Alt text: Ilustrasi dua titik yang dihubungkan oleh garis lengkung, melambangkan perjalanan persahabatan dari awal hingga akhir.
Langit senja memerah, serupa luka yang enggan terhapus. Di bawah naungan pohon beringin tua di sudut kota, aku duduk sendiri. Sepi. Benda kecil dari kayu jati di tanganku terasa dingin. Sebuah ukiran kapal layar, hadiah perpisahan terindah sekaligus terburuk yang pernah kuterima. Kapal ini, simbol dari petualangan dan mimpi kami. Mimpi yang harus kandas di pelabuhan yang berbeda.
Aku mengingat kembali malam itu. Suara deru mesin mobil yang semakin menjauh, siluet punggung yang membelakangiku, dan rasa hampa yang merayap. Perpisahan itu begitu tiba-tiba, begitu nyata, namun terasa seperti mimpi buruk yang tak berkesudahan. Dia pergi, melanjutkan studinya di benua seberang, meninggalkan janji-janji yang tertulis di bawah cahaya rembulan di tepi pantai.
Sebelum momen itu, ada tawa. Tawa riang di bawah terik matahari saat kami bersepeda menyusuri jalan desa. Baju seragam kami yang basah oleh keringat, tapi semangat kami tak pernah padam. Kami berbagi bekal makan siang yang sederhana, bertukar cerita tentang cita-cita yang setinggi langit. Saat itu, masa depan terbentang luas, tanpa bayangan perpisahan.
Bahkan lebih jauh lagi, aku melihat kembali masa-masa awal perkenalan kami. Di kelas tiga sekolah dasar. Dia anak baru, pendiam dengan mata penuh tanya. Aku, yang kala itu sedikit lebih berani, menghampirinya di taman sekolah. Memberikan sebutir kelerengku yang paling berkilau sebagai tanda pertemanan. Sebuah gestur kecil yang tak pernah ia lupakan, seperti yang ia katakan bertahun-tahun kemudian.
Pohon beringin ini menjadi saksi bisu banyak momen. Saat kami bersembunyi di balik akarnya saat hujan deras mengguyur, merencanakan masa depan yang penuh warna. Saat kami duduk berdua, saling berbagi keluh kesah tentang tugas sekolah, tentang cinta monyet yang pertama kali bersemi. Saat kami berjanji, sekuat dan sekokoh akar pohon ini, persahabatan kami akan selalu teguh.
Beberapa tahun sebelum perpisahan itu, hubungan kami mulai terasa sedikit berbeda. Bukan karena perselisihan, tapi lebih karena perbedaan jalan yang mulai terlihat. Dia mulai tenggelam dalam dunianya sendiri, dengan ambisi-ambisi yang semakin besar. Aku, di sisi lain, merasa nyaman dengan kehidupan yang sederhana, dengan kebersamaan yang kami miliki.
Pernah suatu sore, kami duduk di kafe langganan. Dia bercerita tentang peluang emas di luar negeri, tentang kesempatan yang tidak boleh dilewatkan. Aku mendengarkan, berusaha memahami gejolak dalam dirinya. Namun, hatiku sedikit mencelos. Apakah kebersamaan kami tidak lagi cukup berharga baginya?
Bahkan ketika dia mulai sibuk dengan persiapan studinya, ada momen-momen kebersamaan yang masih terekam jelas. Saat kami menghabiskan malam terakhir di kota ini, di tepi danau yang tenang. Kami menyalakan api unggun kecil, menatap bintang-bintang. Dia menggambar kapal layar itu dengan tangannya, memberikannya padaku. "Ini untuk mengenang petualangan kita, dan sebagai pengingat bahwa setiap pelayaran pasti akan berakhir," katanya, dengan nada yang sulit kuartikan.
Kini, di bawah pohon beringin ini, aku membalik ukiran kapal itu. Ada ukiran kecil di bagian bawahnya: "Never forget our journey." Perjalanan kami. Perjalanan yang dimulai dari persahabatan polos di taman sekolah, tumbuh melalui tawa dan tangis di bawah pohon beringin, melewati rintangan di jalan desa, hingga mencapai titik di mana satu perahu harus berlayar ke arah yang berbeda.
Mungkin, alur mundur ini membantu. Membantu melihat kembali inti dari persahabatan kami. Bukan tentang siapa yang pergi atau siapa yang tertinggal, tapi tentang jejak kebaikan, tawa, dan dukungan yang telah terukir. Ukiran kapal ini bukan lagi simbol perpisahan, melainkan pengingat abadi bahwa persahabatan sejati meninggalkan jejak tak terhapuskan, terlepas dari jarak dan waktu.
Kisah persahabatan ini, walau dimulai dari sebuah perpisahan yang menyakitkan, mengajarkan bahwa kenangan indah adalah harta yang tak ternilai. Sebuah contoh cerpen alur mundur tentang persahabatan yang menunjukkan bagaimana melihat ke belakang dapat menguatkan arti kebersamaan di masa kini dan masa depan.