Asas Konkordansi dalam Hukum Perdata Indonesia: Keterkaitan dengan Sistem Hukum Belanda

Sistem hukum perdata di Indonesia memiliki akar sejarah yang kuat dari sistem hukum Belanda. Hal ini tidak terlepas dari masa penjajahan Belanda yang berlangsung selama ratusan tahun. Salah satu prinsip fundamental yang mewarisi dari sistem hukum Belanda adalah asas konkordansi. Asas ini mengacu pada prinsip bahwa peraturan perundang-undangan yang berlaku di negeri induk (Belanda) secara otomatis diberlakukan di daerah jajahannya, termasuk Indonesia, selama belum dicabut atau diubah oleh pemerintah kolonial.

Sejarah dan Latar Belakang Asas Konkordansi

Penerapan asas konkordansi di Indonesia dimulai sejak abad ke-19. Pemerintah kolonial Belanda secara bertahap mengkodifikasi hukum perdata mereka dan memberlakukannya di Hindia Belanda melalui berbagai lembaran negara (Staatsblad). Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) yang berlaku di Indonesia hingga kini, sebagian besar merupakan terjemahan dari Burgerlijk Wetboek Belanda tahun 1838. Penerapan ini didasarkan pada pemikiran bahwa sistem hukum yang sudah mapan di Belanda dianggap sesuai untuk diterapkan di wilayah jajahannya.

Asas konkordansi ini pada dasarnya mencerminkan politik hukum kolonial yang berupaya menyelaraskan sistem hukum yang berlaku di koloni dengan sistem hukum di negara penjajah. Tujuannya adalah untuk menciptakan keseragaman hukum, kemudahan administrasi, dan kepastian hukum dalam kerangka kekuasaan kolonial. Dengan demikian, segala perubahan atau pembaruan hukum di Belanda diharapkan akan secara langsung mempengaruhi hukum yang berlaku di Indonesia.

Implikasi Asas Konkordansi dalam Hukum Perdata Indonesia

Asas konkordansi memiliki implikasi yang sangat mendalam terhadap perkembangan hukum perdata di Indonesia. Pertama, sebagian besar doktrin, prinsip, dan kaidah hukum perdata yang kita kenal saat ini berasal dari tradisi hukum sipil Eropa Kontinental, khususnya yang bersumber dari hukum Belanda. Konsep-konsep seperti perjanjian, kepemilikan, waris, dan keluarga sebagian besar diatur berdasarkan peraturan yang awalnya dibuat di Belanda.

Kedua, asas konkordansi mendorong studi hukum perdata di Indonesia untuk merujuk pada literatur dan yurisprudensi Belanda. Para sarjana hukum dan praktisi hukum pada masa lalu sangat bergantung pada karya-karya hukum dari Belanda untuk memahami dan menafsirkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ini menciptakan semacam "keterikatan intelektual" dengan sistem hukum Belanda.

Ketiga, pembentukan peraturan perundang-undangan perdata di Indonesia pasca-kemerdekaan seringkali masih mengacu pada kerangka yang telah ada. Meskipun upaya reformasi dan kodifikasi hukum nasional terus dilakukan, warisan dari asas konkordansi tetap terasa. Hal ini terlihat dari struktur dan substansi beberapa peraturan perundang-undangan yang masih mencerminkan pengaruh Belanda.

Perkembangan dan Tantangan Pascakemerdekaan

Setelah Indonesia merdeka, pemberlakuan hukum kolonial secara otomatis dipertanyakan. Namun, karena keterbatasan sumber daya dan kebutuhan akan kepastian hukum, banyak peraturan warisan kolonial, termasuk Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, tetap diberlakukan berdasarkan ketentuan peralihan, salah satunya adalah Pasal II Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pasal ini menyatakan bahwa segala peraturan yang ada masih tetap berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini.

Seiring berjalannya waktu, Indonesia telah berupaya untuk mengembangkan sistem hukumnya sendiri yang lebih sesuai dengan kondisi sosial, budaya, dan aspirasi bangsa. Berbagai undang-undang baru telah dibuat, dan beberapa bagian dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata telah direformasi atau digantikan. Namun, proses ini tidak selalu mudah dan seringkali menghadapi tantangan.

Salah satu tantangan utama adalah bagaimana melepaskan diri dari pengaruh historis asas konkordansi secara penuh sambil tetap mempertahankan prinsip-prinsip dasar hukum yang telah teruji. Kebutuhan untuk menciptakan hukum perdata nasional yang mandiri, modern, dan responsif terhadap perkembangan zaman terus menjadi agenda penting. Hal ini memerlukan kajian mendalam, dialog berkelanjutan, dan keberanian untuk melakukan pembaruan hukum yang fundamental.

Meskipun demikian, pemahaman mengenai asas konkordansi tetap krusial bagi para akademisi dan praktisi hukum di Indonesia. Pengetahuan tentang latar belakang historis dan filosofis di balik peraturan perundang-undangan perdata yang berlaku akan memberikan pemahaman yang lebih utuh dan mendalam. Asas konkordansi, sebagai warisan dari masa lalu, telah membentuk pondasi hukum perdata Indonesia dan menjadi titik tolak bagi upaya-upaya pembaharuan di masa kini.

🏠 Homepage