Ilustrasi: Timbangan keseimbangan yang melambangkan moderasi (wasatiyyah) dan keadilan dalam Keaswajaan.
Dalam lanskap pemikiran dan praktik keagamaan Islam yang luas, istilah "Ahlussunnah wal Jama'ah" atau yang sering disingkat ASWAJA, menempati posisi yang sangat sentral dan fundamental. Istilah ini merujuk pada mayoritas umat Islam yang mengikuti sunnah Nabi Muhammad ﷺ dan jalan para sahabatnya, serta berpegang teguh pada konsensus (ijma') ulama salafush shalih. Keaswajaan bukanlah sekadar label atau nama sebuah mazhab baru, melainkan sebuah manhaj (metodologi) yang komprehensif dalam beragama, mencakup aspek akidah, fikih, dan akhlak/tasawuf. Ia merupakan representasi dari Islam yang moderat, toleran, dan seimbang, yang telah diwariskan dari generasi ke generasi sejak masa-masa awal Islam.
Konsep Keaswajaan seringkali disalahpahami atau bahkan disempitkan maknanya menjadi identitas kelompok tertentu. Padahal, pada hakikatnya, ia adalah upaya untuk melestarikan kemurnian ajaran Islam dari berbagai bid'ah, penyimpangan, dan ekstremisme yang muncul sepanjang sejarah. Keaswajaan hadir sebagai jalan tengah (wasatiyyah) di antara berbagai pandangan ekstrem, baik dalam hal penafsiran teks agama, pemahaman akidah, maupun praktik ibadah dan sosial. Ia menekankan pentingnya ilmu, adab, dan kebijaksanaan dalam memahami dan mengamalkan ajaran agama, serta menjaga persatuan umat dari perpecahan.
Artikel ini akan menggali secara mendalam apa itu Keaswajaan, mulai dari akar sejarahnya, pilar-pilar akidah yang menjadi fondasinya, landasan fikih yang menjadi panduan syariatnya, dimensi tasawuf dan akhlak yang menyempurnakan spiritualitasnya, hingga metodologi dan pendekatannya dalam menghadapi berbagai persoalan. Lebih jauh, kita akan meninjau bagaimana Keaswajaan relevan dalam konteks sosial dan kebangsaan, serta tantangan dan perannya di era modern yang penuh gejolak. Tujuannya adalah memberikan pemahaman yang komprehensif dan jernih mengenai esensi Keaswajaan sebagai jalan Islam yang moderat, inklusif, dan relevan sepanjang masa.
Dengan memahami Keaswajaan secara benar, diharapkan kita dapat meneladani sikap dan pemikiran ulama-ulama salaf yang senantiasa mengedepankan persatuan, toleransi, dan kebijaksanaan dalam menghadapi perbedaan, sekaligus kokoh dalam mempertahankan prinsip-prinsip dasar agama. Keaswajaan bukan hanya tentang doktrin, melainkan juga tentang bagaimana menjalani kehidupan sebagai seorang Muslim yang berkontribusi positif bagi masyarakat dan peradaban, dengan tetap berpegang teguh pada ajaran Nabi Muhammad ﷺ dan para pendahulu yang shalih.
Untuk memahami Keaswajaan secara utuh, kita perlu menelusuri akar sejarahnya yang sangat panjang, dimulai sejak era kenabian dan berlanjut melalui masa para sahabat, tabi'in, hingga terbentuknya mazhab-mazhab ilmu pengetahuan Islam. Istilah "Ahlussunnah wal Jama'ah" sendiri tidak muncul secara eksplisit pada masa Nabi ﷺ, melainkan berkembang kemudian sebagai respons terhadap munculnya berbagai firqah (sekte) dan kelompok yang menyimpang dari jalan utama umat Islam.
Fondasi Keaswajaan sesungguhnya telah diletakkan oleh Rasulullah ﷺ sendiri. Beliau adalah sumber utama sunnah, baik dalam perkataan (qaul), perbuatan (fi'il), maupun ketetapan (taqrir). Para sahabat adalah generasi pertama yang secara langsung menerima dan mengamalkan ajaran-ajaran Nabi ﷺ. Mereka memahami Islam secara komprehensif, mengamalkan Al-Qur'an dan Sunnah dengan bimbingan langsung dari Nabi. Pada masa ini, umat Islam adalah satu jama'ah yang solid, dengan Nabi ﷺ sebagai pemimpin dan rujukan utama.
Setelah wafatnya Nabi ﷺ, para sahabat melanjutkan estafet kepemimpinan dan penyebaran Islam. Mereka menjadi rujukan utama dalam memahami dan menafsirkan ajaran agama. Kekuatan persatuan dan kesatuan (jama'ah) sangat ditekankan, sebagaimana sabda Nabi ﷺ, "Umatku tidak akan bersepakat atas kesesatan." (HR. Tirmidzi). Konsensus para sahabat (ijma' ash-shahabah) menjadi otoritas kedua setelah Al-Qur'an dan Sunnah Nabi ﷺ. Dalam masa Khulafaur Rasyidin, meskipun terjadi beberapa perselisihan politik, namun dalam hal akidah dan prinsip-prinsip dasar syariat, umat masih relatif bersatu.
Benih-benih perpecahan mulai tumbuh setelah masa Khulafaur Rasyidin, khususnya pasca-fitnah besar yang menimpa umat Islam. Perpecahan politik yang menghasilkan kelompok-kelompok seperti Khawarij (yang ekstrem dalam takfir), Syi'ah (yang ekstrem dalam kecintaan pada Ahlul Bait dan menolak kekhalifahan yang ada), dan Murji'ah (yang ekstrem dalam soal iman dan amal), memaksa ulama untuk merumuskan kriteria dan identitas bagi kelompok mayoritas yang tetap berpegang pada jalan moderat.
Pada abad kedua dan ketiga Hijriah, berbagai aliran pemikiran teologi (kalam) mulai berkembang pesat. Rasionalisme Mu'tazilah yang berlebihan dalam menafsirkan Al-Qur'an dan Sunnah dengan akal semata, serta kelompok-kelompok yang terlalu tekstualis tanpa mempertimbangkan konteks dan hikmah, menciptakan kebingungan di kalangan umat. Dalam kondisi inilah, ulama-ulama besar tampil untuk membentengi umat dari penyimpangan. Istilah "Ahlussunnah wal Jama'ah" kemudian menjadi penanda bagi mereka yang berpegang teguh pada sunnah Nabi ﷺ dan konsensus para ulama (jama'ah), terutama dalam hal akidah.
Periode penting dalam perkembangan Keaswajaan adalah terbentuknya dua mazhab akidah utama yang diakui oleh mayoritas Ahlussunnah:
Kedua mazhab akidah ini, Asy'ariyah dan Maturidiyah, menjadi landasan teologis bagi mayoritas umat Islam Ahlussunnah wal Jama'ah. Mereka berhasil mensistematisasikan pemahaman akidah, menjaga kemurnian tauhid, dan membantah berbagai bid'ah dalam ranah keyakinan.
Seiring dengan perkembangan mazhab akidah, mazhab-mazhab fikih (hukum Islam) juga mengalami sistematisasi. Empat mazhab fikih utama yang diakui oleh Ahlussunnah adalah:
Keempat imam mazhab ini dan murid-murid mereka telah melakukan ijtihad yang luar biasa dalam merumuskan hukum-hukum syariat berdasarkan Al-Qur'an dan Sunnah, dengan mempertimbangkan kaidah-kaidah ushul fikih yang ketat. Mayoritas umat Islam Ahlussunnah wal Jama'ah mengikuti salah satu dari empat mazhab fikih ini, sebagai bentuk penghormatan terhadap tradisi keilmuan dan untuk menjaga konsistensi dalam praktik syariat.
Aspek ketiga yang tidak terpisahkan dari Keaswajaan adalah tasawuf (ilmu akhlak dan penyucian jiwa). Ulama-ulama Ahlussunnah mengintegrasikan tasawuf yang lurus (sesuai syariat) sebagai bagian penting dari ajaran Islam. Tokoh-tokoh seperti Imam Al-Ghazali (w. 505 H) dengan karyanya "Ihya' Ulumuddin" menjadi pelopor dalam menggabungkan fikih, akidah, dan tasawuf ke dalam satu kerangka pemahaman Islam yang utuh. Tasawuf dalam konteks Keaswajaan berfungsi sebagai penyeimbang, menjaga agar ibadah tidak hanya menjadi ritual tanpa makna, tetapi juga menyentuh kedalaman spiritual dan membentuk akhlak mulia.
Dengan demikian, Keaswajaan adalah warisan intelektual dan spiritual yang kaya, yang terbentuk melalui proses sejarah panjang untuk menjaga kemurnian, moderasi, dan persatuan umat Islam. Ia bukan sekadar teori, melainkan manhaj yang telah teruji dalam membimbing umat selama berabad-abad.
Ilustrasi: Buku terbuka dengan cahaya yang melambangkan ilmu, wahyu, dan petunjuk ilahi dalam Keaswajaan.
Akidah adalah fondasi utama dalam Islam, dan dalam Keaswajaan, akidah dibangun di atas prinsip-prinsip yang kokoh, bersumber dari Al-Qur'an, Sunnah, dan pemahaman para sahabat serta ulama salaf. Akidah Ahlussunnah wal Jama'ah yang dirumuskan oleh Imam Abul Hasan Al-Asy'ari dan Imam Abu Manshur Al-Maturidi menjadi rujukan utama. Pilar-pilar akidah ini menjaga umat dari kesesatan dan penyimpangan dalam keyakinan.
Inti dari akidah Ahlussunnah adalah tauhid, yaitu mengesakan Allah SWT dalam Rububiyah (ketuhanan), Uluhiyah (peribadahan), dan Asma' wa Sifat (nama dan sifat-Nya).
Akidah Keaswajaan menolak paham antropomorfisme (menyerupakan Allah dengan makhluk) dan juga paham yang meniadakan sifat-sifat Allah secara total. Ia mengambil jalan tengah dalam memahami sifat-sifat Allah sesuai dengan kaidah `Laisa kamitslihi syai'un` (Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia).
Selain tauhid, rukun iman yang enam juga menjadi pilar fundamental:
Ahlussunnah wal Jama'ah memiliki sikap yang sangat menghormati dan memuliakan para sahabat Nabi ﷺ. Mereka diyakini sebagai generasi terbaik yang telah berjuang bersama Nabi dan menyebarkan Islam. Ahlussunnah tidak mencela atau mengkafirkan sahabat, bahkan terhadap perselisihan yang terjadi di antara mereka, dipahami sebagai ijtihad yang bisa benar atau salah, namun tidak mengurangi kemuliaan mereka secara keseluruhan. Mereka dianggap sebagai rujukan dalam memahami sunnah Nabi ﷺ.
Dalam masalah iman dan amal, Ahlussunnah wal Jama'ah meyakini bahwa iman adalah pembenaran dalam hati (tashdiq bil qalb), pengucapan dengan lisan (iqrar bil lisan), dan pembuktian dengan perbuatan (amal bil arkan). Iman bisa bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan. Keaswajaan menolak pandangan Murji'ah yang menganggap amal tidak berpengaruh pada iman, dan juga menolak pandangan Khawarij yang mengkafirkan pelaku dosa besar. Pelaku dosa besar dalam pandangan Ahlussunnah tetap dianggap Muslim, meskipun imannya berkurang, kecuali jika ia melakukan syirik atau kufur yang jelas.
Ahlussunnah wal Jama'ah meyakini bahwa Al-Qur'an adalah kalamullah (firman Allah) yang qadim (kekal), bukan makhluk. Keyakinan ini berbeda dengan pandangan Mu'tazilah yang menganggap Al-Qur'an adalah makhluk.
Ahlussunnah meyakini bahwa orang-orang mukmin akan dapat melihat Allah SWT di akhirat kelak, sebagai nikmat terbesar di surga. Namun, penglihatan ini tidak dapat disamakan dengan penglihatan makhluk di dunia, dan tidak melibatkan arah atau bentuk.
Pilar-pilar akidah ini membentuk kerangka keyakinan yang kokoh bagi Ahlussunnah wal Jama'ah, menjaga umat dari penyimpangan, dan membimbing mereka menuju pemahaman yang benar tentang Allah, alam semesta, dan tujuan penciptaan.
Setelah akidah yang kokoh sebagai fondasi, Ahlussunnah wal Jama'ah memiliki landasan fikih (hukum Islam) yang terstruktur dan sistematis. Fikih mengatur segala aspek kehidupan seorang Muslim, mulai dari ibadah personal hingga muamalah sosial. Ciri khas fikih Aswaja adalah pengakuan terhadap empat mazhab fikih utama, yaitu Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hanbali.
Mayoritas ulama dan umat Islam Ahlussunnah wal Jama'ah mengikuti salah satu dari empat mazhab fikih ini. Keempat mazhab ini bukanlah sekadar pilihan, melainkan representasi dari upaya ijtihad kolektif para ulama besar untuk merumuskan hukum-hukum syariat berdasarkan sumber-sumber utama Islam.
Mengikuti salah satu mazhab ini adalah wujud dari penghormatan terhadap tradisi keilmuan Islam yang kaya dan menghindari ijtihad individu yang rentan kesalahan tanpa bekal ilmu yang mumpuni. Ini juga menjaga umat dari kekacauan hukum akibat banyaknya pandangan yang tidak berlandaskan metodologi ilmiah yang kuat.
Secara umum, sumber hukum yang digunakan dalam fikih Ahlussunnah wal Jama'ah adalah:
Selain empat sumber utama ini, ada juga sumber-sumber lain yang digunakan oleh mazhab-mazhab tertentu, seperti Istihsan (Hanafi), Maslahah Mursalah (Maliki), Sadd Adz-Dzara'i (Maliki dan Hanbali), Urf (adat kebiasaan yang tidak bertentangan syariat), dan Qaul Sahabi (pendapat sahabat).
Ulama Ahlussunnah menetapkan metodologi yang ketat dalam berijtihad dan merumuskan hukum. Ini melibatkan:
Ijtihad bukanlah hak sembarang orang, melainkan hanya bagi mereka yang telah mencapai derajat mujtahid dengan keilmuan yang mumpuni. Bagi umat awam, dianjurkan untuk mengikuti (taqlid) pendapat ulama yang telah diakui keilmuannya, sebagai bentuk kehati-hatian dan menjaga dari kesalahan.
Fikih Ahlussunnah wal Jama'ah, meskipun terstruktur, juga dikenal dengan fleksibilitas dan kemudahannya. Ada konsep `rukhsah` (keringanan) dalam syariat, yang memungkinkan umat untuk memilih opsi yang lebih mudah dalam kondisi tertentu tanpa keluar dari koridor syariat. Perbedaan pendapat antarmazhab (ikhtilaf) juga dipandang sebagai rahmat (kelapangan) bagi umat, selama perbedaan tersebut masih berada dalam kerangka ushul yang disepakati. Hal ini menunjukkan bahwa syariat Islam tidak bersifat kaku, melainkan mengakomodasi berbagai kondisi dan kebutuhan umat di berbagai tempat dan zaman.
Dengan berpegang pada landasan fikih Ahlussunnah wal Jama'ah, seorang Muslim dapat menjalankan syariat secara konsisten, terpandu, dan terhindar dari pemahaman yang ekstrem atau menyimpang. Ini memastikan bahwa ibadah dan muamalah mereka sesuai dengan tuntunan Al-Qur'an dan Sunnah, sebagaimana dipahami oleh ulama-ulama salaf.
Ilustrasi: Tiga siluet orang saling bergandengan tangan dalam lingkaran, melambangkan persatuan umat (jama'ah), kebersamaan, dan toleransi.
Keaswajaan tidak hanya tentang akidah yang benar dan fikih yang sistematis, tetapi juga mencakup dimensi spiritual yang mendalam, yaitu tasawuf dan akhlak. Tasawuf dalam konteks Ahlussunnah wal Jama'ah bukanlah ajaran yang terpisah atau bertentangan dengan syariat, melainkan esensi dari ihsan, yaitu beribadah kepada Allah seolah-olah melihat-Nya, dan jika tidak mampu, meyakini bahwa Allah melihat kita. Ia merupakan upaya penyucian jiwa (tazkiyatun nufus) untuk mencapai kedekatan dengan Allah SWT.
Tasawuf yang dianut oleh Ahlussunnah wal Jama'ah adalah tasawuf yang syar'i, yang berlandaskan Al-Qur'an dan Sunnah, serta tidak bertentangan dengan akidah dan fikih. Ia menolak bentuk-bentuk tasawuf bid'ah, sinkretik, atau yang mengarah pada kesyirikan dan penyimpangan. Tasawuf Aswaja menitikberatkan pada:
Tokoh sentral dalam mengintegrasikan tasawuf ke dalam kerangka Ahlussunnah wal Jama'ah adalah Imam Abu Hamid Al-Ghazali (w. 505 H). Karyanya, "Ihya' Ulumuddin", secara brilliant menyatukan akidah, fikih, dan tasawuf menjadi satu kesatuan ajaran Islam yang utuh dan praktis. Beliau membersihkan tasawuf dari unsur-unsur bid'ah dan ekstremisme, menjadikannya sebagai ilmu untuk menyempurnakan amal ibadah dan akhlak.
Akhlak adalah manifestasi nyata dari keimanan dan ketakwaan seseorang. Tasawuf yang benar akan menghasilkan akhlak yang mulia. Dalam Keaswajaan, akhlak yang baik menjadi ciri khas seorang Muslim. Beberapa akhlak yang sangat ditekankan adalah:
Akhlak ini tidak hanya relevan dalam hubungan pribadi dengan Allah (hablum minallah) tetapi juga dalam hubungan antarmanusia (hablum minannas). Seorang Muslim yang beraqidah Ahlussunnah wal Jama'ah dan berfikih sesuai mazhab yang muktabar, diharapkan juga memiliki akhlak yang mulia sebagai cerminan kesempurnaan imannya.
Dalam tradisi tasawuf Ahlussunnah, peran seorang mursyid (guru spiritual) sangat penting untuk membimbing murid dalam perjalanan spiritual. Mursyid adalah ulama yang tidak hanya menguasai ilmu syariat, tetapi juga memiliki kedalaman spiritual dan pengalaman dalam tazkiyatun nufus. Tarekat (jalan spiritual) yang diakui dalam Ahlussunnah adalah tarekat yang mu'tabarah (resmi dan diakui), yang sanadnya bersambung kepada Nabi ﷺ dan ajaran-ajarannya tidak bertentangan dengan syariat. Tarekat-tarekat ini berfungsi sebagai sekolah spiritual yang membimbing umat untuk mencapai ihsan dan kedekatan dengan Allah melalui dzikir, riyadhah (latihan spiritual), dan bimbingan akhlak.
Dengan demikian, dimensi tasawuf dan akhlak menjadi pelengkap yang menyempurnakan pemahaman dan pengamalan Islam dalam Keaswajaan. Ia memastikan bahwa ilmu dan amal tidak kering dari makna spiritual, melainkan senantiasa membuahkan karakter yang mulia dan kedekatan dengan Sang Pencipta.
Keaswajaan tidak hanya identitas, tetapi juga sebuah manhaj (metodologi) yang sistematis dalam memahami, menafsirkan, dan mengamalkan ajaran Islam. Metodologi ini menjadi kunci mengapa Ahlussunnah wal Jama'ah mampu menjaga kemurnian Islam dan beradaptasi dengan berbagai zaman tanpa kehilangan prinsip-prinsip dasarnya.
Ini adalah sumber utama dan pertama dari segala ajaran Islam. Ahlussunnah wal Jama'ah meyakini bahwa Al-Qur'an adalah firman Allah yang mutlak kebenarannya, dan Sunnah Nabi Muhammad ﷺ adalah penjelas dan pelengkap Al-Qur'an.
Ijma' adalah salah satu dalil syar'i yang penting dalam Keaswajaan. Konsensus para ulama mujtahid dianggap sebagai bukti kebenaran suatu hukum atau pemahaman, berdasarkan sabda Nabi ﷺ bahwa umatnya tidak akan bersepakat dalam kesesatan. Ijma' menjadi penjaga dari penafsiran-penafsiran individual yang menyimpang atau terlalu ekstrem. Ia menunjukkan adanya kesinambungan tradisi keilmuan Islam yang sahih.
Keaswajaan mendorong taklid kepada mazhab yang muktabar, bukan ta'assub (fanatisme buta) terhadap satu mazhab semata, melainkan sebagai bentuk jalan beragama yang terarah dan sistematis.
Ini adalah inti dari metodologi Keaswajaan. Wasatiyyah berarti mengambil jalan tengah, tidak ekstrem ke kanan (ghuluw/berlebihan) maupun ke kiri (tafrith/meremehkan).
Moderasi juga berarti keseimbangan antara dalil naqli (teks Al-Qur'an dan Sunnah) dan dalil aqli (akal sehat), antara ibadah dan muamalah, serta antara hak Allah dan hak sesama manusia.
Metodologi Keaswajaan sangat menekankan pentingnya toleransi, terutama dalam masalah-masalah fikih furu'iyah (cabang). Perbedaan pendapat dalam masalah cabang adalah hal yang lumrah dan telah terjadi sejak zaman sahabat, dan tidak seharusnya menyebabkan perpecahan. Ukhuwah Islamiyah (persaudaraan sesama Muslim) adalah nilai yang sangat dijunjung tinggi. Keaswajaan mengajarkan untuk tidak mudah mengkafirkan (takfir) sesama Muslim hanya karena perbedaan pandangan dalam masalah yang tidak fundamental.
Selama tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip syariat, adat istiadat dan budaya lokal (urf) dapat diterima dan bahkan diintegrasikan dalam praktik Keaswajaan. Ini adalah salah satu kekuatan Islam yang moderat, yang memungkinkan penyebaran Islam ke berbagai penjuru dunia tanpa menghapus identitas budaya masyarakat setempat. Contohnya adalah tradisi-tradisi keagamaan di Nusantara yang diwarnai oleh budaya lokal.
Ahlussunnah wal Jama'ah secara umum menekankan pentingnya ketaatan kepada pemimpin (ulil amri) yang sah, selama perintah mereka tidak bertentangan dengan syariat. Pemberontakan atau kekacauan sosial dianggap membawa mafsadah (kerusakan) yang lebih besar daripada maslahah (kebaikan). Hal ini untuk menjaga stabilitas masyarakat dan negara.
Metodologi ini menjadikan Keaswajaan sebagai manhaj yang kokoh, dinamis, dan relevan di sepanjang zaman. Ia membimbing umat untuk berislam secara kaffah (menyeluruh), seimbang, dan damai.
Di tengah dinamika globalisasi, perkembangan teknologi informasi yang pesat, serta munculnya berbagai ideologi dan gerakan, Keaswajaan menawarkan relevansi yang tak terbantahkan sebagai pedoman hidup bagi umat Islam. Manhaj Keaswajaan yang moderat, inklusif, dan berakar kuat pada tradisi keilmuan salaf, sangat dibutuhkan untuk menghadapi tantangan kontemporer.
Salah satu tantangan terbesar di era modern adalah fenomena ekstremisme dan radikalisme atas nama agama. Kelompok-kelompok radikal seringkali menafsirkan teks-teks agama secara literal, mengabaikan konteks, serta menolak tradisi keilmuan yang telah mapan. Keaswajaan, dengan metodologi wasatiyyah (moderasi) dan penekanan pada tasamuh (toleransi), adalah antitesis dari pemikiran ekstrem ini.
Dengan demikian, Keaswajaan menjadi benteng moral dan intelektual yang kuat untuk membendung arus radikalisme dan mempromosikan Islam yang damai serta toleran.
Di negara-negara multikultural seperti Indonesia, Keaswajaan berperan penting dalam membangun harmoni sosial dan kebangsaan.
Prinsip-prinsip ini menjadikan Keaswajaan sebagai fondasi bagi Islam yang inklusif, yang mampu hidup berdampingan dengan berbagai komponen masyarakat, dan berperan aktif dalam menciptakan masyarakat yang adil dan makmur.
Globalisasi membawa arus informasi dan budaya yang masif, serta tantangan moral dan etika baru. Keaswajaan, dengan pendekatannya yang moderat dan keseimbangan antara tradisi dan modernitas, mampu memberikan panduan yang relevan.
Dengan demikian, Keaswajaan bukanlah ajaran yang kaku dan anti-kemajuan, melainkan justru ajaran yang adaptif dan mampu memberikan solusi Islami terhadap tantangan-tantangan modern.
Di era di mana informasi mudah diakses namun kebenarannya sering dipertanyakan, Keaswajaan menekankan pentingnya pendidikan yang terstruktur dan tradisi keilmuan yang valid (sanad).
Pendidikan yang berbasis Keaswajaan adalah investasi penting untuk melahirkan generasi Muslim yang cerdas, berakhlak mulia, dan mampu menghadapi tantangan zaman dengan bekal ilmu yang mumpuni.
Secara keseluruhan, Keaswajaan di era modern bukan hanya relevan, tetapi juga menjadi kebutuhan mendesak. Ia adalah jalan Islam yang menawarkan kedamaian, keseimbangan, toleransi, dan kemajuan, selaras dengan semangat Islam sebagai rahmatan lil 'alamin (rahmat bagi seluruh alam).
Perjalanan kita dalam memahami Keaswajaan telah mengungkap betapa kaya dan mendalamnya manhaj ini. Dari akar sejarah yang kokoh pada masa Nabi Muhammad ﷺ dan para sahabat, melalui proses sistematisasi akidah oleh Imam Al-Asy'ari dan Al-Maturidi, pembentukan mazhab-mazhab fikih yang terkemuka, hingga integrasi dimensi tasawuf dan akhlak oleh ulama-ulama seperti Imam Al-Ghazali, Keaswajaan telah terbukti menjadi jalan yang komprehensif dan utuh dalam beragama.
Keaswajaan, dengan pilar-pilar akidahnya yang lurus, landasan fikihnya yang sistematis, serta dimensi tasawuf dan akhlaknya yang menyempurnakan, menawarkan sebuah model beragama yang seimbang (wasatiyyah). Ia adalah Islam yang moderat, yang tidak terjebak pada ekstremisme tekstualis tanpa akal sehat, juga tidak hanyut dalam rasionalisme murni yang mengabaikan wahyu. Ia adalah Islam yang mampu menjaga tradisi keilmuan salaf, sambil tetap membuka ruang ijtihad untuk menjawab tantangan-tantangan baru.
Dalam konteks sosial dan kebangsaan, Keaswajaan mendorong terciptanya harmoni, toleransi (tasamuh), dan persatuan (ukhuwah). Ia mengajarkan pentingnya menghormati perbedaan, baik di antara sesama Muslim maupun dengan penganut agama lain. Prinsip ini sangat krusial di era modern yang penuh dengan dinamika dan potensi perpecahan. Keaswajaan membimbing umat untuk menjadi warga negara yang baik, yang mencintai tanah airnya dan berkontribusi positif bagi kemaslahatan bersama.
Di tengah berbagai gejolak dan perubahan di era modern, Keaswajaan tampil sebagai solusi dan penawar. Ia adalah benteng pertahanan terhadap gelombang ekstremisme, radikalisme, dan faham-faham menyimpang lainnya. Metodologinya yang mengedepankan ilmu, adab, kebijaksanaan, dan kesinambungan sanad keilmuan, memastikan bahwa umat Islam dapat menjalani agamanya dengan keyakinan yang benar, praktik yang sahih, dan akhlak yang mulia.
Memahami dan mengamalkan Keaswajaan berarti kembali kepada inti ajaran Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad ﷺ dan para sahabatnya, yang dipelihara dan disistematisasikan oleh para ulama mujtahid lintas generasi. Ini adalah jalan yang telah teruji oleh waktu, yang telah membimbing mayoritas umat Islam selama berabad-abad menuju kedamaian, kebenaran, dan kesejahteraan, baik di dunia maupun di akhirat.
Oleh karena itu, bagi setiap Muslim yang mencari kejelasan, keseimbangan, dan kedamaian dalam beragama, mempelajari dan menginternalisasi nilai-nilai Keaswajaan adalah sebuah keniscayaan. Ia adalah warisan berharga yang harus terus dijaga, dipelajari, dan diamalkan, agar cahaya Islam yang moderat dan rahmatan lil 'alamin senantiasa bersinar terang di tengah kegelapan zaman. Keaswajaan bukan hanya milik masa lalu, melainkan jalan yang abadi dan relevan untuk masa kini dan masa depan.