Pendahuluan: Mengenal Hari Asyura
Hari Asyura adalah salah satu tanggal penting dalam kalender Islam, jatuh pada tanggal 10 Muharram. Kata "Asyura" sendiri berasal dari bahasa Arab yang berarti "kesepuluh". Penetapan tanggal ini bukan sekadar angka biasa, melainkan merujuk pada serangkaian peristiwa bersejarah yang memiliki makna mendalam bagi umat Muslim di seluruh dunia. Dari kisah Nabi Musa AS yang heroik hingga tragedi Karbala yang memilukan, Asyura menjadi cermin pelajaran tentang keimanan, kesabaran, keadilan, dan pengorbanan.
Bagi sebagian besar umat Muslim, Hari Asyura identik dengan amalan puasa sunnah yang sangat dianjurkan. Puasa ini tidak hanya sekadar menahan lapar dan dahaga, melainkan juga sebuah bentuk syukur atas pertolongan Allah SWT kepada Nabi Musa dan kaumnya, serta upaya mendekatkan diri kepada-Nya. Namun, di balik anjuran puasa ini, tersimpan lapisan-lapisan sejarah dan makna yang lebih luas, yang seringkali menjadi titik diskusi dan perbedaan pandangan di antara berbagai mazhab dan komunitas Islam.
Artikel ini akan membawa kita menyelami lebih dalam tentang Hari Asyura. Kita akan menelusuri akar sejarahnya jauh sebelum kedatangan Islam, menguraikan peran Nabi Muhammad SAW dalam menetapkan sunnah puasa Asyura, memahami berbagai keutamaan dan amalan yang dianjurkan, serta tidak lupa membahas peristiwa Karbala yang menjadi titik sentral peringatan Asyura bagi komunitas Syiah. Lebih dari itu, kita akan mencari hikmah dan pelajaran berharga yang dapat kita petik dari setiap peristiwa di Hari Asyura, menjadikannya bukan hanya sebatas tanggal di kalender, tetapi momentum refleksi dan peningkatan spiritualitas.
Memahami Hari Asyura secara komprehensif adalah upaya untuk menghargai warisan keagamaan dan sejarah Islam yang kaya. Ini adalah kesempatan untuk memperdalam keimanan, meneladani kesabaran para nabi dan syuhada, serta meneguhkan komitmen kita terhadap nilai-nilai keadilan dan kebenaran yang universal.
Asal-usul dan Sejarah Asyura Pra-Islam
Sebelum Nabi Muhammad SAW diutus sebagai rasul terakhir, Hari Asyura telah memiliki tempat istimewa di kalangan beberapa umat beragama, khususnya kaum Yahudi. Sejarah awal Asyura dapat ditelusuri kembali ke ribuan tahun silam, merujuk pada peristiwa-peristiwa penting yang tercatat dalam kitab-kitab suci dan tradisi lisan.
Peristiwa Nabi Musa dan Penyelamatan Bani Israil
Kisah paling dominan yang menjadi fondasi pengagungan Hari Asyura adalah peristiwa heroik Nabi Musa AS. dan penyelamatan kaumnya, Bani Israil, dari tirani Firaun di Mesir. Firaun, yang dikenal sebagai penguasa yang zalim dan mengaku sebagai tuhan, telah memperbudak Bani Israil selama berabad-abad. Mereka dipaksa bekerja keras, ditindas, dan bahkan anak laki-laki mereka dibunuh atas perintah Firaun karena kekhawatiran akan munculnya seorang pemimpin dari Bani Israil yang akan menggulingkannya.
Allah SWT mengutus Nabi Musa dengan mukjizat-mukjizat luar biasa untuk membebaskan kaumnya dan membawa mereka keluar dari Mesir. Setelah serangkaian tantangan, tanda-tanda kebesaran Allah, dan penolakan keras dari Firaun, Allah memerintahkan Nabi Musa untuk membawa Bani Israil pergi. Firaun dan bala tentaranya mengejar mereka dengan niat untuk menghancurkan.
Ketika Bani Israil berada di tepi Laut Merah, dengan Firaun di belakang mereka dan lautan di depan, mereka merasa terjebak dan putus asa. Namun, dengan izin Allah, Nabi Musa memukulkan tongkatnya ke laut, dan laut itu terbelah menjadi dua belas jalur, memungkinkan Bani Israil untuk menyeberang dengan aman. Saat Firaun dan pasukannya mencoba mengikuti, laut kembali menyatu dan menenggelamkan mereka semua. Peristiwa luar biasa ini terjadi pada tanggal 10 Muharram. Ini adalah hari kemenangan kebenaran atas kezaliman, hari pembebasan dari perbudakan, dan hari mukjizat yang menunjukkan kekuasaan Allah yang tak terbatas.
Oleh karena itu, kaum Yahudi secara turun-temurun mengamati hari ini dengan berpuasa sebagai bentuk syukur dan peringatan atas penyelamatan leluhur mereka. Puasa ini dikenal sebagai Yom Kippur dalam tradisi Yahudi, meskipun penetapan tanggalnya dalam kalender mereka berbeda dari kalender Islam.
Asyura di Kalangan Masyarakat Arab Pra-Islam
Selain kaum Yahudi, masyarakat Arab jahiliah di Mekah dan sekitarnya juga memiliki tradisi menghormati Hari Asyura. Meskipun motifnya berbeda dari kaum Yahudi, mereka juga diketahui berpuasa pada hari tersebut. Beberapa riwayat menyebutkan bahwa puasa ini dilakukan sebagai bentuk penghormatan terhadap Ka'bah, atau sebagai amalan yang diwarisi dari ajaran nabi-nabi sebelumnya seperti Nabi Ibrahim AS. Ada juga yang mengatakan bahwa puasa Asyura pada masa jahiliah adalah upaya untuk bertaubat dari dosa-dosa atau untuk memohon hujan.
Ketika Nabi Muhammad SAW tiba di Madinah setelah hijrah, beliau mendapati kaum Yahudi di sana berpuasa pada Hari Asyura. Setelah bertanya mengapa mereka melakukan itu, mereka menjelaskan bahwa itu adalah hari di mana Allah menyelamatkan Nabi Musa dan kaumnya dari Firaun. Nabi Muhammad SAW kemudian bersabda, "Kami lebih berhak atas Musa daripada kalian." Ini menunjukkan bahwa ajaran tauhid yang dibawa Nabi Muhammad adalah kelanjutan dan penyempurnaan dari ajaran para nabi sebelumnya.
Pemahaman akan latar belakang pra-Islam ini penting untuk menyadari bahwa Hari Asyura bukanlah sesuatu yang baru dalam sejarah keberagamaan. Islam datang untuk menguatkan nilai-nilai kebenaran, mengoreksi penyimpangan, dan menyempurnakan tradisi yang baik, termasuk dalam penghormatan terhadap hari-hari istimewa.
Asyura dalam Islam: Sunnah Puasa dan Keutamaannya
Dengan kedatangan Islam, Hari Asyura mendapatkan makna dan pedoman baru yang lebih jelas. Nabi Muhammad SAW, sebagai pembawa risalah terakhir, tidak menghapus tradisi penghormatan terhadap hari ini, melainkan menyempurnakan dan menetapkan amalan khusus yang sejalan dengan ajaran tauhid.
Penetapan Puasa Asyura oleh Nabi Muhammad SAW
Sebagaimana telah disebutkan, ketika Nabi Muhammad SAW tiba di Madinah, beliau mendapati kaum Yahudi berpuasa pada tanggal 10 Muharram. Setelah mengetahui alasan mereka (syukur atas penyelamatan Nabi Musa dari Firaun), beliau bersabda:
"Kami lebih berhak terhadap Musa daripada kalian."
Maka, beliau memerintahkan para sahabat untuk berpuasa pada hari tersebut. Pada awalnya, puasa Asyura adalah puasa wajib bagi umat Islam, sebelum kemudian diwajibkan puasa Ramadan. Setelah puasa Ramadan diwajibkan, status puasa Asyura berubah menjadi sunnah muakkadah (sunnah yang sangat dianjurkan).
Aisyah RA meriwayatkan: "Dahulu orang-orang Quraisy berpuasa Asyura pada masa Jahiliyah. Nabi SAW juga berpuasa pada hari itu. Ketika beliau tiba di Madinah, beliau berpuasa pada hari itu dan memerintahkan para sahabatnya untuk berpuasa. Setelah diwajibkan puasa Ramadan, beliau bersabda, 'Barang siapa yang ingin berpuasa (Asyura) maka berpuasalah, dan barang siapa yang tidak ingin berpuasa maka janganlah berpuasa.'" (HR. Bukhari dan Muslim).
Penambahan Puasa Tasu'a (9 Muharram)
Menjelang akhir hayat Nabi Muhammad SAW, beliau menyadari bahwa umat Islam harus memiliki identitas yang berbeda dari kaum Yahudi. Untuk membedakan praktik puasa Asyura umat Islam dari kaum Yahudi, beliau berniat untuk menambahkan puasa pada tanggal 9 Muharram, yang dikenal sebagai Puasa Tasu'a. Namun, beliau wafat sebelum sempat melaksanakannya.
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas RA, Rasulullah SAW bersabda:
"Jika (usia)ku sampai tahun depan, sungguh aku akan berpuasa pada hari kesembilan (Muharram)."
Ucapan ini dipahami oleh para ulama sebagai anjuran untuk berpuasa pada tanggal 9 Muharram (Tasu'a) dan 10 Muharram (Asyura), atau setidaknya berpuasa pada tanggal 10 Muharram dan 11 Muharram. Puasa Tasu'a menjadi pelengkap dan penyempurna puasa Asyura, sekaligus sebagai upaya untuk membedakan diri dari kebiasaan kaum Yahudi.
Keutamaan Puasa Asyura
Puasa Asyura memiliki keutamaan yang sangat besar di sisi Allah SWT. Salah satu keutamaan yang paling masyhur adalah kemampuannya menghapus dosa-dosa kecil yang telah lalu.
Diriwayatkan dari Abu Qatadah RA, Rasulullah SAW bersabda:
"Puasa Hari Arafah (tanggal 9 Dzulhijjah) dapat menghapus dosa-dosa setahun yang lalu dan setahun yang akan datang. Puasa Hari Asyura (tanggal 10 Muharram) dapat menghapus dosa-dosa setahun yang lalu." (HR. Muslim).
Penghapusan dosa yang dimaksud oleh hadis ini umumnya dipahami sebagai dosa-dosa kecil. Adapun dosa-dosa besar memerlukan taubat nashuha (taubat yang sungguh-sungguh) dan pengembalian hak-hak orang lain jika terkait dengan hak Adam.
Selain penghapusan dosa, puasa Asyura juga merupakan bentuk syukur kepada Allah atas nikmat keselamatan dan kebebasan yang diberikan kepada Nabi Musa dan Bani Israil. Ini adalah pengingat akan kekuasaan Allah yang tak terbatas dan janji-Nya untuk menolong hamba-hamba-Nya yang beriman.
Melaksanakan puasa sunnah ini juga menunjukkan kecintaan seorang Muslim terhadap sunnah Nabi Muhammad SAW dan keinginan untuk meneladani beliau. Setiap amalan yang dilakukan sesuai dengan petunjuk Rasulullah SAW akan mendatangkan pahala dan keberkahan yang besar.
Kesimpulannya, puasa Asyura dan Tasu'a adalah amalan sunnah yang sangat dianjurkan dengan keutamaan luar biasa. Ini adalah kesempatan emas bagi umat Islam untuk meraih ampunan dosa, meningkatkan ketakwaan, dan mempererat hubungan spiritual dengan Sang Pencipta, sambil merenungkan sejarah panjang para nabi dan umat terdahulu.
Peristiwa Karbala: Tragedi di Hari Asyura
Selain keutamaan puasa yang disebutkan di atas, Hari Asyura juga lekat dengan sebuah peristiwa yang sangat menyedihkan dan memiliki dampak mendalam, khususnya bagi umat Muslim Syiah: Tragedi Karbala. Peristiwa ini terjadi pada tahun 61 Hijriah (680 Masehi) di padang Karbala, yang kini terletak di Irak, dan melibatkan cucu Nabi Muhammad SAW, Imam Hussein bin Ali, serta para pengikutnya.
Latar Belakang Politik dan Sosial
Untuk memahami tragedi Karbala, penting untuk melihat konteks politik yang melatarinya. Setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW, kepemimpinan umat Islam dilanjutkan oleh para Khulafaur Rasyidin (Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali). Setelah Ali bin Abi Thalib, Muawiyah bin Abu Sufyan, Gubernur Syam (Suriah), mengambil alih kekhalifahan dan mendirikan Dinasti Umayyah. Ini menandai pergeseran dari sistem kekhalifahan yang berdasarkan musyawarah ke sistem monarki atau kekuasaan turun-temurun.
Muawiyah memiliki perjanjian dengan Imam Hasan bin Ali (kakak Imam Hussein) bahwa kepemimpinan akan kembali kepada keluarga Nabi setelah wafatnya Muawiyah. Namun, Muawiyah melanggar perjanjian ini dan mengangkat putranya, Yazid, sebagai penerus kekhalifahannya. Penunjukan Yazid ini menimbulkan banyak kontroversi dan penentangan, karena Yazid dikenal sebagai pribadi yang tidak memiliki integritas moral dan spiritual yang diharapkan dari seorang pemimpin Muslim.
Imam Hussein, sebagai cucu Nabi dan salah satu tokoh paling dihormati pada masanya, menolak untuk berbai'at (menyatakan sumpah setia) kepada Yazid. Baginya, bai'at kepada seorang penguasa yang zalim dan tidak berakhlak akan melegitimasi kekuasaan yang menyimpang dari ajaran Islam yang sebenarnya. Penolakan ini adalah sikap prinsipil untuk menegakkan keadilan dan mempertahankan nilai-nilai Islam yang murni.
Perjalanan Menuju Karbala
Imam Hussein, yang saat itu berada di Madinah, menerima banyak surat dari penduduk Kufah (sebuah kota di Irak) yang menyatakan dukungan dan mengundangnya untuk datang ke Kufah dan menjadi pemimpin mereka. Mereka menjanjikan kesetiaan dan perlindungan. Setelah mempertimbangkan, Imam Hussein memutuskan untuk berangkat menuju Kufah, meskipun banyak sahabat dan keluarganya yang menasihatinya untuk tidak pergi karena khawatir akan pengkhianatan.
Dalam perjalanannya, rombongan Imam Hussein, yang terdiri dari anggota keluarganya (termasuk wanita dan anak-anak), serta sejumlah kecil pengikut setia, dihadang oleh pasukan Yazid. Pasukan Yazid dipimpin oleh Ibnu Ziyad, gubernur Kufah, yang telah berhasil menumpas pemberontakan di Kufah dan menguasai kota tersebut. Pasukan Yazid memerintahkan Imam Hussein untuk berbai'at kepada Yazid, tetapi Imam Hussein tetap teguh pada pendiriannya.
Rombongan Imam Hussein dipaksa untuk berhenti di sebuah tempat bernama Karbala pada tanggal 2 Muharram. Di sana, mereka dikepung dan dicegah dari mendapatkan air dari Sungai Eufrat, meskipun sungai itu sangat dekat. Selama beberapa hari, mereka menderita kehausan yang parah di padang pasir yang tandus.
Puncak Tragedi: Hari Asyura (10 Muharram)
Pada tanggal 10 Muharram, situasi mencapai puncaknya. Imam Hussein dan para pengikut setianya, yang jumlahnya sangat sedikit (sekitar 72 orang, termasuk keluarga dan sahabat), harus menghadapi ribuan pasukan Yazid. Meskipun dalam kondisi lapar, haus, dan jumlah yang jauh lebih sedikit, Imam Hussein dan para pengikutnya memilih untuk berjuang demi kebenaran dan keadilan daripada tunduk pada kezaliman.
Satu per satu para sahabat dan keluarga Imam Hussein gugur sebagai syuhada di medan Karbala. Mereka bertempur dengan gagah berani, menunjukkan keberanian dan pengorbanan yang luar biasa. Di antara mereka yang gugur adalah Abbas bin Ali (saudara tiri Imam Hussein), Ali Akbar (putra sulung Imam Hussein), dan bahkan Ali Asghar (bayi Imam Hussein yang berusia enam bulan) yang tewas karena panah ketika ia dibawa oleh ayahnya untuk meminta air.
Akhirnya, Imam Hussein sendiri maju ke medan perang. Setelah bertempur dengan gigih, beliau pun syahid. Beliau dibunuh secara kejam, dan kepalanya dipenggal, kemudian dibawa ke Kufah dan Damaskus sebagai piala kemenangan. Dengan syahidnya Imam Hussein, Tragedi Karbala mencapai puncaknya. Semua laki-laki dari keluarga Nabi dan para sahabat setianya terbunuh, kecuali Imam Ali Zainal Abidin (putra Imam Hussein) yang saat itu sakit parah.
Dampak dan Peringatan
Peristiwa Karbala memiliki dampak yang sangat besar dalam sejarah Islam, terutama dalam pembentukan identitas Syiah. Bagi Syiah, Karbala bukan hanya sekadar peristiwa sejarah, tetapi sebuah paradigma perjuangan melawan kezaliman, simbol pengorbanan tertinggi demi kebenaran, dan sumber inspirasi untuk selalu membela keadilan. Hari Asyura bagi Syiah diperingati dengan ratapan, prosesi duka cita, pembacaan syair-syair elegi (marsiyah), dan kegiatan mengenang pengorbanan Imam Hussein dan para syuhada Karbala.
Bagi sebagian besar Muslim Sunni, peristiwa Karbala juga merupakan tragedi yang sangat disesalkan dan sumber kesedihan. Imam Hussein dihormati sebagai cucu Nabi, seorang imam yang agung, dan seorang syahid. Namun, cara peringatannya bisa berbeda. Muslim Sunni umumnya tidak merayakan Asyura dengan prosesi duka seperti Syiah, melainkan lebih fokus pada puasa sunnah dan amalan kebaikan lain sebagai bentuk syukur atas penyelamatan Nabi Musa dan sebagai penghormatan terhadap hari tersebut.
Tragedi Karbala adalah pengingat abadi bahwa keadilan dan kebenaran seringkali harus dibayar dengan harga yang mahal. Ia mengajarkan tentang keberanian untuk berdiri melawan tirani, pentingnya memilih jalan yang benar meskipun sulit, dan kesediaan untuk berkorban demi prinsip-prinsip luhur agama.
Amalan-amalan Lain di Hari Asyura (Selain Puasa)
Meskipun puasa Tasu'a dan Asyura adalah amalan utama yang dianjurkan, Hari Asyura juga menjadi momentum untuk meningkatkan berbagai amalan kebaikan lainnya. Islam adalah agama yang menyeluruh, mendorong umatnya untuk senantiasa berbuat kebajikan dalam setiap kesempatan, termasuk pada hari-hari istimewa.
1. Memperbanyak Sedekah
Bersedekah adalah salah satu amalan yang sangat dianjurkan kapan saja, dan lebih ditekankan pada hari-hari yang mulia. Ada beberapa riwayat, meskipun sebagian ulama menganggapnya lemah, yang menyebutkan keutamaan bersedekah di Hari Asyura. Terlepas dari tingkat sahihnya riwayat tersebut, semangat untuk berbagi dengan sesama, terutama mereka yang membutuhkan, adalah ajaran inti dalam Islam.
Sedekah dapat berupa memberikan makanan kepada fakir miskin, membantu anak yatim, atau memberikan sumbangan kepada lembaga sosial. Dengan bersedekah di Hari Asyura, kita tidak hanya meneladani kedermawanan Nabi, tetapi juga menyebarkan kebahagiaan dan meringankan beban sesama, serta berharap pahala yang berlipat ganda dari Allah SWT.
2. Menyantuni Anak Yatim
Salah satu tradisi yang dianjurkan oleh sebagian ulama adalah menyantuni anak yatim pada Hari Asyura. Meskipun tidak ada hadis shahih yang secara spesifik mengaitkan keutamaan menyantuni anak yatim dengan Hari Asyura, namun secara umum, menyantuni anak yatim adalah amalan yang sangat dicintai Allah dan Rasul-Nya. Nabi Muhammad SAW bersabda:
"Aku dan orang yang menanggung anak yatim (kedudukannya) di surga seperti ini," kemudian beliau mengisyaratkan dengan jari telunjuk dan jari tengah dan merenggangkan keduanya." (HR. Bukhari).
Momen Asyura, dengan nuansa historisnya yang penuh perjuangan dan pengorbanan, bisa menjadi pengingat untuk peduli terhadap mereka yang lemah dan kehilangan, seperti anak-anak yatim.
3. Memperbanyak Dzikir dan Doa
Setiap hari adalah waktu yang baik untuk berdzikir dan berdoa, tetapi pada hari-hari istimewa seperti Asyura, memperbanyak amalan ini dapat memberikan dampak spiritual yang lebih besar. Dzikir adalah mengingat Allah SWT dengan lisan, hati, dan pikiran, seperti membaca tasbih (Subhanallah), tahmid (Alhamdulillah), tahlil (La ilaha illallah), dan takbir (Allahu Akbar).
Doa adalah inti ibadah. Mengangkat tangan memohon kepada Allah di Hari Asyura, baik untuk diri sendiri, keluarga, maupun seluruh umat Muslim, adalah amalan yang sangat dianjurkan. Mohonlah ampunan, rahmat, hidayah, dan keberkahan. Renungkan peristiwa-peristiwa bersejarah di hari ini dan jadikan ia sebagai motivasi untuk memperbaiki diri.
4. Membaca Al-Qur'an
Membaca Al-Qur'an adalah salah satu ibadah terbaik yang mendatangkan pahala berlipat ganda. Pada Hari Asyura, luangkan waktu lebih banyak untuk membaca, mentadabburi (merenungkan maknanya), dan mempelajari isi Al-Qur'an. Dengan memahami petunjuk-petunjuk Allah, keimanan kita akan semakin kuat dan kita akan lebih mampu mengaplikasikan nilai-nilai Islam dalam kehidupan sehari-hari.
5. Menjaga Silaturahmi
Menyambung tali silaturahmi adalah perintah agama yang sangat ditekankan. Mengunjungi kerabat, menyapa tetangga, atau menghubungi teman dan keluarga, semua itu adalah bentuk silaturahmi yang dapat mempererat ukhuwah Islamiyah. Hari Asyura dapat menjadi momentum yang baik untuk menjaga hubungan baik antar sesama Muslim, memperkuat persatuan dan kesatuan umat.
Penting untuk diingat bahwa amalan-amalan ini bersifat umum dan dianjurkan dalam Islam setiap saat. Namun, menjadikannya prioritas pada hari-hari istimewa seperti Asyura dapat meningkatkan nilai dan keberkahannya. Yang terpenting adalah melakukan amalan tersebut dengan ikhlas semata-mata karena Allah SWT, bukan karena tuntutan sosial atau tradisi semata.
Bid'ah dan Kesalahpahaman Seputar Hari Asyura
Meskipun Hari Asyura memiliki keutamaan dan sejarah yang mulia, tidak jarang muncul praktik-praktik atau keyakinan yang tidak memiliki dasar dalam syariat Islam, atau yang dikenal sebagai bid'ah. Penting bagi umat Muslim untuk memahami mana yang termasuk sunnah dan mana yang merupakan bid'ah, agar ibadah yang dilakukan tidak menyimpang dari ajaran yang benar.
1. Amalan yang Tidak Berdasar Dalil Kuat
Beberapa tradisi yang tidak memiliki dasar kuat dalam hadis shahih atau praktik para sahabat meliputi:
- Memandikan anak-anak atau diri sendiri dengan keyakinan tertentu: Ada kepercayaan bahwa mandi di Hari Asyura dapat membawa keberkahan atau mencegah penyakit. Namun, tidak ada dalil shahih yang mendukung hal ini.
- Memakai celak mata: Sebagian orang percaya memakai celak pada Hari Asyura dapat mengobati mata atau mendatangkan kebaikan. Ini juga tidak memiliki dasar yang kuat dalam sunnah.
- Memasak makanan khusus secara berlebihan: Meskipun berbagi makanan adalah kebaikan, mengkhususkan jenis makanan tertentu atau memasak secara berlebihan dengan keyakinan bahwa itu adalah amalan spesifik Asyura tanpa dalil yang kuat dapat jatuh ke dalam bid'ah.
- Perayaan atau tradisi lokal yang tidak sesuai syariat: Di beberapa daerah, mungkin ada perayaan atau ritual lokal yang dikaitkan dengan Asyura, tetapi tidak sesuai dengan prinsip-prinsip Islam.
2. Ekstremitas dalam Peringatan Karbala
Sebagaimana telah dibahas, tragedi Karbala adalah peristiwa yang sangat memilukan. Namun, dalam memperingatinya, terdapat perbedaan pandangan dan praktik. Bagi sebagian kelompok Syiah, peringatan Asyura dilakukan dengan cara-cara yang dianggap berlebihan oleh sebagian besar Muslim Sunni dan bahkan oleh sebagian ulama Syiah sendiri. Praktik-praktik tersebut meliputi:
- Memukul-mukul diri (tatbir/matam): Praktik melukai diri sendiri dengan pedang, rantai, atau benda tajam lainnya sebagai ekspresi duka cita. Ini dianggap bid'ah oleh banyak ulama karena bertentangan dengan ajaran Islam yang melarang menyakiti diri sendiri.
- Menampar wajah, mencabik pakaian: Meskipun kesedihan itu wajar, Islam mengajarkan kesabaran dan tidak berlebihan dalam menunjukkan kesedihan, terutama dengan melukai diri atau merusak harta benda.
- Sikap berlebihan dalam mencela sahabat: Beberapa kelompok memperingati Asyura dengan melaknat atau mencela para sahabat Nabi yang dianggap terlibat dalam konflik yang berakhir pada tragedi Karbala. Sikap ini bertentangan dengan ajaran Ahlus Sunnah wal Jama'ah yang menghormati seluruh sahabat Nabi.
Penting untuk dicatat bahwa tidak semua Muslim Syiah mendukung atau melakukan praktik-praktik ekstrem ini. Banyak ulama Syiah juga mengecam praktik yang melukai diri sendiri dan menganggapnya tidak sesuai dengan esensi ajaran Islam yang rasional dan menenangkan hati.
3. Kesalahpahaman Tentang Puasa
Ada juga kesalahpahaman bahwa puasa Asyura adalah puasa wajib, padahal statusnya adalah sunnah muakkadah. Atau sebaliknya, menganggap remeh puasa Asyura dan tidak melihat keutamaannya sama sekali. Keseimbangan dalam memahami status hukum dan keutamaan amalan adalah kunci.
Prinsip Menghindari Bid'ah
Secara umum, dalam Islam, setiap amalan ibadah harus memiliki dasar dari Al-Qur'an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW. Jika suatu amalan dilakukan dengan keyakinan sebagai ibadah atau mendekatkan diri kepada Allah, tetapi tidak ada dalilnya, maka ia bisa tergolong bid'ah. Nabi Muhammad SAW bersabda:
"Barang siapa mengerjakan suatu amalan yang tidak ada perintah dari kami, maka amalan itu tertolak." (HR. Muslim).
Oleh karena itu, umat Muslim dianjurkan untuk mengikuti apa yang diajarkan oleh Nabi dan para sahabatnya, serta menjauhi praktik-praktik baru yang tidak memiliki dasar syar'i. Tujuan utama ibadah adalah meraih ridha Allah, dan hal itu hanya bisa dicapai dengan mengikuti jalan yang telah ditunjukkan-Nya.
Hikmah dan Pelajaran Berharga dari Hari Asyura
Di balik setiap peristiwa sejarah yang termaktub dalam Islam, terkandung hikmah dan pelajaran yang tak lekang oleh waktu. Hari Asyura, dengan segala lapisannya, menawarkan banyak sekali pelajaran berharga yang relevan bagi kehidupan kita di setiap zaman.
1. Pentingnya Bersyukur kepada Allah
Kisah Nabi Musa dan penyelamatan Bani Israil adalah pengingat kuat akan kekuasaan Allah yang tak terbatas dan rahmat-Nya yang tak terhingga. Meskipun Firaun memiliki kekuatan militer yang besar dan kekuasaan yang absolut, ia tidak berdaya di hadapan kehendak Allah. Pembebasan Bani Israil dari perbudakan adalah nikmat yang sangat besar, dan puasa Asyura adalah wujud syukur atas nikmat tersebut.
Pelajaran bagi kita adalah untuk senantiasa bersyukur dalam segala keadaan, baik suka maupun duka. Syukur bukan hanya diucapkan dengan lisan, tetapi juga ditunjukkan melalui ketaatan kepada Allah dan penggunaan nikmat-Nya untuk kebaikan.
2. Keberanian Menegakkan Kebenaran dan Keadilan
Sikap Nabi Musa yang berani menghadapi Firaun dan keberanian Imam Hussein yang memilih untuk syahid demi prinsip-prinsip keadilan adalah teladan luar biasa. Mereka mengajarkan bahwa membela kebenaran dan melawan kezaliman adalah kewajiban, bahkan jika harus menghadapi bahaya dan pengorbanan besar. Seorang Muslim harus memiliki keberanian moral untuk bersuara melawan ketidakadilan dan tidak tunduk pada penindasan, sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW:
"Jihad yang paling utama adalah mengucapkan kata-kata yang adil di hadapan penguasa yang zalim." (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi).
Ini bukan berarti harus selalu dengan kekerasan fisik, tetapi bisa juga melalui perkataan, pena, tindakan sosial, atau apapun yang mampu dilakukan sesuai kapasitas dan kondisi.
3. Kesabaran dan Ketabahan dalam Cobaan
Nabi Musa dan Bani Israil menghadapi penindasan bertahun-tahun sebelum akhirnya dibebaskan. Imam Hussein dan para pengikutnya mengalami penderitaan dahsyat di Karbala, termasuk kehausan dan pengepungan, sebelum akhirnya gugur sebagai syuhada. Semua ini adalah contoh nyata dari kesabaran dan ketabahan dalam menghadapi cobaan dan ujian hidup.
Hidup ini penuh dengan ujian, dan seorang mukmin diuji untuk menguatkan imannya. Kisah-kisah di Hari Asyura mengingatkan kita bahwa kesabaran adalah kunci kemenangan, baik di dunia maupun di akhirat. Allah berjanji akan menyertai orang-orang yang sabar.
4. Pentingnya Persatuan Umat Islam
Tragedi Karbala, meskipun menyedihkan, juga menjadi pengingat tentang bahaya perpecahan dan konflik internal dalam umat. Perpecahan politik dan perebutan kekuasaan adalah salah satu akar tragedi tersebut. Islam sangat menekankan persatuan dan melarang perpecahan. Allah SWT berfirman:
"Dan berpegang teguhlah kamu sekalian kepada tali (agama) Allah seluruhnya, dan janganlah kamu bercerai-berai." (QS. Ali Imran: 103).
Pelajaran dari Asyura adalah untuk senantiasa mengutamakan ukhuwah (persaudaraan Islam), menghormati perbedaan pendapat yang masih dalam koridor syariat, dan menghindari fitnah yang dapat memecah belah umat.
5. Kehidupan Adalah Ujian dan Setiap Jiwa Akan Kembali kepada Allah
Baik Nabi Musa yang diselamatkan maupun Imam Hussein yang syahid, keduanya kembali kepada Allah setelah menunaikan amanah mereka. Kisah-kisah ini menegaskan bahwa kehidupan dunia hanyalah persinggahan, dan tujuan akhir setiap jiwa adalah kembali kepada Sang Pencipta. Setiap tindakan, pilihan, dan pengorbanan kita akan dipertanggungjawabkan.
Hari Asyura mengajak kita untuk merenungkan makna kehidupan, mempersiapkan diri untuk akhirat, dan menjadikan setiap detik hidup sebagai ladang amal kebaikan.
6. Kekuatan Doa dan Pertolongan Allah
Doa Nabi Musa kepada Allah adalah kunci pertolongan-Nya. Meskipun di ambang keputusasaan, keyakinan Nabi Musa kepada Allah tidak pernah goyah, dan Allah pun memberikan mukjizat terbesar. Ini mengajarkan kita untuk tidak pernah putus asa dari rahmat Allah dan senantiasa memanjatkan doa, karena hanya Dia yang memiliki kekuasaan untuk mengubah segala sesuatu.
Pelajaran dari Hari Asyura sangatlah multidimensional, meliputi aspek spiritual, moral, etika, dan sosial. Dengan merenungkan peristiwa-peristiwa ini secara mendalam, kita dapat memperkuat keimanan, mengasah karakter, dan menjadi pribadi Muslim yang lebih baik, yang senantiasa berjuang di jalan Allah dan berpegang teguh pada nilai-nilai kebenaran.
Asyura di Berbagai Belahan Dunia: Tradisi dan Peringatan
Hari Asyura, dengan kekayaan sejarah dan maknanya, diperingati oleh umat Muslim di berbagai belahan dunia dengan cara yang beragam, merefleksikan tradisi lokal dan mazhab yang dianut. Meskipun puasa adalah amalan universal, ekspresi peringatan lainnya dapat sangat bervariasi.
1. Dunia Sunni: Fokus pada Puasa dan Syukur
Di negara-negara mayoritas Sunni seperti Indonesia, Malaysia, Mesir, Arab Saudi, dan sebagian besar Afrika Utara, peringatan Asyura didominasi oleh amalan puasa sunnah Tasu'a (9 Muharram) dan Asyura (10 Muharram). Umat Muslim diingatkan tentang keutamaan puasa ini sebagai penghapus dosa setahun yang lalu dan sebagai bentuk syukur atas penyelamatan Nabi Musa AS.
- Puasa dan Ibadah: Banyak masjid mengadakan kajian khusus tentang keutamaan Asyura, dan umat Muslim didorong untuk memperbanyak ibadah seperti shalat sunnah, dzikir, dan membaca Al-Qur'an.
- Sedekah dan Kebaikan: Amalan sedekah dan menyantuni fakir miskin serta anak yatim juga menjadi fokus utama, selaras dengan semangat berbagi di hari yang mulia.
- Bubur Asyura: Di beberapa wilayah, terutama di Asia Tenggara (termasuk Indonesia dan Malaysia), terdapat tradisi memasak "Bubur Asyura". Bubur ini dibuat secara gotong royong, kemudian dibagikan kepada tetangga, fakir miskin, dan kerabat sebagai bentuk syukur dan sedekah. Tradisi ini merupakan adaptasi budaya lokal yang positif, selama tidak diyakini sebagai ibadah wajib atau dengan ritual tertentu yang tidak diajarkan Islam.
Secara umum, peringatan Asyura di kalangan Sunni bersifat reflektif, penuh syukur, dan berorientasi pada peningkatan spiritualitas individu dan solidaritas sosial, tanpa ada manifestasi duka cita yang berlebihan.
2. Dunia Syiah: Fokus pada Duka Cita Karbala
Bagi komunitas Muslim Syiah di negara-negara seperti Iran, Irak, Lebanon, Pakistan, India, dan Azerbaijan, Hari Asyura adalah hari berkabung terbesar dalam setahun. Peringatan ini didedikasikan untuk mengenang kesyahidan Imam Hussein AS dan para pengikutnya di Karbala.
- Majelis Duka (Majalis): Selama sepuluh hari pertama Muharram, dan puncaknya pada 10 Muharram, Syiah mengadakan majelis duka (majalis) di husainiyah (tempat ibadah khusus Syiah) atau rumah-rumah. Di majelis ini, para penceramah (zakir) menceritakan kembali kisah Karbala, menyoroti pengorbanan Imam Hussein dan keluarganya, serta menyampaikan pelajaran moral dari peristiwa tersebut.
- Prosesi Berduka (Matam/Azadari): Komunitas Syiah sering mengadakan prosesi duka di jalan-jalan, di mana mereka berbaris sambil memukul dada (matam), menangis, dan melantunkan syair-syair duka (marsiyah) yang mengisahkan tragedi Karbala. Di beberapa tempat, prosesi ini bisa sangat intens dan emotif.
- Melukai Diri (Tatbir): Meskipun kontroversial dan ditolak oleh banyak ulama Syiah modern, di beberapa komunitas kecil masih ada praktik tatbir atau melukai diri sendiri dengan pedang atau rantai sebagai ekspresi duka yang ekstrem.
- Nazar dan Makanan: Memberikan makanan (nazri/tabarruk) kepada jamaah yang hadir di majelis duka atau kepada fakir miskin juga merupakan bagian penting dari peringatan ini, sebagai bentuk sedekah dan nazar yang dikaitkan dengan Imam Hussein.
- Simbolisme: Bendera hitam, spanduk bertuliskan nama-nama syuhada Karbala, dan replika makam Imam Hussein seringkali menjadi bagian dari dekorasi dan prosesi.
Peringatan Asyura bagi Syiah adalah manifestasi kuat dari identitas keagamaan mereka, yang menekankan pentingnya berkorban demi kebenaran, menolak kezaliman, dan mencintai keluarga Nabi (Ahlul Bait).
3. Nuansa Lain di Beberapa Negara
- Nigeria: Komunitas Syiah di Nigeria juga mengadakan prosesi Asyura yang besar dan seringkali menghadapi tantangan dari pemerintah atau kelompok lain.
- Turki: Di Turki, Alevi (sebuah cabang Syiah) juga memiliki tradisi berduka yang kuat pada Asyura, seringkali dengan berpuasa selama 12 hari pertama Muharram sebagai bentuk duka atas 12 Imam mereka.
- Karibia dan Amerika Latin: Di Trinidad, Tobago, dan beberapa negara Karibia, ada tradisi Muharram yang unik yang dikenal sebagai "Hosay" (dari Hussein). Ini adalah perayaan multikultural yang melibatkan prosesi dengan replika mausoleum dan diiringi musik, yang awalnya dibawa oleh imigran India.
Keragaman dalam peringatan Asyura menunjukkan betapa kaya dan beragamnya budaya Islam, namun pada intinya, hari ini tetap menjadi pengingat akan peristiwa-peristiwa penting yang membentuk sejarah dan spiritualitas umat Muslim, baik melalui syukur, refleksi, maupun duka cita.
Kesimpulan: Asyura, Cermin Kehidupan dan Keimanan
Hari Asyura, tanggal 10 Muharram, adalah sebuah tanggal dalam kalender Islam yang sarat makna, sejarah, dan pelajaran. Dari asal-usulnya yang merujuk pada penyelamatan Nabi Musa AS dari kekejaman Firaun, hingga penetapannya sebagai hari puasa sunnah yang penuh keutamaan oleh Nabi Muhammad SAW, Asyura mengajarkan kita tentang syukur, pertolongan Ilahi, dan penegakan kebenaran.
Namun, kompleksitas makna Asyura semakin diperkaya—dan diperberat—dengan tragedi Karbala, sebuah peristiwa pilu yang merenggut nyawa cucu Nabi, Imam Hussein AS, bersama para pengikut setianya. Tragedi ini menjadi simbol pengorbanan tertinggi demi keadilan dan perlawanan terhadap kezaliman, yang memiliki dampak mendalam, khususnya bagi umat Muslim Syiah di seluruh dunia.
Terlepas dari perbedaan penekanan dan cara peringatan antara mazhab Sunni dan Syiah, esensi Asyura tetaplah sama: sebuah cermin untuk merenungkan kehidupan, keimanan, dan nilai-nilai luhur Islam. Ia mengingatkan kita akan:
- Kekuasaan dan Rahmat Allah SWT: Bahwa pertolongan-Nya selalu nyata bagi hamba-Nya yang beriman dan bersabar.
- Pentingnya Keadilan dan Kebenaran: Bahwa umat Muslim harus berani membela prinsip-prinsip ini, bahkan di tengah tekanan dan ancaman.
- Nilai Pengorbanan dan Kesabaran: Bahwa jalan kebenaran seringkali menuntut pengorbanan dan kesabaran yang luar biasa.
- Bahaya Kezaliman dan Perpecahan: Bahwa kekuasaan tanpa moralitas dan perpecahan internal dapat berujung pada malapetaka.
Bagi setiap Muslim, Hari Asyura adalah kesempatan emas untuk meningkatkan kualitas spiritual. Dengan berpuasa, memperbanyak ibadah, bersedekah, dan merenungkan hikmah dari peristiwa-peristiwa bersejarah, kita dapat memperbaharui komitmen kita kepada Allah SWT dan meneladani para nabi serta syuhada.
Marilah kita menjadikan Hari Asyura bukan hanya sebagai pengingat akan masa lalu, tetapi sebagai inspirasi untuk masa depan. Inspirasi untuk menjadi pribadi yang lebih bersyukur, lebih berani menegakkan keadilan, lebih sabar dalam menghadapi cobaan, dan lebih peduli terhadap sesama. Dengan demikian, makna Hari Asyura akan senantiasa hidup dalam hati dan tindakan kita, membawa berkah dan kebaikan bagi diri sendiri, keluarga, dan seluruh umat manusia.
Semoga Allah SWT senantiasa membimbing kita di jalan yang lurus dan menerima segala amal kebaikan kita.