Simbol Hak Asasi Manusia dan Keadilan
Konsep hak asasi manusia (HAM) merupakan salah satu pilar fundamental dalam membangun masyarakat yang adil, beradab, dan beradab. Di Indonesia, tokoh-tokoh seperti Jimly Asshiddiqie telah memberikan kontribusi pemikiran yang mendalam dalam memahami dan mengimplementasikan HAM. Jimly Asshiddiqie, seorang akademisi, pakar hukum tata negara, dan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, seringkali menekankan pentingnya HAM tidak hanya sebagai seperangkat hak legal semata, tetapi juga sebagai nilai-nilai luhur yang harus diinternalisasi dan diwujudkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Menurut Jimly Asshiddiqie, HAM pada dasarnya adalah hak-hak yang melekat pada diri manusia sejak lahir, bersifat universal, dan tidak dapat dicabut oleh siapapun. Hak-hak ini bersumber dari kodrat manusia sebagai makhluk Tuhan yang memiliki martabat dan kebebasan. Pandangan ini selaras dengan prinsip-prinsip HAM internasional yang tertuang dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) PBB. Namun, Jimly seringkali menekankan konteks Indonesia, di mana HAM harus diinterpretasikan dan diimplementasikan sesuai dengan Pancasila dan UUD NRI 1945.
Salah satu pemikiran utama Jimly Asshiddiqie adalah bahwa HAM di Indonesia tidak boleh lepas dari fondasi ideologi Pancasila dan kerangka konstitusional UUD NRI 1945. Ia berpendapat bahwa Pancasila, dengan sila-silanya, telah mencakup esensi dari hak asasi manusia. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa menjamin kebebasan beragama dan berkeyakinan. Sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab menekankan martabat dan kesetaraan manusia. Sila Persatuan Indonesia mendorong inklusivitas dan penghormatan terhadap keragaman. Sila Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan menjamin hak partisipasi politik dan kebebasan berpendapat. Terakhir, Sila Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia menjamin hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya.
Lebih lanjut, Jimly melihat UUD NRI 1945, terutama setelah amandemen, telah memuat berbagai ketentuan yang melindungi HAM. Pasal-pasal seperti Pasal 27, 28, 29, 30, 31, 32, 33, dan 34 secara eksplisit menjamin hak-hak individu dan kolektif. Namun, ia juga mengingatkan bahwa perlindungan HAM tidak bersifat absolut. Ada pembatasan-pembatasan yang diatur dalam undang-undang, yang bertujuan untuk menjaga ketertiban umum, keamanan, dan hak orang lain. Pembatasan ini harus dilakukan secara proporsional dan sesuai dengan prinsip negara hukum.
Jimly Asshiddiqie juga seringkali menekankan bahwa penegakan HAM bukan hanya tanggung jawab negara, tetapi juga tanggung jawab setiap warga negara. Negara memiliki kewajiban untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi HAM warganya. Ini berarti negara harus menciptakan peraturan perundang-undangan yang kondusif bagi HAM, serta memiliki mekanisme penegakan hukum yang efektif untuk melindungi HAM dari pelanggaran.
Di sisi lain, warga negara juga memiliki peran penting. Mereka harus menghormati HAM orang lain, tidak melakukan pelanggaran HAM, dan aktif berpartisipasi dalam upaya pemajuan HAM. Kesadaran akan hak dan kewajiban ini, menurut Jimly, sangat krusial untuk membangun masyarakat yang harmonis dan demokratis. Ia seringkali menggunakan istilah "simbiosis mutualisme" antara hak dan kewajiban, di mana pemenuhan hak seseorang seringkali dibarengi dengan kewajiban untuk menghormati hak orang lain.
Meskipun kerangka hukum dan konstitusional untuk HAM di Indonesia sudah cukup memadai, Jimly Asshiddiqie menyadari adanya tantangan dalam implementasinya. Ia seringkali mengidentifikasi beberapa persoalan, antara lain:
Untuk mengatasi tantangan tersebut, Jimly Asshiddiqie menganjurkan pendekatan yang holistik dan komprehensif. Pendidikan HAM harus terus digalakkan di semua jenjang. Lembaga-lembaga negara yang bertugas menegakkan HAM, seperti Komnas HAM, harus diperkuat dan diberi sumber daya yang memadai. Di samping itu, dialog antarbudaya dan antarumat beragama juga perlu ditingkatkan untuk membangun toleransi dan saling pengertian. Ia juga menekankan pentingnya peran serta aktif dari masyarakat sipil dalam mengawasi dan mendorong pemenuhan HAM.
Secara keseluruhan, pandangan Jimly Asshiddiqie tentang HAM memberikan perspektif yang kaya, menggabungkan prinsip-prinsip universal HAM dengan konteks spesifik Indonesia yang berlandaskan Pancasila dan UUD NRI 1945. Pemikirannya mengingatkan kita bahwa HAM bukan hanya masalah hukum, tetapi juga masalah moral, budaya, dan kemanusiaan yang menuntut komitmen dari seluruh elemen bangsa.