Dalam dunia iman Kristen, istilah "ham" mungkin tidak secara eksplisit muncul dalam perdebatan teologis besar atau doktrin sentral. Namun, nilai-nilai dan prinsip-prinsip Kristen memberikan kerangka kerja yang kaya untuk memahami dan menempatkan isu-isu yang berkaitan dengan konsumsi daging babi, atau yang secara umum dapat dihubungkan dengan konsep "ham" dalam konteks nutrisi dan gaya hidup.
Pandangan Kristen terhadap daging babi sering kali berakar pada hukum-hukum yang diberikan kepada bangsa Israel dalam Perjanjian Lama. Kitab Imamat 11:7-8 dan Ulangan 14:8 secara jelas melarang konsumsi daging babi dengan alasan hewan tersebut dianggap najis. Larangan ini merupakan bagian dari seperangkat hukum kesucian yang membedakan umat Israel dari bangsa-bangsa lain pada masanya, serta memiliki tujuan kesehatan publik yang mungkin belum sepenuhnya dipahami pada saat itu.
Namun, ketika kita beralih ke Perjanjian Baru, pemahaman mengenai hukum-hukum ritual dan diet mengalami pergeseran. Yesus sering kali mengkritik farisiisme yang terlalu menekankan aspek lahiriah dari hukum, dan lebih mengutamakan hati yang murni dan kasih. Dalam Matius 15:10-11, Yesus menyatakan, "Bukan yang masuk ke mulut yang menajiskan orang, melainkan yang keluar dari mulut, itulah yang menajiskan orang." Ajaran ini menunjukkan pergeseran fokus dari peraturan diet eksternal ke kemurnian spiritual internal.
Peristiwa penting lainnya adalah penglihatan Rasul Petrus dalam Kisah Para Rasul 10:10-16. Dalam penglihatan tersebut, Petrus melihat berbagai macam hewan yang sebelumnya dianggap najis, termasuk hewan berkuku belah seperti babi, diperintahkan untuk disembelih dan dimakan. Malaikat berkata, "Apa yang telah disucikan Allah, jangan engkau sebut najis." Penglihatan ini ditafsirkan sebagai penegasan bahwa anugerah Kristus telah membatalkan batasan-batasan diet dan ritual Perjanjian Lama, yang menjadi jalan bagi Injil untuk menjangkau bangsa-bangsa non-Yahudi tanpa membebani mereka dengan hukum-hukum tersebut.
Dalam konteks Kekristenan modern, mayoritas denominasi tidak lagi memberlakukan larangan ketat terhadap konsumsi daging babi berdasarkan hukum-hukum Perjanjian Lama. Penekanan utama dalam Kekristenan adalah pada hubungan pribadi dengan Tuhan melalui Yesus Kristus, kasih kepada sesama, dan kehidupan yang saleh. Apa yang dimakan seseorang umumnya dianggap sebagai urusan pribadi, selama tidak menimbulkan skandal atau pelanggaran terhadap prinsip-prinsip iman yang lebih mendasar.
Meskipun larangan diet Perjanjian Lama tidak lagi menjadi kewajiban bagi umat Kristen, beberapa orang mungkin memilih untuk menghindari daging babi atas dasar pertimbangan pribadi, seperti:
Yang paling ditekankan dalam ajaran Kristen adalah prinsip kasih. Paulus dalam Roma 14 membahas tentang perbedaan pandangan di antara orang percaya mengenai hal-hal yang tidak esensial bagi keselamatan, seperti makanan. Ia menasihati agar tidak saling menghakimi atau memandang rendah satu sama lain karena perbedaan tersebut. "Karena itu, marilah kita mengejar apa yang mendatangkan damai sejahtera dan yang membangun satu sama lain" (Roma 14:19).
Artinya, jika seseorang memilih untuk mengonsumsi "ham" atau daging babi, itu tidak serta-merta membuatnya "tidak Kristen" atau berdosa. Sebaliknya, jika seseorang memilih untuk tidak mengonsumsinya, itu juga bukan alasan untuk merasa superior. Komunitas Kristen diharapkan menjadi tempat di mana orang-orang dari latar belakang dan kebiasaan yang berbeda dapat bersatu dalam Kristus, dengan fokus pada apa yang mempersatukan mereka, yaitu iman pada Yesus.
Dalam iman Kristen, larangan konsumsi daging babi yang terdapat dalam Perjanjian Lama tidak lagi dianggap sebagai kewajiban bagi pengikut Kristus pada masa kini. Perjanjian Baru, khususnya ajaran Yesus dan pengalaman Rasul Petrus, menunjukkan bahwa fokus telah bergeser dari hukum ritual eksternal ke kemurnian hati dan hubungan anugerah. Oleh karena itu, pandangan terhadap "ham" atau daging babi dalam iman Kristen lebih bersifat personal dan kontekstual. Prinsip kasih, pemahaman, dan persaudaraan menjadi panduan utama dalam menghadapi perbedaan pandangan mengenai isu-isu seperti ini, memastikan bahwa komunitas iman tetap bersatu dalam kasih Kristus.