Surah Az-Zumar adalah salah satu surah yang paling menyentuh dan penuh hikmah dalam Al-Qur'an. Dinamakan "Az-Zumar" yang berarti "rombongan-rombongan", karena di dalamnya digambarkan bagaimana manusia pada Hari Kiamat akan digiring ke neraka atau surga dalam rombongan-rombongan sesuai dengan amal perbuatan mereka. Surah ini, yang tergolong Makkiyah, secara kuat menekankan keesaan Allah (Tawhid), mengingatkan akan Hari Kiamat, dan menyeru manusia untuk bertaubat serta kembali kepada-Nya.
Ayat-ayat dari 39 hingga 53 secara khusus memuat pesan-pesan yang sangat penting mengenai kekuasaan Allah yang mutlak, perbandingan nasib orang-orang yang beriman dan ingkar, serta seruan agung untuk bertaubat. Ayat-ayat ini menjadi titik fokus untuk memahami betapa luasnya rahmat Allah dan betapa krusialnya pilihan manusia di dunia ini untuk menentukan nasib abadi mereka. Mari kita selami lebih dalam pesan-pesan agung yang terkandung dalam rangkaian ayat ini.
Ayat ini merupakan seruan tegas dari Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW untuk menyampaikan pesan kepada kaumnya yang ingkar. Pesan ini bukan dalam rangka menyuruh mereka untuk terus berbuat maksiat, melainkan sebagai peringatan keras dan tantangan. Maknanya, "Teruslah beramal sesuai dengan cara pandang dan keyakinanmu, dan aku pun akan terus beramal sesuai dengan cara pandang dan keyakinanku." Ini adalah sebuah pernyataan yang menunjukkan keputusasaan dari hidayah bagi sebagian mereka yang keras kepala, sekaligus penegasan akan prinsip bahwa setiap orang akan dimintai pertanggungjawaban atas perbuatannya.
Frasa "اعْمَلُوا عَلَىٰ مَكَانَتِكُمْ" (beramallah menurut kedudukanmu) bisa diartikan sebagai "beramallah sesuai kemampuanmu, posisimu, atau keyakinanmu". Ini adalah bentuk ancaman halus yang menyiratkan bahwa setiap perbuatan, baik maupun buruk, akan ada balasannya. Bagi orang-orang kafir yang terus-menerus menolak kebenaran, ini adalah ancaman bahwa mereka akan menghadapi konsekuensi buruk dari kekafiran mereka.
Kemudian, "إِنِّي عَامِلٌ فَسَوْفَ تَعْلَمُونَ" (sesungguhnya aku pun beramal (pula). Maka kelak kamu akan mengetahui) menegaskan posisi Nabi Muhammad SAW yang teguh di atas kebenaran, melaksanakan perintah Allah, dan bahwa hasil dari amal perbuatan masing-masing pihak akan terlihat jelas pada Hari Kiamat. Kalimat "kelak kamu akan mengetahui" mengandung janji sekaligus ancaman yang menakutkan bagi para pendurhaka dan kabar gembira bagi orang-orang yang beriman. Mereka akan mengetahui siapa yang berada di jalan yang benar dan siapa yang celaka.
Pesan utama dari ayat ini adalah: setiap individu bertanggung jawab atas pilihannya. Tidak ada paksaan dalam beragama, tetapi ada konsekuensi yang pasti. Allah memberikan kebebasan, tetapi juga memberi tahu hasil dari kebebasan itu. Ini adalah prinsip dasar keadilan ilahi.
Ayat ini adalah kelanjutan dari ancaman pada ayat sebelumnya, menjelaskan apa yang akan "diketahui" kelak. Ia merinci jenis azab yang akan menimpa mereka yang memilih jalan kekafiran. Ada dua jenis azab yang disebutkan di sini: azab yang menghinakan (عَذَابٌ يُخْزِيهِ) dan azab yang kekal (عَذَابٌ مُّقِيمٌ).
"عَذَابٌ يُخْزِيهِ" (azab yang menghinakan) adalah azab yang bukan hanya menyakitkan secara fisik, tetapi juga merendahkan martabat dan menimbulkan rasa malu yang amat sangat. Ini adalah hukuman yang menargetkan harga diri mereka yang dahulu sombong dan congkak di dunia. Penghinaan ini akan terjadi di hadapan seluruh makhluk pada Hari Kiamat, saat keburukan mereka terbongkar dan mereka tidak memiliki pembela atau penolong.
Sedangkan "وَيَحِلُّ عَلَيْهِ عَذَابٌ مُّقِيمٌ" (dan akan ditimpa azab yang kekal) merujuk pada azab neraka yang tidak akan pernah berakhir. Ini adalah azab yang bersifat abadi, tanpa henti, dan tanpa harapan untuk keluar darinya. Kontras dengan kehidupan dunia yang sementara, azab ini bersifat permanen, menekankan keparahan konsekuensi dari kekufuran dan kesyirikan.
Kombinasi kedua jenis azab ini menunjukkan bahwa hukuman bagi orang-orang kafir adalah komprehensif: mereka akan merasakan penderitaan fisik yang tak tertahankan, penderitaan emosional berupa penghinaan yang memalukan, dan yang paling mengerikan adalah bahwa semua itu akan berlangsung selamanya. Ini adalah gambaran yang sangat jelas tentang keadilan ilahi bagi mereka yang menolak kebenaran yang telah disampaikan dengan jelas.
Ayat ini adalah inti dari misi kenabian dan fungsi Al-Qur'an. Allah SWT dengan tegas menyatakan bahwa "إِنَّا أَنزَلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ لِلنَّاسِ بِالْحَقِّ" (Sungguh, Kami menurunkan Kitab (Al-Qur'an) kepadamu (Muhammad) untuk manusia dengan (membawa) kebenaran). Ini menekankan bahwa Al-Qur'an adalah wahyu ilahi yang benar dan diturunkan untuk seluruh umat manusia, bukan hanya untuk satu kaum atau satu masa. Kebenaran yang dibawanya bersifat universal dan abadi.
Kemudian, ayat ini menegaskan prinsip kebebasan berkehendak dan tanggung jawab pribadi: "فَمَنِ اهْتَدَىٰ فَلِنَفْسِهِ ۖ وَمَن ضَلَّ فَإِنَّمَا يَضِلُّ عَلَيْهَا" (Barangsiapa mendapat petunjuk, maka (petunjuk itu) untuk kebaikan dirinya sendiri, dan barangsiapa sesat, maka sesungguhnya kesesatannya itu (akan menimpa) dirinya sendiri). Ini berarti bahwa manfaat dari hidayah akan kembali kepada orang yang memilihnya, dan kerugian dari kesesatan juga akan menimpa orang yang memilihnya. Allah tidak membutuhkan hidayah manusia, dan kesesatan manusia tidak akan merugikan-Nya sedikit pun. Manusia sendirilah yang akan memetik buah dari pilihannya.
Terakhir, Allah SWT membebaskan Nabi Muhammad SAW dari tanggung jawab atas pilihan akhir manusia: "وَمَا أَنتَ عَلَيْهِم بِوَكِيلٍ" (Dan engkau (Muhammad) bukanlah penanggung jawab atas mereka). Tugas Nabi adalah menyampaikan risalah, memberi peringatan, dan menunjukkan jalan. Beliau tidak memiliki kekuasaan untuk memaksa hidayah masuk ke dalam hati seseorang. Ini adalah penegasan bahwa hidayah itu sendiri adalah anugerah dari Allah, dan hanya Dia yang bisa membukakan hati. Nabi hanyalah seorang utusan.
Ayat ini memberikan kelegaan bagi para da'i dan pengemban risalah bahwa tugas mereka adalah menyampaikan dengan sebaik-baiknya, sementara hasil akhir ada di tangan Allah dan pilihan individu.
Ayat ini merupakan salah satu ayat paling mendalam yang menjelaskan tentang kekuasaan Allah atas jiwa, kehidupan, dan kematian. Allah SWT adalah penguasa mutlak atas fenomena tidur dan mati.
"اللَّهُ يَتَوَفَّى الْأَنفُسَ حِينَ مَوْتِهَا" (Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya) menunjukkan bahwa kematian bukanlah akhir yang acak atau tanpa kendali. Sebaliknya, ia adalah sebuah proses yang sepenuhnya berada di bawah kendali dan izin Allah. Jiwa ditarik kembali oleh-Nya pada saat yang telah ditentukan.
Kemudian, ayat ini membuat perbandingan menarik dengan fenomena tidur: "وَالَّتِي لَمْ تَمُتْ فِي مَنَامِهَا" ((memegang) jiwa (orang) yang belum mati ketika ia tidur). Tidur dijelaskan sebagai "kematian kecil", di mana jiwa manusia dilepaskan sebagian dari ikatan tubuh, sehingga kesadaran dan kontrol atas tubuh berkurang. Ini adalah bukti kekuasaan Allah yang dapat menahan dan melepaskan jiwa.
Proses selanjutnya dijelaskan: "فَيُمْسِكُ الَّتِي قَضَىٰ عَلَيْهَا الْمَوْتَ وَيُرْسِلُ الْأُخْرَىٰ إِلَىٰ أَجَلٍ مُّسَمًّى" (maka Dia tahan jiwa (orang) yang telah Dia tetapkan kematiannya dan Dia lepaskan jiwa yang lain sampai waktu yang ditentukan). Ketika seseorang tidur, jiwanya dipegang oleh Allah. Jika waktu ajalnya telah tiba, jiwa itu ditahan dan tidak dikembalikan ke tubuh, sehingga terjadilah kematian. Namun, jika ajalnya belum tiba, jiwa itu dilepaskan kembali ke tubuh, sehingga ia bangun dari tidurnya dan melanjutkan hidupnya hingga waktu yang telah ditetapkan. Ini adalah bukti konkret dari kekuasaan Allah atas kehidupan dan kematian setiap saat.
Ayat ini ditutup dengan seruan untuk berpikir: "إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَآيَاتٍ لِّقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ" (Sungguh, pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir). Fenomena tidur dan mati yang terjadi setiap hari adalah tanda-tanda yang jelas tentang kekuasaan Allah, kemampuan-Nya untuk menghidupkan dan mematikan, serta bukti adanya hari kebangkitan. Bagi orang yang merenung, ia akan melihat keagungan pencipta di balik peristiwa-peristiwa ini.
Ayat-ayat ini secara langsung menyerang praktik kesyirikan, khususnya dalam hal mencari perantara (syafaat) selain Allah SWT. Pertanyaan retoris pada ayat 43, "أَمِ اتَّخَذُوا مِن دُونِ اللَّهِ شُفَعَاءَ ۚ قُلْ أَوَلَوْ كَانُوا لَا يَمْلِكُونَ شَيْئًا وَلَا يَعْقِلُونَ" (Ataukah mereka mengambil perantara selain Allah? Katakanlah (Muhammad), "Apakah (kamu akan mengambil perantara) sekalipun mereka tidak memiliki sesuatu apa pun dan tidak pula mengerti?"), mengecam keras orang-orang yang menyembah berhala, malaikat, nabi, atau orang saleh yang telah meninggal dengan keyakinan bahwa mereka dapat menjadi perantara di sisi Allah. Pertanyaan ini menyoroti kebodohan mereka: bagaimana mungkin mereka menyembah sesuatu yang tidak memiliki kekuasaan sedikit pun, bahkan tidak memiliki akal atau kesadaran (jika itu adalah berhala mati)? Atau jika itu adalah makhluk hidup (seperti malaikat atau nabi), mereka tetap tidak memiliki kekuasaan mutlak untuk memberi syafaat tanpa izin Allah.
Ayat 44 memberikan jawaban yang sangat tegas dan definitif: "قُل لِّلَّهِ الشَّفَاعَةُ جَمِيعًا ۖ لَّهُ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ ۖ ثُمَّ إِلَيْهِ تُرْجَعُونَ" (Katakanlah (Muhammad), "Hanya milik Allah syafaat itu seluruhnya. Milik-Nya kerajaan langit dan bumi. Kemudian hanya kepada-Nya kamu dikembalikan."). Ini adalah pernyataan Tawhid yang sangat kuat. Syafaat (pertolongan atau perantaraan) seluruhnya mutlak milik Allah. Tidak ada seorang pun yang dapat memberi syafaat kecuali dengan izin-Nya, dan kepada siapa yang Dia ridhai. Argumentasi ini diperkuat dengan fakta bahwa Allah adalah pemilik mutlak kerajaan langit dan bumi. Jika Dia adalah penguasa segalanya, maka hanya Dialah yang berhak memberikan izin untuk syafaat, dan tidak ada yang dapat melangkahi kekuasaan-Nya. Akhirnya, penegasan bahwa semua akan dikembalikan kepada-Nya mengingatkan bahwa pada akhirnya, semua akan menghadap Allah dan hanya Dia yang dapat memutuskan nasib seseorang.
Ayat ini secara jelas membantah segala bentuk perantaraan atau penyembahan kepada selain Allah, menegaskan bahwa kekuasaan, kepemilikan, dan hak memberi syafaat sepenuhnya ada pada Allah semata.
Ayat ini mengungkap sifat dan psikologi orang-orang yang tidak beriman kepada akhirat dan yang melakukan syirik. Allah SWT menggambarkan reaksi kontras mereka ketika disebut nama Allah Yang Maha Esa, dibandingkan dengan ketika disebut nama sesembahan selain-Nya.
"وَإِذَا ذُكِرَ اللَّهُ وَحْدَهُ اشْمَأَزَّتْ قُلُوبُ الَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ بِالْآخِرَةِ" (Dan apabila yang disebut hanya Allah saja, serentak terperanjat hati orang-orang yang tidak beriman kepada akhirat). Kata "اشْمَأَزَّتْ" (isyma'azzat) berarti jijik, terperanjat, benci, atau merasa tidak nyaman. Ini menunjukkan bahwa hati orang-orang kafir dan musyrik merasa berat dan tidak tenang ketika keesaan Allah yang mutlak disebutkan. Mereka tidak suka mendengar bahwa hanya Allah yang berhak disembah, karena ini bertentangan dengan keyakinan mereka tentang tuhan-tuhan lain atau perantara. Keterkaitan dengan "tidak beriman kepada akhirat" menunjukkan bahwa penolakan mereka terhadap Tawhid seringkali berakar pada penolakan terhadap pertanggungjawaban di akhirat.
Sebaliknya, "وَإِذَا ذُكِرَ الَّذِينَ مِن دُونِهِ إِذَا هُمْ يَسْتَبْشِرُونَ" (dan apabila yang disebut sembahan-sembahan selain Dia (Allah), tiba-tiba mereka bergembira). Ketika nama berhala, patung, atau sesembahan lain yang mereka agungkan disebut, mereka merasa senang, gembira, dan bersemangat. Ini menunjukkan ikatan emosional dan spiritual mereka yang salah, di mana kebahagiaan dan kenyamanan mereka ditemukan dalam keyakinan yang sesat.
Ayat ini adalah potret psikologis yang tajam tentang kondisi hati orang-orang yang syirik. Mereka merasakan ketidaknyamanan ketika kebenaran diungkapkan dan menemukan kesenangan dalam kebatilan. Ini juga menjadi indikator bagi orang-orang beriman untuk memahami perbedaan fundamental antara hati yang beriman murni dan hati yang terkotori syirik.
Setelah menggambarkan penolakan orang-orang kafir terhadap keesaan Allah, ayat ini memberikan bimbingan kepada Nabi Muhammad SAW (dan juga kepada umat Islam) untuk memanjatkan doa pengakuan atas kekuasaan dan keesaan Allah. Ini adalah doa yang penuh ketundukan dan pengakuan akan hak Allah untuk memutuskan segala perselisihan.
"قُلِ اللَّهُمَّ فَاطِرَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ" (Katakanlah, "Ya Allah, Pencipta langit dan bumi"): Permulaan doa ini menekankan sifat Allah sebagai Sang Pencipta. Penciptaan langit dan bumi adalah bukti keesaan dan kekuasaan-Nya yang tak terbatas. Hanya Dia yang dapat menciptakan segala sesuatu dari ketiadaan.
"عَالِمَ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ" (Yang mengetahui yang gaib dan yang nyata): Ini menegaskan ilmu Allah yang meliputi segala sesuatu, baik yang tersembunyi (gaib) maupun yang terlihat (nyata). Tidak ada satu pun yang luput dari pengetahuan-Nya. Dengan ilmu yang sempurna ini, Dia mengetahui setiap detail perselisihan dan setiap niat di balik tindakan manusia.
"أَنتَ تَحْكُمُ بَيْنَ عِبَادِكَ فِي مَا كَانُوا فِيهِ يَخْتَلِفُونَ" (Engkaulah yang memutuskan antara hamba-hamba-Mu tentang apa yang selalu mereka perselisihkan): Ini adalah puncak dari doa dan pengakuan. Karena Allah adalah Pencipta dan Maha Mengetahui segala sesuatu, maka hanya Dialah yang berhak menjadi hakim terakhir atas segala perselisihan, terutama dalam masalah akidah dan syariat, antara orang-orang beriman dan orang-orang kafir. Keputusan-Nya adalah mutlak dan adil.
Doa ini mengajarkan kepada kita untuk selalu kembali kepada Allah dalam setiap perselisihan dan untuk mengakui bahwa keputusan akhir ada di tangan-Nya. Ini juga menanamkan keyakinan bahwa kebenaran akan selalu menang pada akhirnya, meskipun di dunia ini banyak terjadi perbedaan pendapat dan penolakan terhadap kebenaran.
Ayat ini menggambarkan penyesalan yang luar biasa dari orang-orang yang zalim (kafir dan musyrik) pada Hari Kiamat. Allah SWT menjelaskan betapa dahsyatnya azab yang akan mereka hadapi, sehingga mereka akan rela mengorbankan segalanya demi menghindari azab tersebut.
"وَلَوْ أَنَّ لِلَّذِينَ ظَلَمُوا مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا وَمِثْلَهُ مَعَهُ لَافْتَدَوْا بِهِ مِن سُوءِ الْعَذَابِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ" (Dan sekiranya orang-orang yang zalim itu memiliki semua yang ada di bumi dan (ditambah) sebanyak itu lagi, niscaya mereka akan menebus dirinya dengan itu dari azab yang buruk pada hari Kiamat). Ini menunjukkan betapa mengerikannya azab Allah. Bahkan jika mereka memiliki seluruh kekayaan dunia ini, bahkan dua kali lipatnya, mereka akan dengan senang hati menyerahkannya sebagai tebusan untuk menyelamatkan diri dari azab neraka yang pedih. Namun, pada hari itu, tebusan tidak akan diterima.
Frasa "وَبَدَا لَهُم مِّنَ اللَّهِ مَا لَمْ يَكُونُوا يَحْتَسِبُونَ" (Dan nyatalah bagi mereka dari Allah apa yang tidak pernah mereka perkirakan) menunjukkan bahwa pada Hari Kiamat, orang-orang zalim akan dihadapkan pada kenyataan yang sama sekali di luar dugaan mereka. Mereka mungkin mengira azab itu ringan, atau mereka akan dapat lolos, atau bahkan tidak ada azab sama sekali. Namun, Allah akan menunjukkan kepada mereka keadilan-Nya yang sempurna dan azab yang jauh lebih dahsyat dari yang pernah mereka bayangkan. Ini bisa berupa detail-detail azab, atau kepastian azab itu sendiri, atau bahkan betapa sia-sianya amal buruk mereka.
Ayat ini adalah peringatan keras bagi mereka yang hidup dalam kelalaian dan kezaliman di dunia, menolak kebenaran dan peringatan Allah. Penyesalan di akhirat tidak akan berguna, dan tidak ada lagi kesempatan untuk menebus dosa.
Melanjutkan gambaran tentang kondisi orang-orang zalim pada Hari Kiamat, ayat 48 menjelaskan dua aspek penting dari penyesalan dan balasan mereka.
"وَبَدَا لَهُمْ سَيِّئَاتُ مَا كَسَبُوا" (Dan nyatalah bagi mereka kejahatan apa yang telah mereka usahakan): Pada hari itu, segala keburukan dan dosa yang pernah mereka lakukan di dunia akan tampak jelas di hadapan mereka. Tidak ada yang tersembunyi, tidak ada yang terlupakan. Catatan amal mereka akan dibuka, dan mereka akan melihat setiap perbuatan buruk yang pernah mereka lakukan, mungkin bahkan yang mereka anggap sepele atau sudah terlupakan. Rasa malu, penyesalan, dan ketakutan akan menyelimuti mereka ketika keburukan mereka terbongkar di hadapan seluruh makhluk.
Kemudian, "وَحَاقَ بِهِم مَّا كَانُوا بِهِ يَسْتَهْزِئُونَ" (dan mereka dikepung oleh apa yang dahulu selalu mereka perolok-olokkan): Ini adalah balasan yang sangat menyakitkan bagi mereka yang dahulu di dunia suka mengejek dan meremehkan peringatan tentang azab Allah, tentang Hari Kiamat, atau tentang ajaran agama. Azab yang dahulu mereka anggap remeh dan jadikan bahan olok-olokan, kini datang mengepung mereka dari segala arah, tanpa bisa dielakkan. Ini adalah ironi yang menyakitkan: apa yang mereka tertawakan di dunia kini menjadi kenyataan pahit yang tidak bisa mereka hindari.
Ayat ini adalah peringatan yang tegas akan pentingnya mempertanggungjawabkan setiap perbuatan di dunia dan tidak meremehkan ancaman Allah. Setiap olok-olokan dan remehan terhadap kebenaran akan kembali menimpa pelakunya.
Ayat ini mengungkap sifat dasar sebagian besar manusia yang ingkar, yaitu kelemahan dan keangkuhan mereka dalam menghadapi ujian hidup. Ayat ini memperlihatkan kontras antara perilaku manusia saat ditimpa kesulitan dan saat diberi kenikmatan.
"فَإِذَا مَسَّ الْإِنسَانَ ضُرٌّ دَعَانَا" (Maka apabila manusia ditimpa bahaya ia menyeru Kami): Ketika manusia ditimpa musibah, kesusahan, penyakit, atau bahaya, fitrahnya mendorongnya untuk berseru kepada kekuatan yang lebih tinggi, yaitu Allah. Pada saat-saat genting itu, mereka lupa akan kesombongan dan ketergantungan mereka pada selain Allah. Mereka berdoa dengan tulus, mengharapkan pertolongan dari Yang Maha Kuasa.
Namun, setelah kesulitan itu diangkat dan Allah menganugerahinya nikmat, sifat ingkar dan sombongnya kembali muncul: "ثُمَّ إِذَا خَوَّلْنَاهُ نِعْمَةً مِّنَّا قَالَ إِنَّمَا أُوتِيتُهُ عَلَىٰ عِلْمٍ" (kemudian apabila Kami berikan kepadanya nikmat dari Kami, ia berkata, "Sesungguhnya aku diberi nikmat itu hanyalah karena kepintaranku."). Orang seperti ini lupa bahwa kenikmatan yang datang kepadanya adalah murni karunia dari Allah. Sebaliknya, ia menyombongkan diri, mengklaim bahwa nikmat itu ia dapatkan karena ilmu, kecerdasan, atau usahanya semata, menafikan peran Allah. Ini adalah cerminan dari egoisme dan keangkuhan yang seringkali menyelimuti hati manusia yang lemah imannya.
Allah kemudian mengoreksi pandangan yang salah ini: "بَلْ هِيَ فِتْنَةٌ وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَهُمْ لَا يَعْلَمُونَ" (Sebenarnya itu adalah cobaan, tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui). Kenikmatan yang diberikan Allah, seperti halnya kesulitan, adalah ujian (fitnah). Tujuannya adalah untuk melihat apakah manusia akan bersyukur dan menggunakan nikmat itu di jalan Allah, ataukah ia akan menjadi sombong dan kufur. Kebanyakan manusia tidak menyadari hakikat ini, sehingga mereka terlena dalam kenikmatan dan lupa akan tujuan hidup yang sebenarnya.
Ayat ini adalah penguat dan penegasan dari ayat sebelumnya, menunjukkan bahwa sikap sombong dan kufur ketika diberi kenikmatan bukanlah hal baru. Ini adalah pola perilaku yang telah terjadi pada umat-umat terdahulu yang akhirnya dibinasakan oleh Allah.
"قَدْ قَالَهَا الَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ" (Sungguh, orang-orang sebelum mereka telah mengatakan (perkataan seperti itu)): Ini merujuk pada umat-umat terdahulu yang juga mengklaim bahwa kekayaan, kekuasaan, dan kenikmatan yang mereka miliki adalah karena kecerdasan, kekuatan, atau kehebatan mereka sendiri, tanpa mengaitkannya dengan karunia Allah. Contohnya adalah Qarun yang sombong dengan kekayaannya, mengklaim bahwa itu adalah hasil ilmunya (Al-Qasas: 78).
Pesan utama ayat ini adalah bahwa sejarah akan terulang. Jika manusia tidak mengambil pelajaran dari masa lalu, mereka akan mengulangi kesalahan yang sama. Orang-orang yang sombong pada masa Nabi Muhammad SAW (dan hingga kini) persis seperti orang-orang terdahulu yang menolak mengakui karunia Allah.
Kemudian, "فَمَا أَغْنَىٰ عَنْهُم مَّا كَانُوا يَكْسِبُونَ" (maka tidak berguna bagi mereka apa yang dahulu mereka usahakan): Meskipun mereka mengklaim bahwa kenikmatan dan kesuksesan itu berasal dari usaha dan kepintaran mereka, pada akhirnya semua itu tidak sedikit pun berguna bagi mereka ketika azab Allah datang. Kekayaan, ilmu, kekuasaan, dan segala hasil usaha mereka di dunia tidak dapat menolong mereka dari hukuman Allah. Ini adalah peringatan keras bahwa kenikmatan duniawi, jika tidak digunakan di jalan yang benar dan tanpa rasa syukur kepada Allah, akan menjadi sia-sia dan bahkan membawa malapetaka di akhirat.
Ayat ini semakin memperjelas nasib orang-orang yang sombong dan kufur, baik umat terdahulu maupun umat yang hidup pada masa Nabi Muhammad SAW, bahkan hingga kini.
"فَأَصَابَهُمْ سَيِّئَاتُ مَا كَسَبُوا" (Maka mereka ditimpa keburukan (akibat) apa yang telah mereka usahakan): Bagian pertama ayat ini merujuk pada umat-umat terdahulu yang telah dibinasakan. Keburukan amal perbuatan mereka sendirilah yang mendatangkan azab dan kebinasaan bagi mereka. Ini adalah penegasan bahwa setiap perbuatan buruk akan kembali kepada pelakunya.
Kemudian, ayat ini secara spesifik mengarahkan peringatan kepada orang-orang zalim pada masa Nabi Muhammad SAW: "وَالَّذِينَ ظَلَمُوا مِنْ هَٰؤُلَاءِ سَيُصِيبُهُمْ سَيِّئَاتُ مَا كَسَبُوا" (Dan orang-orang yang zalim di antara mereka itu akan ditimpa keburukan (akibat) apa yang telah mereka usahakan). Ini berarti bahwa umat yang hidup saat ini, jika mereka mengikuti jejak kezaliman umat terdahulu, juga akan merasakan akibat buruk dari perbuatan mereka sendiri. Azab itu bukanlah sesuatu yang datang secara tiba-tiba tanpa sebab, melainkan buah dari perbuatan tangan mereka sendiri.
Bagian terakhir ayat ini "وَمَا هُم بِمُعْجِزِينَ" (dan mereka tidak dapat melepaskan diri (dari azab Allah)), menegaskan ketidakmampuan mereka untuk melarikan diri dari azab Allah. Tidak ada tempat berlindung, tidak ada penolong, dan tidak ada kekuatan yang dapat menghalangi kehendak Allah untuk menimpakan azab kepada mereka yang berhak menerimanya. Mereka sama sekali tidak berdaya di hadapan kekuasaan Allah.
Ayat ini kembali mengarahkan perhatian pada kekuasaan Allah dalam mengatur rezeki, sebagai bantahan terhadap kesombongan manusia yang mengira kenikmatan didapat karena usaha semata. Ini adalah pertanyaan retoris yang dimaksudkan untuk menggugah kesadaran.
"أَوَلَمْ يَعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ يَبْسُطُ الرِّزْقَ لِمَن يَشَاءُ وَيَقْدِرُ" (Dan tidakkah mereka mengetahui bahwa Allah melapangkan rezeki bagi siapa yang Dia kehendaki dan Dia (pula) yang membatasi?): Allah adalah Dzat yang Maha Pemberi Rezeki. Dia memiliki kekuasaan mutlak untuk melapangkan rezeki bagi siapa saja yang Dia kehendaki, dan sebaliknya, membatasi rezeki bagi siapa saja yang Dia kehendaki. Kekayaan dan kemiskinan, kelapangan dan kesempitan, semuanya berada dalam kendali-Nya. Ini bukan hanya tentang usaha manusia semata, melainkan kehendak Allah. Jika seseorang kaya atau banyak rezekinya, itu bukan hanya karena kepintaran atau usahanya, tetapi karena Allah yang melapangkan baginya. Demikian pula sebaliknya.
Penyebutan "melapangkan dan membatasi" menunjukkan kebijaksanaan Allah dalam pengaturan rezeki. Terkadang kelapangan rezeki adalah ujian, dan terkadang kesempitan rezeki juga adalah ujian. Kedua kondisi ini memiliki hikmahnya masing-masing. Ini membantah pandangan materialistis yang mengukur nilai manusia dari seberapa banyak rezeki yang ia dapatkan.
Ayat ini diakhiri dengan penegasan: "إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَآيَاتٍ لِّقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ" (Sungguh, pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang beriman). Bagi orang-orang yang beriman, perbedaan dalam rezeki di antara manusia adalah tanda kebesaran Allah, kebijaksanaan-Nya, dan kekuasaan-Nya. Mereka memahami bahwa rezeki adalah anugerah dan ujian, dan karenanya mereka akan bersyukur saat lapang dan bersabar saat sempit, serta tidak sombong saat kaya atau putus asa saat miskin. Ini membedakan mereka dari orang-orang yang tidak beriman yang sombong atau putus asa.
Ayat ini adalah salah satu ayat yang paling indah, menghibur, dan penuh harapan dalam Al-Qur'an. Setelah serangkaian peringatan keras tentang azab bagi orang-orang zalim, Allah SWT membuka pintu rahmat-Nya yang sangat luas, menyeru kepada seluruh hamba-Nya untuk bertaubat.
"قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَىٰ أَنفُسِهِمْ" (Katakanlah (Muhammad), "Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri!"): Panggilan ini sangat lembut dan penuh kasih. Allah tidak menyebut mereka sebagai "orang-orang kafir" atau "pendosa", tetapi sebagai "hamba-hamba-Ku" (yang menunjukkan kepemilikan dan kedekatan) yang "melampaui batas terhadap diri mereka sendiri". Frasa "melampaui batas" (اسْرَفُوا) menunjukkan bahwa mereka telah berbuat dosa yang sangat banyak, bahkan mungkin dosa besar, sehingga mereka telah merugikan diri mereka sendiri dengan menumpuk dosa.
Kemudian datanglah pesan utama yang penuh harapan: "لَا تَقْنَطُوا مِن رَّحْمَةِ اللَّهِ" (Janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah). Ini adalah larangan untuk berputus asa dari rahmat Allah, tidak peduli seberapa besar dosa yang telah dilakukan. Putus asa dari rahmat Allah adalah dosa besar yang menunjukkan ketidakpercayaan pada kekuasaan dan kasih sayang Allah.
Alasan di balik larangan ini adalah: "إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا" (Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya). Ini adalah janji yang agung. Allah mampu mengampuni segala jenis dosa, besar maupun kecil, syirik maupun maksiat, selama hamba-Nya bertaubat dengan tulus. Tidak ada dosa yang terlalu besar bagi ampunan Allah, asalkan ada keinginan tulus untuk kembali kepada-Nya.
Ayat ini ditutup dengan penegasan sifat-sifat Allah: "إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ" (Sungguh, Dialah Yang Maha Pengampun, Maha Penyayang). Kedua nama ini (Al-Ghafur dan Ar-Rahim) secara sempurna melengkapi seruan taubat ini. Al-Ghafur menunjukkan bahwa Dia adalah Dzat yang menghapus dosa, menutupinya, dan melupakannya. Ar-Rahim menunjukkan kasih sayang-Nya yang tak terbatas, yang menjadi motivasi di balik ampunan-Nya.
Ayat ini adalah mercusuar harapan bagi setiap manusia yang merasa terbebani oleh dosa-dosa. Ia mendorong manusia untuk tidak menyerah pada keputusasaan, melainkan untuk segera kembali kepada Allah dengan taubat yang tulus.
Rangkaian ayat dari 39 hingga 53 dalam Surah Az-Zumar menyajikan serangkaian tema yang saling terkait, membentuk sebuah narasi yang kohesif tentang keesaan Allah, pertanggungjawaban manusia, dan rahmat-Nya yang tak terbatas. Memahami tema-tema ini secara holistik akan memberikan pemahaman yang lebih mendalam tentang pesan Al-Qur'an.
Sepanjang ayat-ayat ini, penekanan kuat diberikan pada keesaan Allah dalam segala aspek-Nya: sebagai Pencipta, Penguasa, Pemberi Rezeki, Hakim, dan satu-satunya yang berhak disembah. Ayat 42 menegaskan kekuasaan-Nya atas kehidupan, kematian, dan tidur, menunjukkan bahwa tidak ada entitas lain yang memiliki kendali semacam itu. Ayat 43-44 secara eksplisit menolak praktik syirik dalam mencari syafaat, menegaskan bahwa syafaat sepenuhnya milik Allah dan hanya Dia yang memiliki kerajaan langit dan bumi. Kemudian, ayat 46 adalah doa pengakuan atas keesaan-Nya sebagai Pencipta dan Hakim. Ini adalah fondasi dari seluruh ajaran Islam, menegaskan bahwa tidak ada sekutu bagi-Nya dalam kekuasaan maupun ibadah.
Penolakan terhadap Tawhid dalam ayat 45 digambarkan sebagai sumber ketidaknyamanan hati orang-orang yang tidak beriman kepada akhirat, yang justru bergembira ketika sesembahan selain Allah disebut. Ini menggambarkan konflik fundamental antara kebenaran Tawhid dan keyakinan syirik.
Ancaman dan peringatan tentang Hari Kiamat dan pertanggungjawaban di dalamnya adalah tema yang menonjol. Ayat 39 dan 40 secara langsung mengancam mereka yang menolak kebenaran dengan azab yang menghinakan dan kekal. Ayat 41 menegaskan prinsip tanggung jawab individu: hidayah untuk diri sendiri, kesesatan pun menimpa diri sendiri. Ini berarti setiap orang akan dihisab atas pilihannya.
Ayat 47 dan 48 menggambarkan kengerian Hari Kiamat dari perspektif orang-orang zalim. Mereka akan menyesal sedemikian rupa sehingga akan rela mengorbankan segala kekayaan dunia untuk menebus diri, tetapi tidak akan ada tebusan yang diterima. Keburukan amal mereka akan tersingkap, dan azab yang dulu mereka ejek akan mengepung mereka. Ini adalah gambaran yang mengerikan untuk menggarisbawahi urgensi persiapan menghadapi hari itu.
Ayat 49, 50, dan 51 secara khusus membahas sifat buruk manusia yang cenderung sombong dan kufur nikmat. Mereka berseru kepada Allah saat ditimpa bahaya, tetapi ketika diberi kenikmatan, mereka mengklaimnya sebagai hasil kecerdasan atau usaha semata, melupakan karunia Allah. Al-Qur'an mengingatkan bahwa ini adalah pola umat terdahulu yang akhirnya dibinasakan. Kenikmatan dan kesengsaraan adalah ujian, dan kekayaan dunia tidak akan menolong dari azab Allah jika disertai kesombongan dan kekufuran. Ini mengajarkan pentingnya bersyukur dan rendah hati dalam setiap kondisi.
Setelah serangkaian peringatan dan ancaman, Al-Qur'an mencapai puncaknya dengan seruan agung pada ayat 53, yang menjadi oase harapan. Ayat ini adalah pesan terindah tentang rahmat dan ampunan Allah. Allah menyeru hamba-hamba-Nya yang telah melampaui batas (pendosa berat) untuk tidak berputus asa dari rahmat-Nya, karena Dia mengampuni semua dosa. Ini adalah manifestasi dari sifat-sifat Allah sebagai Al-Ghafur (Maha Pengampun) dan Ar-Rahim (Maha Penyayang). Ayat ini memberikan dorongan kuat bagi setiap individu untuk kembali kepada Allah, tidak peduli seberapa besar dosa yang telah dilakukan, asalkan dengan taubat yang tulus.
Ayat 42 dan 52 secara eksplisit mengajak manusia untuk berpikir (يَتَفَكَّرُونَ) dan melihat tanda-tanda (لَآيَاتٍ) kebesaran Allah. Fenomena tidur dan kematian (Ayat 42) adalah tanda kekuasaan Allah yang menunjukkan kemampuan-Nya untuk menghidupkan kembali. Demikian pula, pengaturan rezeki yang dilapangkan atau dibatasi (Ayat 52) adalah tanda kebijaksanaan dan kekuasaan-Nya. Bagi orang-orang yang beriman, tanda-tanda ini semakin menguatkan keyakinan mereka, sementara bagi yang ingkar, mereka hanya berlalu begitu saja.
Secara keseluruhan, Az-Zumar 39-53 adalah bagian Al-Qur'an yang sangat kuat, menggabungkan peringatan keras, argumen rasional, dan janji rahmat yang tak terbatas, semua berpusat pada penegasan Tawhid dan seruan untuk kembali kepada Allah.
Meskipun Surah Az-Zumar diturunkan lebih dari 14 abad yang lalu, pesan-pesan dalam ayat 39-53 tetap sangat relevan bagi kehidupan modern. Tantangan dan kecenderungan manusia untuk melupakan Penciptanya, bersandar pada kekuatan duniawi, dan menunda taubat masih sangat nyata.
Di era modern yang didominasi oleh materialisme, konsumerisme, dan sains, banyak orang cenderung menyandarkan diri pada kekuatan ekonomi, teknologi, atau bahkan kecerdasan buatan, seolah-olah semua itu adalah tuhan baru. Pesan Tawhid dalam ayat-ayat ini, yang menegaskan bahwa hanya Allah yang menguasai segalanya, menjadi sangat vital. Ia mengingatkan bahwa kekayaan (Ayat 47, 52), ilmu (Ayat 49), dan kekuasaan hanyalah pinjaman dari Allah. Menganggap semua itu murni hasil usaha sendiri, tanpa mengakui karunia Ilahi, adalah bentuk kesombongan yang dikecam keras oleh Al-Qur'an.
Praktik mencari "perantara" dalam bentuk lain juga masih relevan. Meskipun mungkin bukan patung berhala, manusia modern seringkali mengidolakan selebriti, politisi, atau bahkan ilmuwan, memberikan mereka kekuatan dan pengaruh yang melampaui batas kewajaran, seolah-olah mereka adalah penentu nasib. Ayat 43-44 dengan tegas menolak segala bentuk perantara semacam itu dalam hubungan dengan Allah.
Di tengah hiruk-pikuk kehidupan modern yang serba cepat, banyak orang kehilangan arah dan makna hidup. Mereka hidup seolah-olah dunia ini adalah segalanya dan tidak ada pertanggungjawaban setelahnya. Peringatan tentang Hari Kiamat (Ayat 39, 40, 47, 48) berfungsi sebagai pengingat fundamental akan tujuan akhir kehidupan. Ia memaksa manusia untuk berhenti sejenak, merenungkan nilai-nilai abadi, dan mempersiapkan diri untuk hari di mana tidak ada tebusan dan segala perbuatan akan tersingkap.
Pesan bahwa "keburukan apa yang telah mereka usahakan" akan menimpa mereka (Ayat 48, 51) sangat relevan di era informasi, di mana setiap tindakan, perkataan, bahkan jejak digital dapat tercatat dan suatu saat akan dipertanggungjawabkan. Ini mendorong kesadaran diri dan etika dalam setiap interaksi.
Dunia modern seringkali membawa tekanan mental yang besar, dari tekanan pekerjaan hingga ekspektasi sosial yang tidak realistis. Ini bisa menyebabkan rasa putus asa, kecemasan, dan depresi. Dalam konteks ini, Ayat 53 ("Janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya") adalah suar harapan yang luar biasa. Ia memberikan jaminan bahwa tidak peduli seberapa jauh seseorang telah tersesat atau seberapa berat beban dosa yang ia rasakan, pintu ampunan Allah selalu terbuka.
Pesan ini mempromosikan resiliensi spiritual, mendorong individu untuk bangkit kembali dari kesalahan, bertaubat, dan memulai lembaran baru. Ini adalah pesan anti-keputusasaan yang sangat dibutuhkan di zaman ketika banyak orang merasa terjebak dalam lingkaran kesalahan dan tanpa harapan.
Bahkan fenomena sehari-hari seperti tidur (Ayat 42) dan rezeki (Ayat 52) menjadi tanda-tanda yang perlu direnungkan. Di tengah gaya hidup serba cepat, tidur seringkali dianggap sebagai hambatan, bukan sebagai anugerah dan tanda kekuasaan Ilahi. Merenungkan tidur sebagai "kematian kecil" dapat meningkatkan kesadaran akan kerapuhan hidup dan kekuasaan Allah.
Demikian pula, dalam masyarakat kapitalis yang seringkali menghargai kekayaan di atas segalanya, pesan tentang Allah yang melapangkan dan membatasi rezeki (Ayat 52) mengajarkan perspektif yang lebih seimbang. Rezeki adalah ujian, bukan ukuran nilai mutlak. Ini membantu manusia untuk bersyukur dalam kelapangan dan bersabar dalam kesempitan, serta menghindari kesombongan harta.
Dengan demikian, ayat-ayat Az-Zumar 39-53 tidak hanya relevan sebagai teks historis, tetapi sebagai panduan spiritual yang mendalam, menawarkan prinsip-prinsip abadi untuk menjalani kehidupan yang bermakna, bertanggung jawab, dan penuh harapan di tengah tantangan zaman modern.
Rangkaian ayat Surah Az-Zumar dari 39 hingga 53 merupakan permata hikmah yang kaya akan pelajaran mendalam. Dimulai dengan tantangan tegas kepada orang-orang yang menolak kebenaran dan peringatan akan azab yang menghinakan dan kekal, Al-Qur'an secara bertahap membuka tabir tentang kekuasaan mutlak Allah atas kehidupan dan kematian, serta kebodohan manusia dalam mencari perantara selain-Nya.
Pesan Tawhid yang kuat menjadi benang merah yang mengikat ayat-ayat ini, menegaskan bahwa hanya Allah-lah satu-satunya Pencipta, Penguasa, dan Hakim yang Maha Mengetahui segala yang gaib dan nyata. Kita diajak untuk merenungkan tanda-tanda kebesaran-Nya dalam fenomena tidur dan pengaturan rezeki, yang semuanya menunjukkan kebijaksanaan dan kekuasaan-Nya yang tak terbatas.
Al-Qur'an juga dengan lugas menguraikan sifat-sifat buruk manusia, terutama kecenderungan untuk sombong dan kufur nikmat ketika diberi kelapangan, melupakan bahwa segala anugerah adalah dari Allah semata. Kisah umat terdahulu menjadi cermin dan peringatan bahwa kesombongan dan kezaliman pasti akan berbuah kehancuran, dan pada Hari Kiamat, tidak ada lagi tebusan untuk dosa-dosa yang telah diperbuat.
Namun, di tengah-tengah peringatan dan ancaman yang keras itu, ayat 53 tampil sebagai mercusuar harapan yang paling terang. Ia adalah panggilan penuh kasih dari Allah kepada hamba-hamba-Nya yang telah melampaui batas, untuk tidak berputus asa dari rahmat-Nya. Dengan janji agung bahwa Allah mengampuni semua dosa, ayat ini menegaskan bahwa pintu taubat selalu terbuka lebar bagi setiap jiwa yang ingin kembali kepada-Nya dengan tulus, karena Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Sebagai umat Islam, kita diingatkan untuk senantiasa mengintrospeksi diri, berpegang teguh pada Tawhid, bersyukur dalam kelapangan, bersabar dalam kesempitan, dan tidak pernah menunda taubat. Ayat-ayat ini menjadi pengingat yang konstan akan tujuan hidup yang hakiki dan janji abadi dari Allah SWT.