi bulan sabit dan bintang, melambangkan penanggalan Islam dan bulan Muharram yang mulia sebagai waktu pelaksanaan Puasa Tasu'a dan Asyura.
Secara etimologi, kata "Tasu'a" berasal dari bahasa Arab, yang merupakan bentuk masdar (kata benda) dari kata kerja "tisa'a" atau "tis'un" yang berarti "sembilan". Dengan demikian, secara harfiah, Puasa Tasu'a merujuk pada puasa yang dilaksanakan pada hari kesembilan di bulan Muharram dalam kalender Hijriah. Puasa ini merupakan amalan sunah yang sangat dianjurkan sebagai pelengkap atau pendamping puasa Asyura, yang jatuh pada hari kesepuluh Muharram.
Penting untuk dipahami bahwa puasa Tasu'a bukanlah puasa wajib, melainkan puasa sunah yang sangat ditekankan (sunah muakkadah). Keberadaannya memiliki landasan kuat dalam sunah Rasulullah ﷺ dan menjadi pembeda antara umat Islam dengan kaum Yahudi dalam pelaksanaan puasa di hari Asyura. Ini adalah detail penting yang akan kita bahas lebih lanjut dalam bagian dalil dan hikmah.
Ketika seseorang mengatakan "puasa Tasu'a adalah", ia sedang merujuk pada praktik ibadah menahan diri dari makan, minum, dan segala hal yang membatalkan puasa, mulai dari terbit fajar hingga terbenam matahari, pada tanggal 9 Muharram. Ini adalah bentuk ketaatan dan kecintaan umat Muslim kepada ajaran Nabi Muhammad ﷺ yang menganjurkan penambahan puasa di hari tersebut. Ini bukan hanya tentang menahan lapar dan haus, tetapi juga tentang meneladani sunah Nabi dan mengambil pelajaran dari sejarah Islam.
Meskipun sering disebut bersamaan dan memiliki kaitan erat, ada sedikit perbedaan fundamental antara puasa Tasu'a dan puasa Asyura yang perlu kita pahami:
Dengan demikian, puasa Tasu'a berfungsi sebagai "penjaga" atau "pelengkap" yang vital bagi puasa Asyura, memastikan bahwa praktik ibadah umat Islam memiliki identitasnya sendiri dan tidak menyerupai amalan kaum lain secara mutlak. Ini adalah prinsip penting dalam syariat Islam yang mengajarkan umatnya untuk memiliki kekhasan dalam beribadah dan tidak mencampuradukkan dengan tradisi agama lain.
Anjuran untuk melaksanakan puasa Tasu'a tidak lain bersumber dari sunah Rasulullah ﷺ. Hadis-hadis berikut ini merupakan dalil utama yang menjadi dasar hukum pelaksanaan puasa Tasu'a. Memahami dalil ini akan memperkuat keyakinan kita akan kesahihan dan keutamaan amalan ini.
Salah satu dalil paling kuat mengenai anjuran puasa Tasu'a adalah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, dari Abdullah bin Abbas RA, beliau berkata:
"Ketika Rasulullah ﷺ berpuasa pada hari Asyura dan memerintahkan para sahabat untuk berpuasa, para sahabat berkata, 'Wahai Rasulullah, itu adalah hari yang diagungkan oleh kaum Yahudi dan Nasrani.' Maka Rasulullah ﷺ bersabda, 'Jika aku hidup sampai tahun yang akan datang, niscaya aku akan berpuasa pada hari kesembilan (Tasu'a).' Namun, Rasulullah ﷺ wafat sebelum tahun berikutnya tiba."
(HR. Muslim, Kitab As-Siyam, Hadis No. 1134)
Hadis ini secara eksplisit menunjukkan keinginan Nabi ﷺ untuk berpuasa pada hari Tasu'a. Meskipun beliau tidak sempat melaksanakannya karena wafat terlebih dahulu, niat dan perkataan beliau sudah cukup menjadi sunah yang harus diikuti oleh umatnya. Para ulama fiqh sepakat bahwa niat dan keinginan Nabi ﷺ yang tidak terlaksana karena wafatnya beliau adalah bagian dari sunah tasyri'iyyah (sunah yang dijadikan dasar hukum). Ini menunjukkan betapa pentingnya puasa Tasu'a sebagai bagian dari tuntunan syariat, bukan sekadar anjuran biasa.
Niat Nabi ini juga mengindikasikan pentingnya prinsip mukhalafah ahlul kitab (membedakan diri dari Ahli Kitab) dalam ibadah. Beliau ingin umatnya memiliki ciri khas tersendiri, bahkan dalam amalan yang substansinya sama dengan yang dilakukan oleh kaum Yahudi.
Selain hadis di atas, ada riwayat lain yang mendukung anjuran puasa Tasu'a, meskipun dengan redaksi yang sedikit berbeda, namun maknanya sejalan:
Dari Ibnu Abbas RA, ia berkata, "Rasulullah ﷺ bersabda, 'Puasalah kalian pada hari Asyura dan berbedalah dengan orang-orang Yahudi, puasalah sehari sebelumnya atau sehari sesudahnya.'"
(HR. Ahmad, Kitab Al-Musnad, Hadis No. 2154)
Hadis ini memberikan pilihan untuk berpuasa sehari sebelum (Tasu'a) atau sehari sesudah (tanggal 11 Muharram) sebagai pembeda. Namun, kebanyakan ulama, berdasarkan hadis pertama yang lebih spesifik menyebutkan niat Nabi ﷺ untuk berpuasa pada hari kesembilan, lebih menganjurkan puasa Tasu'a (9 Muharram) sebagai pilihan utama untuk mukhalafah. Jika digabungkan dengan puasa pada tanggal 11 Muharram, maka itu menjadi lebih sempurna.
Kedua hadis ini saling melengkapi, menguatkan bahwa niat dan anjuran Nabi ﷺ untuk berpuasa Tasu'a adalah untuk menegaskan identitas umat Islam dan menghindari penyerupaan dengan kaum lain.
Berdasarkan dalil-dalil di atas, mayoritas ulama dari berbagai mazhab (Syafi'i, Hanafi, Maliki, Hanbali) sepakat bahwa hukum puasa Tasu'a adalah sunah muakkadah, yaitu sunah yang sangat dianjurkan. Mereka berpendapat bahwa puasa Tasu'a bersama Asyura adalah yang paling utama, karena:
Imam An-Nawawi dalam kitab Al-Majmu' Syarah Al-Muhadzdzab menyatakan, "Yang paling utama adalah berpuasa pada hari kesembilan dan kesepuluh secara bersamaan." Pernyataan ini menegaskan konsensus ulama tentang keutamaan menggabungkan puasa Tasu'a dan Asyura. Dengan demikian, keutamaan puasa Tasu'a tidak bisa dilepaskan dari puasa Asyura, karena keduanya saling melengkapi dan menyempurnakan.
Ilustrasi gulungan kitab atau buku, melambangkan sumber hukum Islam dari Al-Qur'an dan Sunah yang menjadi dasar dalil Puasa Tasu'a.
Setiap syariat yang Allah SWT tetapkan atau Rasulullah ﷺ anjurkan pasti mengandung hikmah dan keutamaan yang besar bagi umat manusia, tidak terkecuali puasa Tasu'a. Memahami hikmah ini akan menambah motivasi dan keikhlasan kita dalam menjalankan ibadah, serta membuat ibadah kita lebih bermakna di sisi Allah SWT.
Hikmah paling utama dan sering disebutkan dalam konteks puasa Tasu'a adalah sebagai bentuk mukhalafah atau pembeda dari kaum Yahudi. Kaum Yahudi memiliki tradisi berpuasa pada tanggal 10 Muharram (yang mereka sebut Yom Kippur atau Hari Pendamaian) sebagai bentuk syukur atas keselamatan Nabi Musa AS dan Bani Israil dari kejaran Firaun. Rasulullah ﷺ, yang pada awalnya berpuasa Asyura dan menganjurkannya, kemudian ingin membedakan praktik umatnya agar tidak menyerupai kaum lain dalam syiar agama mereka. Ini menunjukkan pentingnya identitas Muslim dan keinginan untuk memiliki kekhasan dalam setiap ibadah.
Dalam Islam, ada prinsip untuk tidak meniru secara total tradisi kaum non-Muslim dalam hal ibadah atau hal-hal yang menjadi ciri khas mereka. Puasa Tasu'a adalah salah satu manifestasi dari prinsip ini, di mana meskipun substansi syukur itu baik, namun cara pelaksanaannya perlu dibedakan untuk menjaga identitas keislaman. Nabi ﷺ sangat menjaga agar umatnya memiliki kekhasan yang membedakan mereka dari umat lain, baik dalam penampilan, adat, maupun ibadah. Ini adalah upaya untuk menghindari kerancuan identitas dan menjaga kemurnian ajaran Islam.
Puasa Asyura memiliki keutamaan yang sangat besar, yaitu dapat menghapus dosa setahun yang telah lalu. Dengan berpuasa Tasu'a, seorang Muslim tidak hanya mendapatkan pahala dari puasa Tasu'a itu sendiri, tetapi juga menyempurnakan dan menguatkan puasa Asyura-nya. Ibarat dua dinding yang saling menopang, puasa Tasu'a menopang dan mengokohkan keberkahan puasa Asyura, sehingga pahala yang didapatkan menjadi lebih sempurna dan terjaga dari potensi kekurangan akibat penyerupaan.
Sebagian ulama berpendapat bahwa puasa Tasu'a berfungsi sebagai pelindung (tameng) bagi puasa Asyura, agar pahala puasa Asyura tidak berkurang karena adanya kemiripan dengan kaum Yahudi. Ini adalah bentuk perlindungan spiritual yang luar biasa, menunjukkan betapa Allah SWT dan Rasul-Nya sangat perhatian terhadap umat-Nya untuk meraih pahala yang paling maksimal.
Dengan menggabungkan kedua puasa ini, seorang Muslim menunjukkan kesungguhan dan keinginan kuatnya untuk meraih rida Allah SWT secara optimal.
Penentuan awal bulan Hijriah terkadang bisa berbeda karena metode hisab (perhitungan) dan rukyat (melihat hilal) yang dilakukan di berbagai tempat atau bahkan perbedaan pandangan ulama. Dengan berpuasa Tasu'a (9 Muharram) dan Asyura (10 Muharram), seorang Muslim akan merasa lebih aman dan yakin telah melaksanakan puasa Asyura yang dianjurkan, bahkan jika ada perbedaan dalam penetapan awal Muharram.
Misalnya, jika ada perbedaan penetapan awal Muharram sehingga hari yang diyakini sebagai 10 Muharram oleh sebagian orang, ternyata bagi sebagian lain adalah 9 Muharram. Dengan berpuasa pada kedua hari tersebut, seseorang telah mencakup kemungkinan 10 Muharram yang sebenarnya. Ini adalah bentuk kehati-hatian (ihtiyath) dalam beribadah, memastikan bahwa amalan sunah yang memiliki keutamaan besar ini tidak terlewatkan.
Praktik ini menunjukkan kearifan dalam syariat Islam untuk memberikan fleksibilitas dan jaminan bagi umatnya agar tetap bisa meraih keutamaan ibadah meskipun ada variasi penentuan kalender. Ini juga menumbuhkan sikap toleransi dan lapang dada terhadap perbedaan yang mungkin terjadi dalam penentuan awal bulan.
Setiap amalan puasa, termasuk Tasu'a, adalah latihan spiritual yang luar biasa untuk meningkatkan ketakwaan dan kedisiplinan diri. Menahan lapar dan dahaga, serta menjauhi hal-hal yang membatalkan puasa, melatih jiwa untuk bersabar, mengendalikan hawa nafsu, dan mendekatkan diri kepada Allah SWT. Dengan berpuasa dua hari berturut-turut (Tasu'a dan Asyura), intensitas latihan ini semakin meningkat, membentuk pribadi yang lebih kuat iman dan mentalnya.
Puasa juga menumbuhkan rasa empati terhadap kaum fakir miskin yang mungkin sering merasakan lapar dan kesulitan. Ini mendorong umat Muslim untuk lebih peduli dan berbagi, sehingga puasa tidak hanya menjadi ibadah individu tetapi juga memiliki dimensi sosial yang kuat. Kemampuan mengendalikan diri ini akan membawa dampak positif pada seluruh aspek kehidupan, menjadikan seseorang lebih bertanggung jawab, sabar, dan bertakwa.
Melaksanakan puasa Tasu'a adalah bentuk kecintaan dan ketaatan kepada Rasulullah ﷺ. Meskipun beliau belum sempat melaksanakannya, niat beliau untuk berpuasa pada hari kesembilan sudah cukup menjadi landasan bagi umatnya untuk mengikutinya. Ini adalah manifestasi dari firman Allah SWT, "Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah." (QS. Al-Hasyr: 7).
Dengan menghidupkan sunah ini, seorang Muslim tidak hanya mendapatkan pahala, tetapi juga menunjukkan kesetiaan dan komitmennya terhadap ajaran Nabi SAW. Setiap langkah yang kita ambil dalam mengikuti sunah adalah investasi spiritual yang nilainya tak terhingga di sisi Allah SWT. Puasa Tasu'a adalah salah satu kesempatan emas untuk meraih investasi tersebut, menunjukkan bahwa kita peduli dan ingin meneladani setiap aspek kehidupan Nabi ﷺ.
Tata cara pelaksanaan puasa Tasu'a sama persis dengan tata cara puasa sunah lainnya, termasuk puasa Asyura. Tidak ada ritual khusus atau perbedaan signifikan dalam teknis pelaksanaannya. Yang membedakan hanyalah niat dan waktu pelaksanaannya. Kesederhanaan dalam tata cara ini menunjukkan kemudahan dalam syariat Islam.
Puasa Tasu'a dilaksanakan pada hari ke-9 bulan Muharram dalam kalender Hijriah. Penting untuk memastikan penanggalan yang benar agar tidak salah dalam melaksanakannya. Biasanya, jika tanggal 1 Muharram sudah ditetapkan, maka menghitung tanggal 9 Muharram akan mudah. Sangat dianjurkan untuk menggabungkan puasa ini dengan puasa Asyura pada tanggal 10 Muharram.
Sebagai contoh, jika 1 Muharram jatuh pada hari Minggu, maka 9 Muharram adalah hari Senin, dan 10 Muharram adalah hari Selasa. Jadi, puasa Tasu'a akan dilakukan pada hari Senin tersebut.
Niat adalah rukun puasa yang paling utama. Niat puasa Tasu'a dilakukan pada malam hari sebelum fajar menyingsing, atau bisa juga di siang hari selama belum melakukan hal-hal yang membatalkan puasa (untuk puasa sunah). Namun, yang paling afdal adalah niat di malam hari. Niat di dalam hati sudah cukup, tidak harus dilafazkan.
Lafaz niat puasa Tasu'a (cukup dalam hati, namun bisa dilafazkan untuk menguatkan):
"Nawaitu shauma Tasu'a sunnatan lillahi ta'ala."
Artinya: "Saya berniat puasa sunah Tasu'a karena Allah Ta'ala."
Jika seseorang berpuasa Tasu'a dan Asyura sekaligus, ia bisa berniat untuk kedua puasa tersebut. Atau jika hanya berniat secara umum untuk puasa sunah Muharram, itu juga sah. Yang terpenting adalah adanya kehendak hati untuk berpuasa karena Allah SWT pada hari tersebut. Niat adalah kunci penerimaan amal di sisi Allah SWT.
Sangat dianjurkan untuk makan sahur sebelum waktu imsak atau sebelum fajar shadiq tiba. Sahur adalah berkah (barakah), sebagaimana sabda Rasulullah ﷺ: "Bersahurlah kalian, karena sesungguhnya dalam sahur itu terdapat berkah." (HR. Bukhari dan Muslim). Meskipun sunah, sahur dapat memberikan kekuatan dan energi untuk menjalani puasa sepanjang hari dan membedakan puasa Muslim dari puasa Ahli Kitab. Usahakan untuk mengonsumsi makanan yang bergizi seimbang dan cukup air agar tubuh tetap fit selama berpuasa.
Selama berpuasa, mulai dari terbit fajar hingga terbenam matahari (waktu Magrib), seorang Muslim wajib menahan diri dari:
Selain menahan diri dari pembatal-pembatal fisik, dianjurkan juga untuk menahan diri dari perkataan kotor, perbuatan dosa, ghibah (menggunjing), fitnah, dan hal-hal yang dapat mengurangi pahala puasa. Puasa sejati adalah puasa lisan, pendengaran, penglihatan, dan seluruh anggota tubuh dari kemaksiatan. Rasulullah ﷺ bersabda, "Berapa banyak orang yang berpuasa tetapi tidak mendapatkan dari puasanya kecuali lapar dan dahaga." (HR. Ibnu Majah).
Ketika waktu Magrib tiba, segeralah berbuka puasa. Menyegerakan berbuka adalah sunah yang dianjurkan. Dianjurkan untuk berbuka dengan kurma dan air putih, sebagaimana kebiasaan Rasulullah ﷺ. Jika tidak ada kurma, air putih sudah cukup. Jangan lupa membaca doa berbuka puasa sebagai bentuk syukur kepada Allah SWT.
Doa berbuka puasa yang diajarkan Nabi ﷺ:
"Dzahabadh dhama-u wabtallatil 'uruqu wa tsabatal ajru insya Allah."
Artinya: "Telah hilang rasa haus, urat-urat telah basah, dan pahala telah ditetapkan insya Allah."
Atau doa yang lebih umum dan populer di kalangan masyarakat:
"Allahumma laka shumtu wa bika amantu wa 'ala rizqika afthartu birahmatika ya arhamar rahimin."
Artinya: "Ya Allah, untuk-Mu aku berpuasa, dan kepada-Mu aku beriman, dan dengan rezeki-Mu aku berbuka, dengan rahmat-Mu wahai Yang Maha Pengasih dari segala yang pengasih."
Dengan menjalankan tata cara ini secara benar dan ikhlas, insya Allah puasa Tasu'a kita akan diterima oleh Allah SWT dan mendatangkan pahala yang berlimpah. Ini adalah praktik ibadah yang sederhana namun penuh makna dan keutamaan.
Ilustrasi timbangan, melambangkan keutamaan amal dan pahala yang besar dari puasa Tasu'a, serta keadilan Allah dalam membalas setiap perbuatan.
Untuk memahami sepenuhnya mengapa puasa Tasu'a dianjurkan, kita perlu menengok kembali sejarah dan kisah di balik puasa Asyura yang menjadi induknya. Kisah ini berakar pada peristiwa besar dalam sejarah kenabian yang melibatkan Nabi Musa AS dan Firaun, sebuah peristiwa yang sarat makna dan pelajaran bagi umat manusia.
Pada hari Asyura, yaitu tanggal 10 Muharram, Allah SWT menyelamatkan Nabi Musa AS beserta kaumnya, Bani Israil, dari kejaran Firaun dan bala tentaranya yang zalim. Firaun yang sombong, menganggap dirinya sebagai tuhan, dan kejam, mengejar Nabi Musa AS dan pengikutnya hingga ke Laut Merah. Bani Israil saat itu berada dalam keadaan terjepit, di depan mereka laut, di belakang mereka pasukan Firaun. Keputusasaan melanda sebagian mereka, namun Nabi Musa AS tetap tawakal kepada Allah.
Dengan kekuasaan-Nya, Allah SWT memerintahkan Nabi Musa AS untuk memukulkan tongkatnya ke laut. Seketika itu pula, laut terbelah menjadi dua belas jalur, membentuk jalan bagi Bani Israil untuk menyeberang dengan aman. Mukjizat ini adalah bukti nyata kebesaran Allah dan kebenaran risalah Nabi Musa AS. Ketika Bani Israil berhasil menyeberang, Firaun dan pasukannya yang congkak mencoba mengikuti. Namun, begitu mereka berada di tengah laut, Allah SWT memerintahkan laut untuk kembali menyatu, menenggelamkan Firaun beserta seluruh pasukannya. Peristiwa ini adalah mukjizat besar yang menunjukkan kebesaran Allah SWT dan kebenaran ajaran Nabi Musa AS. Hari itu menjadi hari kemenangan bagi keimanan, keadilan, dan kebebasan, serta hari kehancuran bagi kesombongan, kezaliman, dan kekufuran. Ini adalah peringatan bagi setiap penguasa yang melampaui batas.
Kaum Yahudi, sebagai keturunan Bani Israil, turun-temurun merayakan hari ini dengan berpuasa sebagai bentuk syukur kepada Allah SWT atas penyelamatan yang agung tersebut. Bahkan sebelum kedatangan Islam, penduduk Makkah, termasuk kaum Quraisy, juga memiliki tradisi berpuasa pada hari Asyura. Ini karena hari Asyura memiliki sejarah yang panjang dan dihormati oleh berbagai kalangan, meskipun mungkin dengan alasan yang berbeda-beda.
Ketika Rasulullah ﷺ hijrah ke Madinah, beliau mendapati kaum Yahudi di sana berpuasa pada hari Asyura. Beliau kemudian bertanya kepada mereka, mengapa mereka berpuasa pada hari itu. Mereka menjawab, "Ini adalah hari yang agung, hari di mana Allah menyelamatkan Musa dan kaumnya, serta menenggelamkan Firaun dan kaumnya. Maka Musa berpuasa pada hari itu sebagai bentuk syukur, dan kami pun berpuasa."
Mendengar hal tersebut, Rasulullah ﷺ bersabda, "Kami lebih berhak terhadap Musa daripada kalian." Lalu beliau ﷺ pun berpuasa pada hari Asyura dan memerintahkan para sahabat untuk berpuasa. Ini menunjukkan bahwa Nabi Muhammad ﷺ menghargai sejarah kenabian sebelumnya dan mengadopsi amalan syukur yang baik, namun dengan sentuhan syariat Islam yang khas.
Pada awalnya, puasa Asyura adalah puasa wajib bagi umat Islam, sebelum puasa Ramadhan diwajibkan. Setelah puasa Ramadhan diwajibkan pada tahun kedua Hijriah, hukum puasa Asyura berubah menjadi sunah muakkadah.
Seiring berjalannya waktu, setelah Nabi Muhammad ﷺ memerintahkan puasa Asyura, muncul keinginan beliau untuk membedakan amalan umat Islam dari kaum Yahudi. Beliau tidak ingin umatnya menyerupai mereka secara persis dalam praktik ibadah, meskipun tujuan dasarnya sama (bersyukur kepada Allah).
Nabi ﷺ bersabda, "Jika aku hidup sampai tahun yang akan datang, niscaya aku akan berpuasa pada hari kesembilan (Tasu'a)." (HR. Muslim). Niat ini menunjukkan prinsip penting dalam Islam, yaitu menjaga identitas unik umat Muslim dan menghindari tasyabbuh (menyerupai) kaum lain dalam hal-hal yang merupakan syiar keagamaan mereka. Ini bukan berarti menolak segala sesuatu yang dilakukan oleh kaum lain, tetapi lebih kepada menjaga kemurnian dan kekhasan syariat Islam.
Meskipun Rasulullah ﷺ wafat sebelum sempat melaksanakan puasa Tasu'a pada tahun berikutnya, niat beliau sudah menjadi sunah yang dianjurkan bagi umatnya. Inilah mengapa puasa Tasu'a adalah bagian integral dari praktik puasa Muharram yang dianjurkan, berfungsi sebagai pelengkap dan pembeda dari puasa Asyura yang sudah ada. Ia adalah cerminan dari hikmah dan kebijaksanaan syariat Islam.
Kisah ini mengajarkan kita tentang pentingnya syukur kepada Allah, menghormati sejarah para Nabi, dan juga menjaga identitas keislaman kita dalam setiap amalan. Ini adalah pelajaran tentang bagaimana Islam menghargai kebaikan di mana pun ia ditemukan, sambil tetap mempertahankan jati dirinya yang unik.
Bulan Muharram adalah bulan yang istimewa. Rasulullah ﷺ bersabda, "Puasa yang paling utama setelah puasa Ramadhan adalah puasa di bulan Allah, Muharram." (HR. Muslim). Hadis ini menunjukkan bahwa selain Tasu'a dan Asyura, memperbanyak puasa di hari-hari lain di bulan Muharram juga sangat dianjurkan. Puasa Tasu'a dan Asyura adalah puncak dari anjuran puasa di bulan Muharram, tetapi bukan satu-satunya.
Beberapa ulama menganjurkan untuk berpuasa tidak hanya pada tanggal 9 (Tasu'a) dan 10 (Asyura) Muharram, tetapi juga menambahkan puasa pada tanggal 11 Muharram. Anjuran ini didasarkan pada salah satu redaksi hadis yang sebelumnya disebutkan:
Dari Ibnu Abbas RA, ia berkata, "Rasulullah ﷺ bersabda, 'Puasalah kalian pada hari Asyura dan berbedalah dengan orang-orang Yahudi, puasalah sehari sebelumnya atau sehari sesudahnya.'"
(HR. Ahmad)
Jika seseorang mampu, berpuasa selama tiga hari berturut-turut (9, 10, dan 11 Muharram) adalah pilihan yang paling afdal dan paling hati-hati. Ini memastikan bahwa ia benar-benar telah berpuasa pada hari Asyura yang sebenarnya (jika ada perbedaan penentuan tanggal Muharram) dan juga telah memenuhi unsur pembeda dari kaum Yahudi secara maksimal. Puasa pada tanggal 11 Muharram juga berfungsi sebagai penguat dan pelengkap, serta menambah pahala sunah.
Praktik puasa tiga hari ini menunjukkan kesungguhan seorang Muslim dalam beribadah dan mengambil setiap kesempatan untuk meraih pahala di bulan yang mulia ini. Ini juga menjadi bentuk kehati-hatian dalam beramal.
Mengingat hadis bahwa puasa paling utama setelah Ramadhan adalah di bulan Muharram, maka memperbanyak puasa sunah di seluruh bulan Muharram sangat dianjurkan. Ini tidak berarti harus berpuasa setiap hari, tetapi mengisi bulan ini dengan lebih banyak puasa sunah dibandingkan bulan-bulan lainnya (selain Ramadhan). Setiap puasa sunah yang dilakukan di bulan ini akan mendapatkan keutamaan lebih.
Jika seseorang memiliki kekuatan dan kesempatan, ia bisa berpuasa senin-kamis, atau puasa Daud (sehari puasa, sehari tidak), atau puasa di hari-hari lain yang ia pilih di bulan Muharram. Ini akan menambah pahala dan keberkahan yang berlipat ganda, serta memperkuat disiplin spiritual individu.
Bulan Muharram adalah waktu yang tepat untuk memulai kebiasaan baik berpuasa sunah, karena keutamaan yang melekat pada bulan ini akan menjadi motivasi ekstra. Ini adalah bulan di mana amal kebaikan dilipatgandakan pahalanya.
Meskipun diperbolehkan untuk berniat puasa sunah secara umum, akan lebih baik jika niat spesifik untuk Tasu'a, Asyura, atau 11 Muharram jika seseorang memang ingin melaksanakannya. Niat yang jelas menunjukkan kesengajaan dan pemahaman akan amalan yang dilakukan, sehingga pahala yang diperoleh bisa lebih spesifik dan maksimal.
Yang terpenting dari niat adalah keikhlasan, yaitu murni karena Allah SWT, mencari ridho-Nya dan pahala dari-Nya, bukan karena ingin dilihat orang lain atau tujuan duniawi semata. Niat yang ikhlas akan menjadikan amal sekecil apapun bernilai besar di sisi Allah.
Ketika kita memahami puasa Tasu'a adalah bagian dari rangkaian ibadah di bulan Muharram yang mulia, kita akan melihatnya sebagai kesempatan besar untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT dan meraih keutamaan yang dijanjikan. Ini adalah bulan untuk memperbarui komitmen spiritual dan meningkatkan kualitas ibadah kita.
Meskipun puasa Tasu'a adalah amalan sunah yang jelas dalilnya dan memiliki banyak keutamaan, tidak jarang ada beberapa kesalahpahaman atau kekeliruan dalam mempraktikkan atau memahami puasa ini. Penting untuk meluruskan hal-hal ini agar ibadah kita sah, diterima oleh Allah SWT, dan dilaksanakan sesuai tuntunan syariat.
Salah satu kesalahan paling umum adalah menganggap puasa Tasu'a, atau bahkan puasa Asyura, sebagai puasa wajib. Padahal, status hukum keduanya adalah sunah muakkadah, yaitu sunah yang sangat dianjurkan. Puasa wajib dalam Islam hanyalah puasa Ramadhan, puasa qadha (pengganti puasa wajib yang terlewat), puasa nazar (janji), dan puasa kafarah (denda). Menganggap sunah sebagai wajib dapat menyebabkan dosa jika ditinggalkan dengan keyakinan wajib, padahal tidak, dan bisa memberatkan diri sendiri serta orang lain yang tidak mampu.
Penting untuk selalu membedakan antara wajib dan sunah agar tidak memberatkan diri atau orang lain melebihi apa yang disyariatkan, dan juga agar tidak meremehkan amalan wajib yang sesungguhnya.
Meskipun puasa Asyura saja sudah berpahala besar (menghapus dosa setahun yang lalu), namun meninggalkan puasa Tasu'a padahal mampu adalah menyia-nyiakan keutamaan dan tidak mengikuti niat Rasulullah ﷺ untuk membedakan diri dari Yahudi. Jika seseorang mampu berpuasa dua hari, maka berpuasa Tasu'a dan Asyura adalah yang paling utama dan sempurna.
Tentu, jika ada halangan syar'i atau kondisi kesehatan yang tidak memungkinkan untuk berpuasa dua hari, maka berpuasa Asyura saja sudah cukup dan pahalanya tetap besar. Allah tidak membebani hamba-Nya di luar batas kemampuannya. Namun, bagi yang mampu, menggabungkan keduanya adalah pilihan terbaik.
Untuk puasa sunah, niat boleh dilakukan pada siang hari (setelah fajar hingga sebelum tergelincir matahari/dzuhur) asalkan belum melakukan pembatal puasa. Namun, beberapa orang mungkin masih keliru mengira niat puasa sunah juga harus semalam suntuk seperti puasa Ramadhan. Ini tidak sepenuhnya salah karena niat malam hari adalah yang paling afdal dan disunahkan, tetapi bukan satu-satunya waktu. Yang penting adalah ada niat di hati dan belum melakukan pembatal puasa.
Pastikan niatnya adalah puasa sunah Tasu'a (atau Asyura) karena Allah Ta'ala, bukan karena tradisi semata, ikut-ikutan, atau alasan lain yang tidak diniatkan untuk ibadah. Niat yang tulus adalah fondasi diterimanya amal.
Di beberapa daerah, terkadang muncul mitos atau tradisi yang dikaitkan dengan hari Asyura atau Tasu'a yang tidak memiliki dasar dalam syariat Islam. Misalnya, kepercayaan terhadap kesialan di bulan Muharram, atau ritual-ritual tertentu seperti mandi kembang, membuat bubur khusus dengan tujuan mistis, atau bahkan perayaan-perayaan yang berlebihan yang tidak diajarkan oleh Nabi ﷺ.
Sebagai Muslim, kita harus berpegang teguh pada Al-Qur'an dan Sunah yang sahih. Jika ada tradisi yang bertentangan dengan ajaran Islam, maka harus ditinggalkan. Puasa Tasu'a adalah ibadah murni yang didasari sunah Nabi, bukan mitos atau kepercayaan khurafat. Memurnikan ibadah dari bid'ah dan khurafat adalah kewajiban setiap Muslim.
Puasa bukan hanya menahan lapar dan dahaga. Lebih dari itu, puasa adalah latihan spiritual untuk menahan hawa nafsu, mengendalikan lisan, pandangan, dan perbuatan dari kemaksiatan. Beberapa orang mungkin hanya fokus pada aspek fisik puasa, namun lupa untuk menjaga anggota tubuh lainnya dari dosa. Puasa yang sempurna adalah yang juga membersihkan jiwa dan hati, serta meningkatkan akhlak.
Rasulullah ﷺ bersabda, "Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan beramal dengannya, maka Allah tidak membutuhkan dia untuk meninggalkan makan dan minumnya." (HR. Bukhari). Hadis ini menunjukkan pentingnya menjaga etika dan akhlak selama berpuasa, karena puasa yang sempurna adalah puasa yang membawa perubahan positif pada perilaku dan spiritualitas seseorang.
Dengan menghindari kesalahan-kesalahan ini, umat Muslim dapat melaksanakan puasa Tasu'a dengan lebih benar, ikhlas, dan mendapatkan pahala yang optimal, serta keberkahan dari Allah SWT.
Selain pahala dan keutamaan di sisi Allah SWT, pelaksanaan puasa Tasu'a (dan Asyura) juga membawa berbagai manfaat dan dampak positif dalam kehidupan seorang Muslim, baik secara spiritual, mental, maupun sosial. Puasa adalah ibadah komprehensif yang membentuk pribadi yang lebih baik.
Setiap ibadah adalah jembatan menuju kedekatan dengan Sang Pencipta. Puasa, khususnya puasa sunah seperti Tasu'a, adalah manifestasi kecintaan hamba kepada Rabb-nya. Dengan menahan diri dari kebutuhan dasar dan mengalihkan fokus kepada Allah, hati menjadi lebih lembut, jiwa menjadi lebih tenang, dan koneksi spiritual pun semakin kuat. Ini adalah kesempatan untuk muhasabah diri, berzikir, membaca Al-Qur'an, dan memperbanyak doa. Ketika kita merasa lapar dan haus, kita semakin sadar akan ketergantungan kita kepada Allah SWT sebagai Pemberi Rezeki.
Puasa adalah sekolah kesabaran yang efektif. Menahan lapar, haus, dan gejolak hawa nafsu selama berjam-jam melatih seseorang untuk mengendalikan diri dari keinginan sesaat. Kedisiplinan yang terbentuk selama puasa dapat diaplikasikan dalam aspek kehidupan lainnya, seperti menahan emosi, menghindari perbuatan maksiat, menjaga lisan dari perkataan buruk, dan fokus pada tujuan hidup yang lebih besar. Puasa Tasu'a adalah kesempatan ekstra untuk melatih kesabaran ini, membentuk karakter yang tangguh dan kuat.
Ketika seseorang merasakan lapar dan dahaga, ia akan lebih mudah berempati dengan kondisi saudara-saudaranya yang kurang beruntung, yang mungkin sering merasakan lapar dan haus karena keterbatasan ekonomi. Rasa empati ini akan mendorongnya untuk lebih banyak bersedekah, membantu yang membutuhkan, dan meningkatkan solidaritas sosial dalam masyarakat. Puasa Tasu'a adalah pengingat penting akan nikmat yang seringkali kita lupakan, dan mendorong kita untuk lebih bersyukur dan berbagi. Ini adalah salah satu tujuan sosial penting dari ibadah puasa.
Secara ilmiah, puasa yang dilakukan dengan benar dapat memberikan manfaat kesehatan, seperti detoksifikasi tubuh, istirahat bagi sistem pencernaan, regulasi gula darah, dan bahkan perbaikan sel. Namun, penting untuk diingat bahwa tujuan utama puasa dalam Islam adalah ibadah, bukan semata-mata kesehatan. Jika dilaksanakan dengan niat yang benar dan didukung dengan asupan nutrisi yang baik saat sahur dan berbuka, puasa Tasu'a dapat menjadi cara untuk menjaga kesehatan fisik sambil meraih pahala. Ini adalah bonus dari ibadah.
Penting untuk konsultasi dengan dokter jika memiliki kondisi kesehatan tertentu (misalnya diabetes, penyakit jantung, atau masalah pencernaan kronis) sebelum berpuasa untuk memastikan keamanan dan kelayakan.
Dengan melaksanakan puasa Tasu'a, seorang Muslim secara langsung menghidupkan salah satu sunah Rasulullah ﷺ, yang beliau niatkan namun belum sempat terlaksana. Ini adalah bentuk pengingat dan pembaruan komitmen terhadap ajaran Nabi, serta upaya untuk mengikuti jejak beliau dalam setiap aspek kehidupan. Semakin banyak sunah yang dihidupkan, semakin kuat ikatan seorang Muslim dengan teladan terbaik umat manusia.
Setiap sunah yang kita hidupkan adalah bentuk penghormatan dan kecintaan kita kepada Nabi ﷺ, dan Allah SWT akan membalasnya dengan pahala yang berlipat ganda.
Sebagaimana telah disebutkan, puasa Asyura memiliki keutamaan menghapus dosa setahun yang lalu. Puasa Tasu'a, sebagai pelengkap Asyura, juga berkontribusi dalam pengumpulan pahala dan penghapusan dosa. Ini adalah anugerah besar dari Allah SWT, memberikan kesempatan bagi hamba-Nya untuk membersihkan diri dari kesalahan dan memulai lembaran baru dengan catatan amal yang lebih baik.
Puasa secara umum adalah perisai dari api neraka. Dengan puasa Tasu'a dan Asyura, seorang Muslim mendapatkan perisai ganda dan kesempatan emas untuk membersihkan diri dari dosa-dosa kecil, mendekatkan diri kepada ampunan dan rahmat Allah. Ini adalah peluang yang tidak boleh disia-siakan.
Semoga dengan memahami berbagai manfaat ini, semangat kita untuk menjalankan puasa Tasu'a dan amalan baik lainnya di bulan Muharram semakin meningkat, menjadikan kita pribadi yang lebih bertakwa dan bermanfaat.
Ilustrasi tetesan air, mengingatkan akan waktu berbuka puasa, penghilang dahaga, dan rezeki dari Allah SWT.
Berikut adalah beberapa pertanyaan yang sering muncul terkait puasa Tasu'a, beserta jawabannya berdasarkan syariat Islam. Semoga ini dapat menghilangkan keraguan dan memberikan pemahaman yang lebih jelas.
Tidak wajib. Puasa Tasu'a hukumnya sunah muakkadah (sangat dianjurkan), bukan wajib. Seseorang tetap sah dan mendapatkan pahala puasa Asyura meskipun ia tidak berpuasa Tasu'a. Namun, sangat dianjurkan untuk menggabungkan keduanya jika tidak ada halangan, karena ini adalah cara yang paling sempurna dan sesuai dengan sunah Nabi ﷺ untuk membedakan diri dari kaum Yahudi. Meninggalkan puasa Tasu'a tanpa udzur syar'i berarti kehilangan kesempatan pahala yang besar.
Untuk puasa sunah, termasuk Tasu'a, niat boleh dilakukan pada siang hari (setelah fajar hingga sebelum tergelincir matahari/dzuhur) asalkan Anda belum melakukan hal-hal yang membatalkan puasa sejak fajar. Jadi, jika Anda bangun pagi dan tiba-tiba teringat ingin berpuasa Tasu'a, Anda masih bisa berniat dan melanjutkan puasa Anda. Namun, niat di malam hari tetap yang paling afdal.
Tidak ada doa atau amalan khusus yang secara spesifik disebutkan dalam sunah Nabi ﷺ yang hanya dilakukan pada hari Tasu'a selain puasanya itu sendiri. Namun, seperti hari-hari lainnya, sangat dianjurkan untuk memperbanyak ibadah umum seperti membaca Al-Qur'an, berzikir, bersedekah, salat sunah (misalnya shalat dhuha atau rawatib), dan berdoa. Waktu berpuasa adalah waktu yang mustajab untuk berdoa, jadi manfaatkan waktu ini untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan doa-doa terbaik Anda.
Boleh. Puasa Asyura (10 Muharram) saja sudah mendapatkan pahala besar, yaitu menghapus dosa setahun yang lalu. Namun, seperti yang sudah dijelaskan, sangat dianjurkan untuk menambahkan puasa Tasu'a (9 Muharram) sebagai pelengkap dan pembeda dari kaum Yahudi. Jika ada udzur syar'i seperti sakit, haid, atau musafir yang membuat tidak mampu berpuasa Tasu'a, maka berpuasa Asyura saja sudah cukup dan pahalanya tetap besar. Allah Maha Pemaaf dan Maha Pengampun.
Jika terjadi keraguan dalam penentuan tanggal 9 atau 10 Muharram (misalnya karena perbedaan awal bulan), cara yang paling aman adalah dengan berpuasa tiga hari berturut-turut, yaitu tanggal 9, 10, dan 11 Muharram. Dengan begitu, Anda akan memastikan bahwa puasa Asyura yang sebenarnya telah tercakup, dan Anda juga telah melaksanakan puasa Tasu'a sebagai pembeda, serta mendapatkan pahala tambahan dari puasa di tanggal 11 Muharram.
Tidak. Wanita yang sedang haid atau nifas dilarang berpuasa. Namun, mereka tidak berdosa karena tidak berpuasa Tasu'a, dan tidak wajib mengqadha puasa Tasu'a karena hukumnya sunah. Mereka tetap bisa mendapatkan pahala dengan melakukan amalan lain yang tidak dilarang saat haid, seperti berzikir, berdoa, bersedekah, atau mendengarkan ceramah agama.
Kekhususan utama puasa Tasu'a memang terletak pada fungsinya sebagai pembeda dari kaum Yahudi dan pelengkap bagi puasa Asyura. Namun, seperti semua puasa sunah, ia juga memiliki keutamaan umum dalam meningkatkan ketakwaan, mendapatkan pahala dari Allah, dan menghapus dosa-dosa kecil. Jadi, meskipun "hadiah" utamanya adalah mukhalafah, manfaat spiritual lainnya tetap ada dan melengkapi. Setiap ibadah sunah adalah investasi spiritual.
Semoga jawaban-jawaban ini dapat menghilangkan keraguan dan memberikan pemahaman yang lebih jelas mengenai puasa Tasu'a, sehingga kita dapat melaksanakannya dengan penuh keyakinan dan keikhlasan.
Demikianlah penjelasan panjang lebar mengenai puasa Tasu'a adalah sebuah amalan sunah yang kaya akan makna dan keutamaan. Dari pengertian dasar hingga dalil-dalil syar'i yang menjadi landasannya, dari hikmah mendalam sebagai pembeda identitas Muslim hingga tata cara pelaksanaannya yang sederhana, semuanya telah kita ulas secara komprehensif. Kita juga telah menyingkap kisah di balik anjuran puasa ini, hubungannya dengan puasa Asyura, serta beberapa kesalahpahaman yang perlu diluruskan demi kesempurnaan ibadah kita.
Puasa Tasu'a, meskipun hukumnya sunah, merupakan salah satu pintu kebaikan yang dibuka lebar bagi kita di bulan Muharram yang mulia. Niat Rasulullah ﷺ untuk melaksanakannya, meskipun belum sempat terwujud karena wafatnya beliau, sudah cukup menjadi motivasi yang kuat bagi kita untuk menghidupkan sunah ini. Ini adalah bentuk kecintaan kita kepada beliau dan ketaatan kepada ajaran Islam yang dibawa. Melaksanakan sunah adalah salah satu cara terbaik untuk menunjukkan bahwa kita adalah umat yang setia kepada ajaran Nabi ﷺ.
Marilah kita manfaatkan kesempatan emas di bulan Muharram ini, khususnya pada hari Tasu'a dan Asyura, untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Bukan hanya dengan menahan lapar dan dahaga dari fajar hingga magrib, tetapi juga dengan menjaga lisan dari perkataan sia-sia, menjaga pandangan dari hal-hal yang diharamkan, dan seluruh anggota tubuh dari kemaksiatan. Biarkan puasa ini menjadi sarana untuk membersihkan jiwa, meningkatkan ketakwaan, menumbuhkan empati kepada sesama, dan memperkuat hubungan kita dengan Allah SWT. Ini adalah waktu untuk introspeksi dan perbaikan diri.
Semoga Allah SWT senantiasa memberikan kita taufik dan hidayah untuk bisa menjalankan setiap amal kebaikan, termasuk puasa Tasu'a dan Asyura, dengan niat yang tulus dan ikhlas. Semoga setiap langkah ibadah kita menjadi bekal di akhirat kelak, menjadi pemberat timbangan amal kebaikan kita, dan Allah menerima seluruh amal saleh kita. Semoga kita semua termasuk golongan hamba-hamba-Nya yang senantiasa bersemangat dalam meraih kebaikan dan keberkahan-Nya. Aamiin ya Rabbal 'alamin.