Asyura Adalah: Sejarah, Makna, dan Amalan dalam Islam

Menyelami Kedalaman Hari Penuh Makna dan Peristiwa

Pengantar: Memahami Asyura

Hari Asyura, yang jatuh pada tanggal 10 Muharram dalam kalender Hijriah, merupakan salah satu hari yang memiliki signifikansi mendalam dan beraneka ragam dalam tradisi Islam. Kata "Asyura" sendiri berasal dari bahasa Arab yang berarti "kesepuluh", merujuk pada tanggal spesifik ini. Namun, di balik penamaan yang sederhana, terhampar lapisan-lapisan sejarah, teologi, dan tradisi yang membentuk pemahaman umat Muslim di seluruh dunia tentang hari ini. Bagi sebagian besar Muslim, Asyura dikenal sebagai hari di mana Nabi Musa AS dan Bani Israil diselamatkan dari Fir'aun, serta hari yang dianjurkan untuk berpuasa sunnah. Namun, bagi sebagian Muslim lainnya, terutama komunitas Syiah, Asyura adalah hari berkabung dan duka cita atas kesyahidan cucu Rasulullah SAW, Imam Husain bin Ali, di Karbala.

Perbedaan interpretasi dan amalan ini mencerminkan kekayaan dan kompleksitas sejarah Islam. Memahami Asyura berarti menyelami bukan hanya satu peristiwa, melainkan serangkaian kejadian historis yang membentuk identitas dan spiritualitas umat. Artikel ini akan mengupas tuntas apa itu Asyura, dimulai dari akar etimologisnya, menelusuri sejarahnya yang panjang dari masa pra-Islam hingga peristiwa Karbala yang monumental, menjelaskan perbedaan pandangan dan amalan antara Muslim Sunni dan Syiah, serta mendetailkan berbagai tradisi yang berkembang di berbagai belahan dunia.

Melalui penelusuran ini, kita akan melihat bagaimana satu tanggal bisa menjadi titik pertemuan berbagai narasi: keselamatan, penebusan dosa, pengorbanan, keadilan, dan perjuangan melawan kezaliman. Asyura bukan sekadar tanggal di kalender; ia adalah cermin yang memantulkan dimensi spiritual, historis, dan sosial yang telah membentuk peradaban Islam selama berabad-abad. Mari kita mulai perjalanan untuk memahami Asyura secara komprehensif.

1. Etimologi dan Makna Bahasa Asyura

1.1. Asal Kata "Asyura"

Kata "Asyura" (عاشوراء) berasal dari akar kata bahasa Arab عين-شين-راء (ain-shin-ra) yang berarti "sepuluh". Ini secara langsung merujuk pada hari kesepuluh dari bulan Muharram, bulan pertama dalam kalender Hijriah. Meskipun secara harfiah berarti "kesepuluh", konotasi dan makna kulturalnya jauh melampaui sekadar angka.

Dalam konteks agama, penekanan pada angka sepuluh ini bukan kebetulan semata. Banyak peristiwa penting dalam sejarah agama-agama samawi seringkali dikaitkan dengan pola-pola numerik tertentu, dan angka sepuluh memiliki signifikansinya sendiri. Penetapan tanggal ini sebagai "Asyura" mengindikasikan bahwa hari tersebut telah diakui dan dihormati sejak lama, bahkan sebelum datangnya Islam dalam bentuknya yang sekarang.

1.2. Peran Muharram dalam Kalender Islam

Muharram adalah bulan pertama dalam kalender Hijriah, dan ia merupakan salah satu dari empat bulan suci (al-Ashhur al-Hurum) dalam Islam, bersama dengan Rajab, Dzulqa'dah, dan Dzulhijjah. Dalam bulan-bulan ini, pertumpahan darah dan peperangan dilarang, menekankan pentingnya perdamaian dan ibadah. Penetapan Muharram sebagai bulan suci menambah bobot spiritual pada hari Asyura, menjadikannya hari yang lebih istimewa untuk beribadah dan merenung.

Fakta bahwa Asyura jatuh pada bulan pertama tahun Hijriah juga sering diinterpretasikan sebagai simbol permulaan baru, harapan, dan kesempatan untuk introspeksi serta pembaruan spiritual. Sebagaimana tahun baru Masehi seringkali menjadi momen untuk resolusi, Asyura dalam Muharram juga dapat berfungsi sebagai titik tolak untuk komitmen spiritual yang lebih dalam.

2. Sejarah Asyura dalam Lintasan Waktu

Sejarah Asyura adalah mozaik peristiwa yang membentang dari masa pra-Islam hingga era kenabian Muhammad SAW, dan terus berlanjut hingga tragedi Karbala yang membentuk ulang lanskap politik dan spiritual Islam. Memahami Asyura membutuhkan penelusuran kronologis atas peristiwa-peristiwa kunci ini.

2.1. Asyura dalam Tradisi Pra-Islam

Jauh sebelum kedatangan Nabi Muhammad SAW, hari Asyura sudah dihormati oleh berbagai komunitas dan peradaban di Semenanjung Arab, termasuk suku Quraisy di Mekah. Sejarawan dan riwayat-riwayat Islam menyebutkan bahwa masyarakat Quraisy, yang notabene adalah kaum musyrik pada masa itu, biasa berpuasa pada hari Asyura. Alasan di balik praktik ini masih menjadi perdebatan di kalangan ulama dan sejarawan. Beberapa riwayat menyebutkan bahwa puasa ini adalah warisan dari Nabi Ibrahim AS atau Nabi Ismail AS, yang merupakan nenek moyang mereka. Ada pula yang berpendapat bahwa puasa ini dilakukan sebagai bentuk penghormatan terhadap Ka'bah, atau sebagai respons terhadap suatu peristiwa penting yang pernah terjadi di masa lalu yang kini telah terlupakan detailnya.

Salah satu riwayat paling terkenal datang dari Aisyah RA, istri Nabi Muhammad SAW, yang menyatakan: "Orang-orang Quraisy biasa berpuasa pada hari Asyura di masa Jahiliyah, dan Rasulullah SAW juga berpuasa pada hari itu. Ketika beliau hijrah ke Madinah, beliau terus berpuasa dan memerintahkan umatnya untuk berpuasa. Namun, ketika puasa Ramadhan diwajibkan, beliau bersabda: 'Barang siapa yang ingin berpuasa (Asyura) maka berpuasalah, dan barang siapa yang tidak ingin, maka janganlah.'" (HR. Bukhari dan Muslim). Riwayat ini mengindikasikan bahwa tradisi berpuasa pada Asyura sudah ada dan dikenal luas di kalangan masyarakat Arab sebelum Islam datang.

Penghormatan terhadap Asyura pada masa Jahiliyah juga menunjukkan adanya kontinuitas dalam nilai-nilai spiritual dan tradisi keagamaan yang melampaui batas-batas agama tertentu. Ini mengisyaratkan bahwa Asyura memiliki akar yang sangat dalam dalam sejarah spiritual Semenanjung Arab, yang kemudian diadaptasi dan diberikan makna baru oleh Islam.

2.2. Asyura di Masa Kenabian Muhammad SAW

2.2.1. Penyelamatan Nabi Musa AS dari Fir'aun

Salah satu peristiwa terpenting yang dihubungkan dengan hari Asyura dalam tradisi Islam adalah penyelamatan Nabi Musa AS dan Bani Israil dari Fir'aun dan pasukannya. Kisah ini diceritakan dalam Al-Qur'an dan hadis-hadis Nabi Muhammad SAW. Allah SWT menyelamatkan Nabi Musa dan kaumnya dengan membelah Laut Merah, menenggelamkan Fir'aun beserta bala tentaranya yang sombong dan zalim. Peristiwa luar biasa ini menandai kemenangan kebenaran atas kezaliman, kebebasan atas penindasan, dan mukjizat ilahi atas kekuatan duniawi.

Ketika Nabi Muhammad SAW tiba di Madinah setelah hijrah, beliau menemukan bahwa kaum Yahudi di sana juga berpuasa pada hari Asyura. Ketika ditanya mengapa mereka berpuasa, mereka menjawab: "Ini adalah hari yang mulia. Pada hari ini Allah menyelamatkan Musa dan Bani Israil dari Fir'aun. Maka Musa berpuasa pada hari itu sebagai bentuk syukur." Nabi Muhammad SAW kemudian bersabda: "Kami lebih berhak (dekat) kepada Musa daripada kalian." Lalu beliau berpuasa pada hari itu dan memerintahkan para sahabatnya untuk berpuasa (HR. Bukhari dan Muslim). Perintah ini menjadikan puasa Asyura sebagai praktik yang dianjurkan dalam Islam.

Pengakuan Nabi Muhammad SAW terhadap praktik Yahudi ini bukan hanya menunjukkan kesamaan narasi historis antara Islam dan agama-agama samawi sebelumnya, tetapi juga menegaskan prinsip-prinsip universal seperti keadilan, pembebasan, dan syukur kepada Allah SWT. Puasa Asyura dalam konteks ini adalah ekspresi syukur atas intervensi ilahi yang menyelamatkan umat dari kezaliman yang parah.

2.2.2. Transformasi Hukum Puasa Asyura

Pada awalnya, puasa Asyura adalah puasa wajib bagi umat Muslim, atau setidaknya sangat ditekankan, setara dengan kewajiban puasa Ramadhan yang belum diundangkan. Namun, setelah turunnya perintah puasa Ramadhan pada tahun kedua Hijriah, status puasa Asyura berubah dari wajib menjadi sunnah (dianjurkan). Nabi Muhammad SAW kemudian menyatakan bahwa siapa pun yang ingin berpuasa pada hari Asyura dipersilakan, dan siapa pun yang tidak ingin berpuasa juga tidak berdosa.

Perubahan ini tidak mengurangi nilai spiritual puasa Asyura, melainkan menempatkannya dalam kategori ibadah sunnah yang sangat dianjurkan. Nabi Muhammad SAW juga menganjurkan untuk berpuasa pada hari kesembilan Muharram (Tasua) bersamaan dengan hari kesepuluh (Asyura), untuk membedakan praktik Muslim dari praktik Yahudi. Sabda beliau, "Jika aku masih hidup sampai tahun depan, sungguh aku akan berpuasa pada hari kesembilan (Tasua)." (HR. Muslim). Anjuran ini menunjukkan keinginan untuk membangun identitas praktik keagamaan Muslim yang khas, bahkan ketika mengadaptasi tradisi yang memiliki akar serupa.

2.2.3. Peristiwa-Peristiwa Lain yang Dikaitkan

Selain penyelamatan Nabi Musa, beberapa riwayat dan tradisi juga mengaitkan hari Asyura dengan berbagai peristiwa penting lainnya dalam sejarah para nabi. Meskipun sebagian riwayat ini tidak sekuat atau seotentik riwayat tentang Nabi Musa, namun keberadaan mereka menunjukkan bagaimana hari ini telah menjadi wadah bagi memori kolektif umat Islam tentang mukjizat dan intervensi ilahi.

  • Berlabuhnya Kapal Nabi Nuh AS: Dikatakan bahwa bahtera Nabi Nuh AS berlabuh dengan selamat di Gunung Judi setelah banjir besar pada hari Asyura. Peristiwa ini melambangkan permulaan baru bagi umat manusia setelah pemusnahan kaum yang zalim.
  • Kelahiran Nabi Ibrahim AS: Beberapa tradisi menyebutkan bahwa Nabi Ibrahim AS lahir pada hari Asyura. Ibrahim adalah bapak para nabi dan figur sentral dalam Islam, Yahudi, dan Kristen, sehingga hari kelahirannya akan memiliki makna besar.
  • Keluarnya Nabi Yunus AS dari Perut Ikan: Peristiwa Nabi Yunus AS yang ditelan ikan besar dan kemudian dimuntahkan kembali dengan selamat juga dikaitkan dengan hari Asyura. Ini adalah kisah tentang pertobatan, kesabaran, dan rahmat ilahi.
  • Taubat Nabi Adam AS Diterima: Ada yang mengatakan bahwa taubat Nabi Adam AS setelah memakan buah terlarang diterima oleh Allah SWT pada hari Asyura. Ini melambangkan pengampunan dan kemurahan Allah.
  • Kesembuhan Nabi Ayyub AS: Nabi Ayyub AS yang diuji dengan penyakit parah dan kehilangan, dikatakan sembuh dari penyakitnya pada hari Asyura. Kisah ini adalah simbol kesabaran dan keteguhan dalam menghadapi cobaan.

Meskipun tidak semua riwayat ini memiliki tingkat keabsahan yang sama, keberadaan mereka menunjukkan kekayaan narasi seputar Asyura. Hari ini menjadi simbol universal bagi keselamatan, pertolongan ilahi, dan kemenangan kebenasan atas kebatilan di sepanjang sejarah profetik.

Bulan Sabit dan Bintang Simbol bulan sabit dan bintang yang melambangkan Islam.
Ilustrasi bulan sabit dan bintang, simbol yang sering dikaitkan dengan Islam secara umum.

2.3. Peristiwa Karbala: Tragedi yang Mengubah Sejarah Islam

Namun, tidak ada peristiwa yang lebih memberikan makna mendalam dan mengubah arah perayaan Asyura dalam sejarah Islam selain tragedi Karbala pada tahun 61 Hijriah (680 Masehi). Peristiwa ini adalah titik balik yang memisahkan dan mendefinisikan secara tajam cara Muslim Sunni dan Syiah memperingati Asyura. Di Karbala, Iraq, Imam Husain bin Ali, cucu Nabi Muhammad SAW, bersama keluarga dan sejumlah kecil pengikut setianya, dikepung dan dibantai secara tragis oleh pasukan Khalifah Yazid bin Muawiyah.

2.3.1. Latar Belakang Konflik

Konflik yang berujung pada Karbala berakar pada perselisihan suksesi kepemimpinan Islam setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW. Setelah wafatnya Khalifah Ali bin Abi Thalib, Muawiyah bin Abu Sufyan, gubernur Syam (Suriah), mendirikan Dinasti Umayyah dan menjadikan kekhalifahan bersifat turun-temurun. Ia menunjuk putranya, Yazid, sebagai penerus. Penunjukan ini melanggar perjanjian damai antara Muawiyah dan Hasan bin Ali (kakak Imam Husain) yang mensyaratkan bahwa kekhalifahan akan dikembalikan kepada keluarga Nabi setelah Muawiyah. Banyak Muslim yang tidak setuju dengan sistem monarki ini, dan menganggapnya sebagai penyimpangan dari prinsip-prinsip Islam awal.

Ketika Yazid naik takhta, ia menuntut baiat (sumpah setia) dari semua Muslim, termasuk Imam Husain. Imam Husain, yang melihat Yazid sebagai penguasa yang tidak adil dan tidak bermoral, menolak untuk memberikan baiat. Bagi Husain, memberikan baiat kepada Yazid berarti melegitimasi kezaliman dan korupsi yang ia yakini akan menghancurkan nilai-nilai Islam yang dibawa oleh kakeknya, Nabi Muhammad SAW. Penolakannya adalah sebuah pernyataan prinsip, sebuah penegasan bahwa kepemimpinan dalam Islam haruslah berdasarkan keadilan, ketakwaan, dan moralitas, bukan sekadar kekuasaan politik.

2.3.2. Perjalanan Menuju Karbala

Setelah menolak baiat, Imam Husain meninggalkan Madinah menuju Mekah, dan kemudian atas undangan penduduk Kufah yang berjanji akan mendukungnya, ia memutuskan untuk pergi ke Kufah. Namun, di tengah jalan, pasukannya dihadang oleh pasukan Yazid. Penduduk Kufah yang menjanjikan dukungan, pada akhirnya mengkhianati Husain karena tekanan dan ancaman dari gubernur Umayyah, Ubaidullah bin Ziyad. Imam Husain dan rombongannya yang terdiri dari sekitar 72 orang (termasuk wanita dan anak-anak) dikepung di sebuah dataran bernama Karbala, di wilayah Iraq modern.

Pasukan Umayyah yang jauh lebih besar memblokir akses mereka ke air Sungai Eufrat selama beberapa hari. Kehausan yang parah, terutama bagi anak-anak dan wanita, menjadi salah satu siksaan terberat yang mereka alami.

2.3.3. Pertempuran dan Kesyahidan

Pada hari Asyura, 10 Muharram 61 H, pertempuran yang tidak seimbang itu pun pecah. Imam Husain dan para pengikutnya bertempur dengan gagah berani melawan ribuan tentara Yazid. Satu per satu, anggota keluarga Nabi dan sahabat setia Husain gugur sebagai syuhada, termasuk putranya yang masih kecil, Ali al-Asghar, yang syahid karena panah saat Husain mencoba memohon air untuknya. Saudara Husain, Abbas bin Ali, yang dikenal sebagai pemberani dan pembawa bendera, juga syahid saat mencoba mendapatkan air.

Akhirnya, Imam Husain sendiri menghadapi pasukan musuh. Meskipun kehausan dan luka-luka, ia bertempur dengan keberanian luar biasa. Namun, karena kalah jumlah dan kelelahan, ia akhirnya dikepung dan dibunuh secara brutal. Kepalanya dipenggal dan diarak sebagai piala perang, sementara tubuhnya diinjak-injak kuda. Seluruh pejuang pria dari keluarga Husain, kecuali putranya yang sakit, Ali Zainal Abidin, syahid di hari itu. Para wanita dan anak-anak yang selamat ditawan dan diarak dalam keadaan terhina ke Kufah dan kemudian ke Damaskus, ibu kota Umayyah.

Tragedi Karbala bukan hanya pembantaian; itu adalah pengkhianatan nilai-nilai Islam, sebuah kejahatan besar terhadap keluarga Nabi, dan titik di mana perpecahan Sunni-Syiah menjadi lebih dalam dan traumatis. Peristiwa ini melahirkan duka yang tak tersembunyi, sekaligus menjadi simbol pengorbanan tertinggi demi keadilan, kebenaran, dan perlawanan terhadap kezaliman. Karbala adalah sebuah seruan abadi bahwa umat Islam harus berdiri teguh di atas prinsip-prinsip moral, bahkan di hadapan ancaman kematian.

3. Asyura dalam Perspektif Muslim Sunni

Bagi mayoritas Muslim Sunni, hari Asyura memiliki signifikansi yang berbeda dibandingkan dengan Muslim Syiah. Meskipun mereka mengakui kesyahidan Imam Husain sebagai tragedi besar, fokus utama peringatan Asyura dalam tradisi Sunni adalah pada puasa sunnah dan mengenang peristiwa-peristiwa positif yang terjadi pada hari itu.

3.1. Keutamaan Puasa Asyura dan Tasu'a

Dalam ajaran Sunni, puasa pada hari Asyura adalah salah satu puasa sunnah yang paling utama dan dianjurkan. Nabi Muhammad SAW sangat menekankan keutamaannya. Sebagaimana disebutkan sebelumnya, ketika Nabi Muhammad SAW tiba di Madinah, beliau melihat orang-orang Yahudi berpuasa Asyura sebagai bentuk syukur atas penyelamatan Nabi Musa AS dari Fir'aun. Nabi kemudian bersabda, "Kami lebih berhak (dekat) kepada Musa daripada kalian," dan beliau pun berpuasa serta memerintahkan para sahabatnya untuk berpuasa. Setelah itu, ketika puasa Ramadhan diwajibkan, puasa Asyura menjadi sunnah.

Hadis-hadis Nabi Muhammad SAW secara eksplisit menyebutkan keutamaan puasa Asyura. Salah satu hadis yang paling terkenal diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Abu Qatadah RA, bahwa Nabi SAW ditanya tentang puasa hari Asyura, maka beliau menjawab: "Puasa Asyura menghapus dosa setahun yang lalu." (HR. Muslim). Ini adalah motivasi yang sangat besar bagi umat Islam untuk melaksanakan puasa ini, sebagai cara untuk membersihkan diri dari dosa-dosa kecil yang telah diperbuat.

Untuk membedakan praktik Muslim dari Yahudi, Nabi Muhammad SAW juga menganjurkan untuk berpuasa pada hari kesembilan Muharram (Tasua) bersamaan dengan Asyura. Beliau bersabda: "Jika aku masih hidup sampai tahun depan, sungguh aku akan berpuasa pada hari kesembilan (Tasua)." (HR. Muslim). Maka dari itu, bagi Muslim Sunni, yang paling utama adalah berpuasa pada tanggal 9 dan 10 Muharram, atau setidaknya tanggal 10 Muharram saja. Berpuasa pada tanggal 11 Muharram juga dianjurkan sebagai pelengkap jika tidak bisa berpuasa Tasu'a atau untuk berjaga-jaga jika ada kekeliruan dalam penentuan tanggal 10 Muharram.

3.1.1. Hikmah Puasa Asyura

Puasa Asyura memiliki banyak hikmah. Selain sebagai bentuk syukur atas pertolongan Allah kepada Nabi Musa dan Bani Israil, puasa ini juga melatih kesabaran, pengendalian diri, dan meningkatkan ketakwaan. Ini adalah kesempatan untuk memperbanyak amal kebaikan, mendekatkan diri kepada Allah, dan merenungkan kekuasaan-Nya. Pahala yang dijanjikan, yaitu pengampunan dosa setahun yang lalu, menunjukkan betapa besar nilai ibadah ini di sisi Allah SWT.

Para ulama menjelaskan bahwa dosa yang dihapuskan oleh puasa Asyura adalah dosa-dosa kecil (saghair). Adapun dosa-dosa besar (kabair) membutuhkan taubat nasuha (taubat yang sungguh-sungguh) untuk diampuni. Meskipun demikian, pengampunan dosa kecil ini adalah anugerah besar dari Allah yang tidak boleh disia-siakan.

3.2. Hari Keselamatan Para Nabi

Dalam narasi Sunni, Asyura juga seringkali dirayakan sebagai hari di mana banyak peristiwa penting yang menunjukkan pertolongan Allah kepada para nabi-Nya terjadi. Ini mencakup penyelamatan Nabi Musa, berlabuhnya kapal Nabi Nuh, keluarnya Nabi Yunus dari perut ikan, diterimanya taubat Nabi Adam, dan kesembuhan Nabi Ayyub. Meskipun tidak semua peristiwa ini memiliki dalil yang sekuat hadis tentang Nabi Musa, namun keberadaan narasi-narasi ini memperkaya makna Asyura sebagai hari keberkahan, rahmat, dan mukjizat ilahi.

Pandangan ini menempatkan Asyura sebagai hari optimisme dan harapan, di mana kebaikan dan kebenaran selalu akan menang dengan pertolongan Allah. Ini adalah hari untuk merayakan intervensi ilahi dalam sejarah manusia, yang mengukuhkan keyakinan akan keesaan Allah dan kekuasaan-Nya yang tak terbatas.

3.3. Pandangan Terhadap Tragedi Karbala

Meskipun Muslim Sunni tidak memperingati Asyura dengan duka cita dan ritual perkabungan seperti Syiah, mereka mengakui kesyahidan Imam Husain bin Ali di Karbala sebagai tragedi besar dan salah satu peristiwa paling menyedihkan dalam sejarah Islam. Imam Husain dihormati sebagai cucu Nabi, seorang imam yang agung, dan seorang syahid yang mulia.

Para ulama Sunni mengecam keras tindakan pasukan Yazid bin Muawiyah yang membunuh Imam Husain dan keluarganya. Mereka menganggap Yazid dan para pelakunya sebagai orang-orang yang zalim dan berdosa besar. Namun, dalam tradisi Sunni, penekanan duka cita atas Karbala tidak menjadi pusat peringatan Asyura. Ini karena Islam secara umum melarang meratap secara berlebihan, mencabik-cabik pakaian, atau memukul-mukul diri dalam kesedihan yang berlarut-larut, meskipun berkabung dalam batas-batas syariat diperbolehkan.

Sebaliknya, peringatan Asyura bagi Sunni lebih difokuskan pada amalan ibadah yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW, yaitu puasa. Dengan berpuasa, umat Sunni berharap mendapatkan pengampunan dosa dan mendekatkan diri kepada Allah SWT, sebagai bentuk syukur dan ketaatan terhadap sunnah Nabi.

Pelajaran dari Karbala bagi Sunni adalah tentang pentingnya keadilan, keberanian dalam menghadapi kezaliman, dan pengorbanan demi prinsip-prinsip Islam. Kisah Husain adalah inspirasi untuk tidak menyerah pada tirani, namun cara mengenangnya tetap dalam koridor ajaran dan sunnah Nabi Muhammad SAW, tanpa ritual-ritual yang dianggap bertentangan.

4. Asyura dalam Perspektif Muslim Syiah

Bagi Muslim Syiah, Asyura adalah hari yang paling sakral dan paling menyedihkan dalam setahun. Hari ini bukan hanya sekadar peringatan historis, tetapi merupakan inti dari identitas, spiritualitas, dan falsafah hidup mereka. Asyura adalah hari berkabung universal untuk memperingati kesyahidan Imam Husain bin Ali, cucu Nabi Muhammad SAW, di Karbala.

4.1. Hari Duka Cita Nasional dan Global

Dalam tradisi Syiah, Asyura dikenal sebagai 'Hari Pengorbanan' atau 'Hari Berkabung'. Ini adalah hari di mana langit dan bumi, bahkan para malaikat, ikut menangisi tragedy yang menimpa keluarga Nabi. Peristiwa Karbala, yang merupakan pembantaian Imam Husain dan para pengikutnya, dipandang sebagai puncak kezaliman dan pengkhianatan terhadap nilai-nilai Islam sejati.

Pada hari Asyura, jutaan Muslim Syiah di seluruh dunia berpartisipasi dalam ritual perkabungan yang mendalam. Suasana duka menyelimuti kota-kota dan desa-desa. Masjid-masjid, husainiyah (pusat-pusat perkabungan Syiah), dan jalan-jalan dipenuhi dengan umat yang mengenakan pakaian hitam, melambangkan kesedihan dan berkabung. Peringatan ini dimulai sejak awal bulan Muharram, mencapai puncaknya pada hari Tasua (9 Muharram) dan Asyura (10 Muharram), dan seringkali berlanjut hingga beberapa hari setelahnya.

Bagi Syiah, Karbala bukan hanya sebuah peristiwa historis, melainkan sebuah epik abadi tentang perjuangan antara kebenaran dan kebatilan, keadilan dan kezaliman, cahaya dan kegelapan. Imam Husain adalah simbol perlawanan terhadap tirani, dan kesyahidannya adalah pengorbanan tertinggi demi menjaga kemurnian Islam dan menegakkan keadilan.

4.2. Ritual dan Amalan Peringatan Asyura

Peringatan Asyura dalam tradisi Syiah sangat kaya akan ritual dan amalan. Tujuan utama dari semua ritual ini adalah untuk mengekspresikan duka cita, mengenang pengorbanan Imam Husain, merasakan penderitaannya, dan memperbarui komitmen terhadap nilai-nilai yang diperjuangkan Husain.

4.2.1. Majelis Takziah dan Marthiya

Ritual yang paling umum adalah "Majelis Takziah" (majelis duka cita) atau "Majelis Aza", di mana para penceramah atau ulama membacakan kisah-kisah tragis tentang Karbala, menyoroti penderitaan Imam Husain, keluarganya, dan para sahabatnya. Pembacaan ini seringkali diselingi dengan puisi-puisi elegi yang disebut "Marthiya" (ratapan) atau "Nawha" (tangisan), yang diiringi oleh irama kesedihan. Para hadirin akan menangis, meratap, dan memukul-mukul dada mereka dengan lembut (disebut "matam" atau "sineh-zani") sebagai ekspresi simpati mendalam dan partisipasi dalam kesedihan keluarga Nabi. Ini adalah cara untuk merasakan penderitaan yang dialami Imam Husain dan para syuhada Karbala.

Melalui Majelis Takziah, umat Syiah tidak hanya mengenang sejarah, tetapi juga menghidupkan kembali semangat Karbala di hati mereka. Kisah-kisah ini berfungsi sebagai pengingat akan pengorbanan besar yang dilakukan demi kebenaran, dan sebagai inspirasi untuk melawan ketidakadilan di zaman sekarang.

4.2.2. Muharram Processions (Pawaii Muharram)

Di banyak negara, terutama di Iran, Irak, Pakistan, India, dan negara-negara dengan komunitas Syiah yang besar, diadakan pawai besar-besaran di jalan-jalan. Para peserta pawai membawa spanduk hitam, bendera, dan replika Dzuljanah (kuda Imam Husain). Beberapa pawai melibatkan "Tatbir" atau "Zanjir-Zani", yaitu ritual memukul punggung dengan rantai berbilah atau melukai kepala dengan pedang kecil sebagai ekspresi duka cita yang ekstrem dan identifikasi dengan penderitaan Imam Husain. Praktik ini kontroversial bahkan di kalangan Syiah sendiri, dengan banyak ulama yang melarangnya karena dianggap membahayakan diri dan mencoreng citra Islam. Namun, bagi mereka yang melakukannya, ini adalah bentuk pengorbanan pribadi sebagai simbol kesediaan untuk menumpahkan darah demi Imam Husain, sebagaimana Husain menumpahkan darahnya demi Islam.

4.2.3. Pemberian Makanan (Nazr)

Sangat umum bagi Muslim Syiah untuk menyiapkan dan membagikan makanan (Nazr) kepada orang-orang miskin dan semua yang hadir dalam majelis perkabungan. Ini adalah tindakan sedekah dan kebaikan yang dilakukan atas nama Imam Husain dan para syuhada Karbala, dengan harapan mendapatkan pahala dan berkah dari Allah SWT.

4.2.4. Larangan Perayaan dan Hiburan

Selama bulan Muharram, khususnya pada hari Asyura, Muslim Syiah secara ketat menghindari segala bentuk perayaan, hiburan, pernikahan, atau aktivitas yang dianggap menyenangkan. Ini adalah periode duka dan introspeksi, di mana fokus sepenuhnya pada mengenang Karbala dan memperbarui komitmen spiritual.

Lilin dengan Api yang Berkobar Simbol lilin yang terbakar, melambangkan ingatan, duka, dan pencerahan.
Ilustrasi lilin yang terbakar, seringkali digunakan sebagai simbol duka dan peringatan.

4.3. Falsafah dan Pelajaran dari Karbala

Asyura dan Karbala bukan hanya tentang duka cita; mereka adalah sumber inspirasi yang mendalam bagi Muslim Syiah. Beberapa falsafah utama yang diambil dari Karbala adalah:

  • Perlawanan terhadap Kezaliman: Imam Husain memilih mati daripada tunduk pada penguasa yang zalim. Ini menjadi prinsip dasar bagi Syiah untuk selalu menentang kezaliman dan ketidakadilan, di mana pun dan kapan pun.
  • Pengorbanan Diri: Kesyahidan Husain adalah puncak pengorbanan demi kebenaran. Ini mengajarkan pentingnya mengorbankan segalanya, bahkan nyawa, demi prinsip-prinsip luhur Islam.
  • Keberanian dan Keteguhan: Meskipun dikepung dan kalah jumlah, Husain dan para pengikutnya tidak gentar. Mereka berjuang hingga akhir, menunjukkan keberanian dan keteguhan yang luar biasa dalam mempertahankan keyakinan.
  • Keadilan Sosial: Perjuangan Husain adalah untuk menegakkan keadilan sosial dan moralitas dalam pemerintahan Islam, yang telah disimpangkan oleh Dinasti Umayyah.
  • Cinta Ahlul Bait: Peringatan Asyura juga merupakan ekspresi kecintaan yang mendalam terhadap Ahlul Bait (keluarga Nabi) dan komitmen untuk mengikuti jejak mereka.

Melalui peringatan Asyura, Syiah terus menerus memperbarui ikatan mereka dengan Imam Husain dan revolusi Karbala. Ini adalah janji untuk tidak melupakan pengorbanan dan untuk senantiasa memperjuangkan nilai-nilai yang Husain syahid karenanya.

5. Amalan-Amalan Umum di Hari Asyura

Terlepas dari perbedaan interpretasi antara Sunni dan Syiah, ada beberapa amalan yang secara umum dilakukan atau dianjurkan oleh berbagai kalangan Muslim di hari Asyura, meskipun dengan fokus dan penekanan yang berbeda.

5.1. Berpuasa

Amalan puasa adalah yang paling dominan dan dianjurkan secara luas di hari Asyura, terutama bagi Muslim Sunni. Puasa sunnah ini dapat dilakukan pada tanggal 10 Muharram saja, atau lebih utama lagi jika digabungkan dengan puasa Tasu'a (9 Muharram) untuk membedakan dari tradisi Yahudi. Beberapa ulama juga menganjurkan puasa pada tanggal 11 Muharram sebagai pelengkap. Keutamaan puasa ini adalah penghapus dosa setahun yang lalu, sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW.

Bagi Muslim Syiah, puasa pada hari Asyura umumnya dihindari, terutama puasa yang diniatkan sebagai rasa syukur atau perayaan, karena bagi mereka ini adalah hari duka cita yang mendalam. Namun, sebagian Syiah mungkin berpuasa sebagai bentuk simbolis kesedihan dan penolakan terhadap makanan dan minuman sebagai empati terhadap kelaparan dan kehausan Imam Husain dan keluarganya di Karbala.

5.2. Bersedekah dan Memberi Makan

Sedekah adalah amalan mulia yang dianjurkan kapan saja dalam Islam, dan sangat ditekankan pada hari-hari istimewa seperti Asyura. Baik Sunni maupun Syiah menganjurkan sedekah pada hari ini. Bagi Sunni, ini adalah bentuk syukur dan mencari pahala. Bagi Syiah, sedekah seringkali dilakukan dalam bentuk pemberian makanan (Nazr) kepada orang-orang miskin, yatim, dan mereka yang hadir dalam majelis duka cita, sebagai bentuk persembahan atas nama Imam Husain dan keluarganya.

Tradisi berbagi makanan, seperti bubur Asyura di Indonesia atau masakan khusus lainnya di berbagai negara, adalah manifestasi dari semangat sedekah dan kebersamaan pada hari ini. Ini adalah cara untuk saling membantu dan menunjukkan kasih sayang kepada sesama, sekaligus mengenang kemurahan hati dan pengorbanan.

5.3. Berdoa dan Berzikir

Memperbanyak doa, zikir, dan istighfar adalah amalan yang sangat dianjurkan pada hari Asyura. Umat Muslim dianjurkan untuk memohon ampunan dosa, meminta keberkahan, dan menyampaikan hajat-hajat kepada Allah SWT. Khususnya bagi Syiah, doa-doa dan zikir yang dibaca seringkali mencakup ratapan dan salam kepada Imam Husain dan para syuhada Karbala, seperti "Ziarat Ashura", sebuah doa panjang yang menjadi inti dari ritual duka cita Asyura.

Doa-doa ini berfungsi sebagai sarana untuk memperkuat ikatan spiritual, merenungkan makna kehidupan, dan memohon pertolongan serta bimbingan ilahi. Ini adalah momen untuk introspeksi diri dan memperbarui komitmen spiritual.

5.4. Mandi, Memotong Kuku, dan Bersiwak (Tradisi Tertentu)

Beberapa tradisi lokal, khususnya di kalangan Sunni, menganjurkan amalan mandi, memotong kuku, dan bersiwak (menggosok gigi) pada hari Asyura dengan keyakinan bahwa ini akan membawa keberkahan dan membersihkan diri. Meskipun hadis-hadis yang secara spesifik menganjurkan amalan-amalan ini pada hari Asyura umumnya dianggap dha'if (lemah) atau bahkan maudhu' (palsu) oleh mayoritas ulama hadis, praktik ini tetap hidup dalam budaya dan tradisi sebagian masyarakat Muslim sebagai bentuk kebersihan dan kesucian. Namun, para ulama sering memperingatkan agar tidak menganggapnya sebagai sunnah yang kuat atau bahkan wajib.

5.5. Mengunjungi Orang Sakit dan Menjenguk Yatim

Mengunjungi orang sakit dan menjenguk anak yatim adalah amalan yang sangat dianjurkan dalam Islam secara umum, dan pada hari-hari yang diberkahi seperti Asyura, pahalanya diyakini lebih besar. Amalan ini mencerminkan semangat kepedulian sosial, kasih sayang, dan empati terhadap mereka yang kurang beruntung atau sedang dalam kesulitan. Ini adalah cara untuk meneladani akhlak mulia Nabi Muhammad SAW yang selalu peduli terhadap sesama.

5.6. Memperbanyak Silaturahmi

Mempererat tali silaturahmi dengan keluarga, kerabat, dan teman-teman juga merupakan amalan yang baik. Menghubungi dan mengunjungi mereka dapat memperkuat ikatan sosial dan mendatangkan berkah. Meskipun tidak ada dalil khusus yang mengaitkannya dengan Asyura, namun secara umum Islam sangat menganjurkan silaturahmi. Dalam konteks Asyura, ini bisa menjadi kesempatan untuk saling berbagi kebaikan dan mendoakan satu sama lain.

Mangkuk Bubur Asyura Ilustrasi mangkuk bubur dengan sendok, melambangkan tradisi makan bubur Asyura.
Ilustrasi mangkuk bubur Asyura, tradisi kuliner yang populer di beberapa wilayah.

6. Asyura di Berbagai Belahan Dunia

Perayaan dan peringatan Asyura diwarnai oleh beragam budaya dan tradisi lokal di seluruh dunia Muslim. Meskipun inti maknanya tetap sama (entah itu syukur atau duka), cara ekspresinya berbeda-beda sesuai dengan konteks sosial dan budaya masyarakatnya.

6.1. Indonesia

Di Indonesia, mayoritas Muslim adalah Sunni, sehingga peringatan Asyura cenderung berpusat pada amalan puasa sunnah. Namun, ada tradisi unik yang sangat populer di berbagai daerah: membuat dan memakan "Bubur Asyura". Bubur ini biasanya terbuat dari berbagai macam bahan, seperti biji-bijian, sayuran, kacang-kacangan, dan rempah-rempah, melambangkan keberagaman dan kesatuan. Setiap daerah mungkin memiliki resep bubur Asyura yang khas.

Tradisi membuat Bubur Asyura ini memiliki akar yang beragam. Ada yang mengaitkannya dengan kisah Nabi Nuh AS yang membuat bubur dari berbagai sisa makanan setelah bahteranya berlabuh. Ada pula yang melihatnya sebagai simbol kebersamaan dan sedekah, di mana bubur dibagikan kepada tetangga, fakir miskin, dan anggota komunitas lainnya. Ini adalah cara masyarakat mengekspresikan rasa syukur, berbagi kebaikan, dan mempererat tali silaturahmi.

Selain Bubur Asyura, di beberapa daerah di Sumatera Barat (Pariaman) dan Bengkulu, terdapat tradisi "Tabuik" atau "Tabot". Tradisi ini merupakan adaptasi lokal dari peringatan Asyura yang dibawa oleh imigran Muslim Syiah dari India. Tabuik/Tabot adalah prosesi mengarak replika keranda atau makam Imam Husain yang dihias dengan indah, yang kemudian dilarung ke laut atau sungai. Meskipun berakar pada tradisi Syiah, di Indonesia Tabuik/Tabot seringkali telah menjadi festival budaya lokal yang menarik banyak wisatawan, bahkan bagi mereka yang tidak berlatar belakang Syiah.

6.2. Irak dan Iran

Irak, khususnya kota Karbala, adalah pusat peringatan Asyura bagi Muslim Syiah. Jutaan peziarah dari seluruh dunia membanjiri Karbala untuk mengenang kesyahidan Imam Husain di tempat yang sebenarnya. Ritual-ritual yang dilakukan sangat mendalam, termasuk ziarah ke makam Imam Husain dan Abbas, Majelis Takziah yang tak terhitung jumlahnya, serta pawai-pawai besar yang penuh dengan ratapan dan matam.

Iran, sebagai negara mayoritas Syiah, juga menyaksikan peringatan Asyura yang sangat meriah dan khidmat. Seluruh negeri dipenuhi dengan simbol-simbol duka cita: bendera hitam berkibar di mana-mana, acara-acara Majelis Takziah diadakan di setiap sudut kota, dan pawai-pawai besar dilakukan dengan penuh emosi. Teater jalanan yang dikenal sebagai "Ta'ziyeh" atau "Syabih Khani" juga sering dipentaskan, di mana para aktor memerankan peristiwa-peristiwa Karbala untuk menghidupkan kembali tragedi tersebut dan mengajarkan pelajarannya kepada generasi muda.

6.3. India dan Pakistan

Di India dan Pakistan, dengan populasi Syiah yang signifikan, peringatan Muharram dan Asyura juga sangat menonjol. Tradisi "Azadari" (perkabungan) sangat kuat, melibatkan Majelis Takziah, pembacaan Marthiya dan Nawha, serta pawai "Juloos" (prosesi) yang membawa "Taziyah" (replika makam Imam Husain) dan "Alam" (bendera). Ritual-ritual matam dan zanjir-zani juga dapat ditemukan dalam tingkatan yang berbeda. Masyarakat Sunni di kedua negara ini juga sering menghormati Asyura dengan puasa sunnah dan sedekah.

6.4. Lebanon dan Suriah

Di Lebanon, komunitas Syiah yang besar juga memperingati Asyura dengan upacara yang khidmat, terutama di Beirut dan kota-kota di selatan. Majelis Takziah dan pawai-pawai duka cita adalah hal yang umum. Di Suriah, khususnya di Damaskus, di mana makam Sayyidah Zainab (saudari Imam Husain yang menjadi saksi mata Karbala) berada, juga menjadi pusat ziarah dan perkabungan yang penting.

6.5. Negara-negara Afrika Utara dan Sub-Sahara

Di negara-negara seperti Mesir, Maroko, atau Nigeria, meskipun mayoritas Sunni, Asyura masih memiliki tempat dalam tradisi lokal. Di beberapa tempat, masih ada kebiasaan berbagi makanan khusus, membersihkan rumah, atau berpuasa. Beberapa komunitas Muslim Syiah yang tersebar juga melakukan peringatan Asyura sesuai tradisi mereka, meskipun mungkin tidak sebesar di Timur Tengah atau Asia Selatan.

Keragaman ini menunjukkan bagaimana Asyura telah menyatu dengan berbagai budaya, membentuk ekspresi spiritual yang kaya dan bervariasi, namun tetap menjaga inti maknanya bagi masing-masing komunitas.

7. Falsafah dan Pelajaran Universal dari Asyura

Terlepas dari perbedaan dalam cara memperingatinya, Asyura mengandung pelajaran dan falsafah universal yang relevan bagi seluruh umat manusia, baik Muslim maupun non-Muslim. Kisah-kisah yang terkait dengan Asyura, dari penyelamatan Nabi Musa hingga kesyahidan Imam Husain, sarat dengan hikmah yang abadi.

7.1. Pentingnya Keadilan dan Perlawanan terhadap Kezaliman

Asyura, terutama melalui lensa Karbala, adalah pengingat abadi akan pentingnya keadilan. Perjuangan Imam Husain adalah simbol perlawanan terhadap kezaliman, korupsi, dan penyalahgunaan kekuasaan. Ia mengajarkan bahwa nilai-nilai moral dan prinsip-prinsip kebenaran tidak boleh ditukar dengan kenyamanan atau keselamatan pribadi. Pesan ini relevan di setiap zaman: bahwa setiap individu memiliki tanggung jawab moral untuk menentang ketidakadilan dan membela yang tertindas, bahkan jika itu berarti pengorbanan yang besar.

Kisah Nabi Musa dan Fir'aun juga menegaskan prinsip ini. Allah SWT senantiasa menolong hamba-hamba-Nya yang berjuang melawan tirani dan kezaliman. Ini memberikan harapan dan kekuatan bagi mereka yang sedang berjuang demi keadilan di dunia ini.

7.2. Pengorbanan dan Keberanian

Asyura adalah kisah tentang pengorbanan tertinggi. Baik itu pengorbanan Nabi Musa yang memimpin kaumnya keluar dari Mesir, maupun pengorbanan Imam Husain yang menyerahkan nyawanya demi prinsip. Ini mengajarkan bahwa ada nilai-nilai yang lebih tinggi daripada kehidupan duniawi, dan bahwa keberanian sejati adalah ketika seseorang berani berdiri teguh demi keyakinan, bahkan di hadapan kematian. Pengorbanan Husain di Karbala menjadi simbol abadi dari keberanian moral dan spiritual, yang menginspirasi jutaan orang untuk tidak takut menghadapi tantangan demi kebenusan.

7.3. Kesabaran dan Ketabahan dalam Cobaan

Kisah-kisah para nabi yang terkait dengan Asyura, seperti Nabi Ayyub yang sabar dalam penyakitnya, Nabi Yunus yang tabah dalam perut ikan, dan Nabi Nuh yang gigih membangun bahtera di tengah ejekan, semuanya mengajarkan tentang kesabaran (sabar) dan ketabahan (istiqamah) dalam menghadapi cobaan dan kesulitan hidup. Bahkan di Karbala, Imam Husain dan para pengikutnya menunjukkan kesabaran yang luar biasa di tengah kelaparan, kehausan, dan kematian. Pelajaran ini relevan bagi siapa saja yang menghadapi kesulitan, mengingatkan bahwa dengan kesabaran, pertolongan Allah akan datang.

7.4. Memori Sejarah dan Pembelajaran Berkelanjutan

Asyura menunjukkan betapa pentingnya memori kolektif dan pembelajaran dari sejarah. Dengan mengenang peristiwa-peristiwa ini, umat manusia diingatkan akan kemenangan kebaikan, dampak kezaliman, dan pentingnya mempertahankan nilai-nilai luhur. Sejarah Asyura, dengan segala kerumitannya, berfungsi sebagai cermin untuk merefleksikan kondisi sosial dan moral kita saat ini, serta sebagai panduan untuk masa depan.

7.5. Persatuan dalam Keberagaman

Meskipun Asyura diperingati dengan cara yang berbeda oleh Muslim Sunni dan Syiah, ia tetap merupakan bagian integral dari sejarah Islam yang lebih luas. Perbedaan ini, meskipun terkadang menjadi sumber ketegangan, juga dapat dilihat sebagai refleksi dari kekayaan interpretasi dan pengalaman spiritual dalam Islam. Pelajaran yang dapat diambil adalah pentingnya menghormati perbedaan, mencari titik temu dalam nilai-nilai universal, dan berupaya mencapai persatuan umat Muslim dalam semangat toleransi dan saling pengertian, tanpa mengabaikan akar sejarah dan keyakinan masing-masing.

Kesimpulan: Asyura, Warisan Berharga Umat

Asyura adalah hari yang multi-dimensi, sebuah tapestry yang ditenun dari benang-benang sejarah, spiritualitas, dan tradisi. Dari akar pra-Islamnya, melalui mukjizat penyelamatan Nabi Musa, hingga tragedi monumental di Karbala, Asyura telah menjadi cerminan dari pergulatan abadi antara kebaikan dan kejahatan, keadilan dan kezaliman, harapan dan duka.

Bagi Muslim Sunni, Asyura adalah hari syukur dan pengampunan, di mana puasa sunnah menjadi amalan utama untuk mendekatkan diri kepada Allah dan menghapus dosa-dosa. Ini adalah hari untuk merayakan intervensi ilahi yang telah menyelamatkan para nabi dan umat beriman di sepanjang sejarah. Meskipun tragedi Karbala diakui sebagai peristiwa yang menyedihkan, fokus Sunni tetap pada sunnah Nabi Muhammad SAW yang mendorong puasa dan amal kebaikan pada hari ini.

Di sisi lain, bagi Muslim Syiah, Asyura adalah puncak dari duka cita dan pengorbanan. Ini adalah hari untuk mengenang kesyahidan Imam Husain bin Ali, cucu tercinta Nabi Muhammad SAW, yang memilih untuk mati demi mempertahankan kebenaran dan menentang kezaliman yang dilegitimasi oleh penguasa yang korup. Peringatan Asyura bagi Syiah adalah sebuah deklarasi abadi tentang kesetiaan kepada Ahlul Bait, penolakan terhadap tirani, dan komitmen untuk memperjuangkan keadilan di setiap lini kehidupan.

Kedua perspektif ini, meskipun berbeda dalam ekspresi dan penekanan, sama-sama mengambil pelajaran mendalam dari peristiwa Asyura. Keduanya mengingatkan kita akan pentingnya keberanian dalam menghadapi kezaliman, keteguhan dalam memegang prinsip, kesabaran di tengah cobaan, dan pengorbanan demi nilai-nilai yang lebih tinggi. Asyura mengajarkan bahwa sejarah bukanlah sekadar rentetan peristiwa di masa lalu, melainkan pelajaran hidup yang terus berulang, menuntut refleksi dan tindakan dari setiap generasi.

Sebagai umat manusia, kita diajak untuk mengambil hikmah dari Asyura: untuk berdiri teguh di atas kebenaran, untuk melawan ketidakadilan, untuk mengorbankan diri demi prinsip-prinsip luhur, dan untuk menjaga api harapan agar selalu menyala. Asyura adalah warisan spiritual yang berharga, yang terus menginspirasi dan membentuk identitas miliaran Muslim di seluruh dunia, mendorong mereka untuk menjadi agen perubahan yang membawa kebaikan dan keadilan di muka bumi.

🏠 Homepage