Simbol Hari Asyura yang penuh makna, bulan sabit dan bintang melambangkan permulaan bulan Muharram, dengan latar belakang air sebagai pengingat kisah Nabi Musa AS.
Hari Asyura, yang jatuh pada tanggal 10 Muharram, merupakan salah satu hari yang memiliki kedudukan istimewa dalam kalender Islam. Ia adalah hari yang penuh sejarah, keberkahan, dan amalan-amalan mulia yang dianjurkan untuk dilaksanakan oleh umat Muslim. Keistimewaan hari ini tidak hanya terbatas pada satu peristiwa, melainkan mencakup serangkaian kejadian penting sepanjang sejarah kenabian yang menjadikannya sebuah penanda spiritual yang signifikan.
Bagi sebagian besar umat Muslim, Hari Asyura adalah kesempatan emas untuk meningkatkan ketakwaan, memohon ampunan, dan mendekatkan diri kepada Allah SWT melalui berbagai bentuk ibadah. Namun, penting untuk memahami amalan-amalan apa saja yang memiliki dasar kuat dalam syariat Islam, serta menghindari praktik-praktik yang tidak diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW. Artikel ini akan mengupas tuntas seluk-beluk Hari Asyura, mulai dari sejarahnya, keutamaannya, hingga panduan lengkap mengenai amalan-amalan yang disunnahkan, agar kita dapat memaksimalkan keberkahan hari yang agung ini.
Untuk memahami mengapa Hari Asyura begitu penting, kita perlu menengok kembali ke belakang, pada peristiwa-peristiwa besar yang mengukir sejarah Islam dan umat manusia secara keseluruhan.
Salah satu peristiwa paling fundamental yang berkaitan dengan Hari Asyura adalah penyelamatan Nabi Musa AS dan kaumnya, Bani Israil, dari tirani Firaun dan pasukannya. Peristiwa ini terjadi ketika Allah SWT membelah Laut Merah, memungkinkan Nabi Musa dan pengikutnya melintasi lautan dengan selamat, sementara Firaun dan bala tentaranya ditenggelamkan. Kisah heroik ini diceritakan dalam Al-Qur'an dan menjadi bukti nyata kekuasaan Allah serta janji-Nya untuk menolong hamba-hamba-Nya yang beriman.
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas RA, ia berkata: "Ketika Nabi SAW tiba di Madinah, beliau mendapati orang-orang Yahudi berpuasa pada hari Asyura. Beliau bertanya, 'Puasa apa ini?' Mereka menjawab, 'Ini adalah hari yang agung. Allah menyelamatkan Musa dan kaumnya dari Firaun pada hari ini, maka Musa berpuasa sebagai bentuk syukur. Oleh karena itu kami juga berpuasa.' Maka Nabi SAW bersabda, 'Kami lebih berhak atas Musa daripada kalian.' Lalu beliau berpuasa dan memerintahkan para sahabat untuk berpuasa." (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadits ini menegaskan akar historis puasa Asyura yang terkait erat dengan Nabi Musa AS. Nabi Muhammad SAW, sebagai penerus risalah para nabi sebelumnya, merasa lebih berhak untuk merayakan kemenangan kebenaran atas kebatilan ini, namun dengan corak dan syariat Islam.
Meskipun penyelamatan Nabi Musa adalah peristiwa sentral, beberapa riwayat menyebutkan bahwa Hari Asyura juga menjadi saksi berbagai peristiwa penting lainnya:
Perlu diingat bahwa sebagian riwayat ini mungkin tidak memiliki derajat kesahihan yang sama dengan hadits tentang Nabi Musa, namun secara umum menunjukkan adanya pandangan luas di kalangan ulama tentang kemuliaan Hari Asyura yang mencakup berbagai mukjizat dan rahmat ilahi.
Tidak dapat dipungkiri, Hari Asyura juga sangat lekat dengan peristiwa tragis pembantaian cucu Rasulullah SAW, Sayyidina Husain bin Ali RA, beserta keluarganya di Karbala pada tahun 61 Hijriah. Peristiwa ini adalah luka mendalam bagi umat Islam, terutama bagi kaum Syiah yang menjadikan hari ini sebagai hari berkabung dan mengenang syahidnya Imam Husain. Meskipun demikian, bagi Ahlussunnah wal Jama'ah, Hari Asyura tetap merujuk pada amalan puasa yang disunnahkan jauh sebelum tragedi Karbala terjadi, meskipun kesedihan atas syahidnya cucu Rasulullah tetap ada.
Penting untuk membedakan antara amalan syariat yang dianjurkan berdasarkan sunnah Nabi dengan ekspresi kesedihan yang muncul dari peristiwa Karbala. Amalan pokok Hari Asyura yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW adalah puasa, yang memiliki dasar hukum yang kuat dan tidak berkaitan langsung dengan tragedi Karbala. Umat Muslim diajak untuk mengenang semua peristiwa ini dengan mengambil pelajaran, namun tetap berpegang pada ajaran Nabi SAW dalam beribadah.
Di antara berbagai amalan yang kerap dikaitkan dengan Hari Asyura, ada beberapa yang secara jelas memiliki dasar kuat dalam sunnah Nabi Muhammad SAW. Amalan-amalan ini menjadi fokus utama bagi umat Muslim yang ingin menghidupkan Hari Asyura sesuai tuntunan syariat.
Ilustrasi puasa, amalan utama di Hari Asyura, menggambarkan ketenangan dan ketaatan.
Puasa Asyura adalah amalan paling utama dan paling ditekankan pada Hari Asyura. Keutamaan puasa ini sangat besar, sebagaimana disebutkan dalam hadits Nabi SAW:
"Puasa hari Arafah menghapus dosa-dosa tahun yang lalu dan tahun yang akan datang. Dan puasa hari Asyura menghapus dosa-dosa tahun yang lalu." (HR. Muslim)
Hadits ini menunjukkan bahwa puasa Asyura adalah sarana penghapus dosa-dosa kecil selama satu tahun yang telah berlalu. Ini adalah karunia Allah SWT yang luar biasa bagi hamba-hamba-Nya.
Puasa Asyura telah dikenal bahkan sebelum kedatangan Islam. Orang-orang Quraisy di Makkah sudah terbiasa berpuasa pada hari ini. Ketika Nabi Muhammad SAW tiba di Madinah, beliau mendapati kaum Yahudi juga berpuasa Asyura sebagai bentuk syukur atas penyelamatan Nabi Musa AS dari Firaun. Nabi SAW bersabda, "Kami lebih berhak atas Musa daripada kalian," dan kemudian beliau sendiri berpuasa serta memerintahkan para sahabatnya untuk berpuasa.
Pada awalnya, puasa Asyura adalah puasa wajib, atau setidaknya sangat ditekankan (mu'akkadah) sehingga wajib hukumnya. Namun, setelah turunnya perintah puasa Ramadhan, kedudukan puasa Asyura menjadi sunnah mu'akkadah, artinya sangat dianjurkan namun tidak wajib.
Ketika Nabi SAW mengetahui bahwa kaum Yahudi juga berpuasa pada Hari Asyura, beliau berkeinginan untuk menyelisihi mereka. Beliau bersabda:
"Jika aku hidup sampai tahun yang akan datang, sungguh aku akan berpuasa pada hari kesembilan (Tasu'a)." (HR. Muslim)
Namun, Nabi SAW wafat sebelum mencapai tahun berikutnya. Dari sinilah muncul anjuran untuk berpuasa pada tanggal 9 Muharram (Tasu'a) bersamaan dengan tanggal 10 Muharram (Asyura). Hikmahnya adalah untuk membedakan diri dari kaum Yahudi dan menunjukkan identitas keislaman dalam beribadah. Jadi, anjuran yang paling kuat adalah berpuasa dua hari, yaitu 9 dan 10 Muharram.
Beberapa ulama juga menganjurkan untuk berpuasa pada tanggal 11 Muharram sebagai bentuk kehati-hatian, atau untuk memastikan bahwa seseorang telah berpuasa pada Hari Asyura jika ada keraguan dalam penentuan awal bulan, atau sebagai tambahan kebaikan. Jadi, urutan yang paling afdhal adalah berpuasa 9, 10, dan 11 Muharram. Minimalnya adalah 9 dan 10 Muharram, dan jika tidak mampu, cukup puasa pada 10 Muharram saja.
Sebagaimana puasa sunnah lainnya, niat puasa Asyura dan Tasu'a cukup dilakukan dalam hati. Niat dapat dilakukan sejak malam hari hingga sebelum tergelincir matahari (waktu Dzuhur) pada hari tersebut, asalkan belum melakukan hal-hal yang membatalkan puasa sejak fajar. Contoh niat dalam hati: "Saya berniat puasa sunnah Tasu'a/Asyura karena Allah Ta'ala."
Ketentuan puasa Asyura sama dengan puasa Ramadhan, yaitu menahan diri dari makan, minum, dan hal-hal yang membatalkan puasa lainnya mulai dari terbit fajar hingga terbenam matahari. Bagi wanita yang sedang haid atau nifas, tidak dianjurkan untuk berpuasa, dan tidak ada qadha' untuk puasa sunnah ini.
Selain penghapusan dosa, puasa Asyura mengajarkan kita banyak hal:
Amalan lain yang sering dikaitkan dengan Hari Asyura adalah memperluas nafkah (memberi kelapangan rezeki) kepada keluarga. Ada sebuah hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah RA bahwa Nabi SAW bersabda:
"Barangsiapa melapangkan (memberi kelapangan) kepada keluarganya pada Hari Asyura, niscaya Allah akan melapangkan rezekinya sepanjang tahun itu." (HR. Al-Baihaqi dalam Syu'abul Iman, dengan sanad yang sebagian ulama menguatkannya dan sebagian lagi mendhaifkannya, namun banyak ulama salaf yang mengamalkannya).
Meskipun ada perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai derajat hadits ini, banyak ulama besar, termasuk Imam Sufyan bin Uyainah, yang mengamalkan dan menganjurkan amalan ini. Mereka berpendapat bahwa pengalaman menunjukkan kebenaran janji dalam hadits tersebut. Ini adalah bentuk optimisme dan kepercayaan kepada janji Allah SWT.
Memperluas nafkah tidak berarti berlebihan atau berfoya-foya. Ini bisa dilakukan dengan cara:
Intinya adalah menciptakan suasana kebahagiaan dan kelapangan bagi keluarga pada hari tersebut, sebagai bentuk syukur atas nikmat Allah dan harapan akan kelapangan rezeki di masa mendatang. Amalan ini bukan untuk bermewah-mewah, melainkan untuk berbagi kebahagiaan dan menunjukkan kepedulian. Ini adalah kesempatan untuk mempererat tali silaturahmi di dalam keluarga dan mengajarkan nilai-nilai kedermawanan.
Ilustrasi tangan yang memberi dan menerima, melambangkan sedekah dan kebaikan.
Secara umum, bersedekah adalah amalan mulia yang sangat dianjurkan dalam Islam kapan saja, dan tidak ada hari khusus untuknya. Namun, karena Hari Asyura adalah hari yang istimewa, memperbanyak sedekah pada hari ini tentu akan mendatangkan pahala yang berlipat ganda. Sedekah bukan hanya membersihkan harta, tetapi juga membersihkan jiwa dan mendatangkan keberkahan dari Allah SWT.
Rasulullah SAW bersabda:
"Sedekah itu memadamkan dosa sebagaimana air memadamkan api." (HR. Tirmidzi)
Maka dari itu, memanfaatkan hari Asyura untuk bersedekah kepada fakir miskin, anak yatim, atau siapa saja yang membutuhkan, adalah perbuatan yang sangat terpuji. Ini sejalan dengan semangat kebaikan dan syukur yang meliputi hari Asyura.
Seperti halnya sedekah, doa, dzikir, dan istighfar adalah ibadah yang dianjurkan setiap saat. Namun, pada hari-hari yang mulia seperti Asyura, memperbanyak amalan-amalan ini akan semakin menguatkan koneksi spiritual seseorang dengan Allah SWT. Tidak ada dzikir atau doa khusus yang disyariatkan hanya untuk Hari Asyura, tetapi kita dapat mengintensifkan dzikir dan doa umum yang biasa kita lakukan.
Mengisi hari Asyura dengan dzikir dan doa adalah cara yang efektif untuk mendekatkan diri kepada Allah, mensyukuri nikmat-Nya, dan memohon keberkahan serta ampunan.
Dalam sejarah Islam, tidak jarang muncul praktik-praktik yang tidak memiliki dasar kuat dalam syariat, namun kemudian dikaitkan dengan hari-hari tertentu, termasuk Hari Asyura. Penting bagi seorang Muslim untuk memfilter amalan-amalan tersebut agar tidak terjerumus pada bid'ah (inovasi dalam agama) yang tidak diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW.
Ada sebagian kalangan yang percaya bahwa mandi dan bercelak pada Hari Asyura memiliki keutamaan khusus, seperti akan terhindar dari penyakit mata sepanjang tahun. Kepercayaan ini seringkali didasari oleh hadits-hadits palsu atau sangat lemah yang tidak dapat dijadikan sandaran hukum dalam Islam. Para ulama hadits telah sepakat bahwa hadits-hadits mengenai mandi dan bercelak pada Hari Asyura adalah hadits maudhu' (palsu).
Mandi dan bercelak adalah kebiasaan yang baik untuk kebersihan dan penampilan, tetapi mengaitkannya dengan pahala khusus atau keberkahan tertentu pada Hari Asyura tanpa dalil shahih adalah bentuk bid'ah. Melakukan praktik semacam ini justru berisiko mengurangi pahala atau bahkan mendatangkan dosa karena telah mengada-adakan dalam agama.
Mirip dengan praktik mandi dan bercelak, ada pula kebiasaan memasak makanan khusus atau menyimpan daging (terutama daging kurban jika bertepatan) pada Hari Asyura dengan keyakinan akan mendatangkan keberkahan rezeki. Meskipun niat untuk berbagi makanan dan memberi makan adalah baik, mengkhususkan praktik ini pada Hari Asyura dengan keyakinan adanya keutamaan syar'i tanpa dalil yang jelas adalah bid'ah.
Amalan memperluas nafkah keluarga yang disebutkan sebelumnya adalah berbeda. Ia merujuk pada kebaikan dan kelapangan umum bagi keluarga, bukan pada jenis makanan tertentu atau ritual memasak yang dikaitkan dengan keberkahan khusus secara syariat. Fokusnya adalah pada kebahagiaan dan kebersamaan, bukan pada aspek ritualistik makanan.
Sebagaimana telah disinggung, Hari Asyura memiliki konteks yang berbeda bagi kelompok Muslim yang berbeda. Bagi sebagian besar Ahlussunnah, hari ini adalah hari syukur dan puasa. Bagi sebagian kelompok Syiah, hari ini adalah hari berkabung atas syahidnya Imam Husain RA. Kedua ekstrem, baik itu perayaan yang berlebihan (seperti hari raya) atau kesedihan yang melampaui batas (seperti meratapi, memukul diri, atau melukai diri sendiri), tidak sesuai dengan ajaran Islam yang moderat.
Islam mengajarkan kesederhanaan dan keseimbangan. Perayaan yang mengarah pada kesia-siaan atau kesedihan yang berlebihan hingga melukai diri sendiri atau orang lain, adalah praktik yang dilarang dalam Islam. Kesedihan atas wafatnya para syuhada adalah hal yang wajar, namun harus diekspresikan dengan cara yang sesuai syariat, yaitu dengan mendoakan mereka dan mengambil pelajaran dari keteladanan mereka, bukan dengan ritual-ritual yang menyakiti diri.
Setiap ibadah dalam Islam harus memiliki dasar dari Al-Qur'an dan Sunnah yang shahih. Mengkhususkan shalat tertentu, wirid tertentu, atau amalan-amalan lain pada Hari Asyura tanpa adanya dalil yang kuat adalah bentuk bid'ah. Meskipun niatnya baik, namun dalam masalah ibadah, kebaikan harus sesuai dengan tuntunan syariat.
Prinsip dalam Islam adalah, semua ibadah adalah terlarang kecuali ada dalil yang memerintahkannya (al-ashlu fil ibadati al-taharruum illa ma dalla 'alaih al-dalil). Oleh karena itu, kita harus berhati-hati dan hanya mengamalkan apa yang telah jelas diajarkan oleh Nabi SAW dan para sahabatnya.
Menghindari bid'ah adalah bagian penting dari menjaga kemurnian agama. Dengan berpegang teguh pada sunnah, kita tidak hanya menjamin keabsahan ibadah kita, tetapi juga menjaga diri dari kesesatan dan perpecahan dalam umat.
Di balik peristiwa sejarah dan amalan-amalan yang disunnahkan, Hari Asyura menyimpan banyak hikmah dan pelajaran berharga bagi umat Muslim. Memahami hikmah ini akan meningkatkan kualitas ibadah dan ketaatan kita.
Penyelamatan Nabi Musa AS dan Bani Israil dari Firaun adalah mukjizat besar yang menunjukkan kekuasaan dan kasih sayang Allah SWT. Hari Asyura mengajarkan kita untuk selalu bersyukur atas nikmat-nikmat Allah, terutama nikmat kebebasan, keamanan, dan hidayah. Puasa Asyura sendiri adalah bentuk syukur atas kemenangan kebenaran dan keadilan.
Syukur tidak hanya diungkapkan dengan lisan, tetapi juga dengan perbuatan, yaitu dengan menggunakan nikmat Allah untuk ketaatan kepada-Nya. Hari Asyura menjadi pengingat bahwa Allah senantiasa menolong hamba-hamba-Nya yang beriman dan sabar.
Kisah Nabi Musa yang menghadapi tirani Firaun, kisah Nabi Nuh yang menghadapi banjir bandang, dan kisah Nabi Ayyub yang diuji dengan penyakit, semuanya adalah teladan ketabahan dan kesabaran. Para nabi dan rasul adalah contoh nyata bahwa setiap ujian pasti akan diiringi dengan pertolongan Allah jika kita bersabar dan bertawakkal kepada-Nya.
Hari Asyura mengajak kita untuk merenungkan ujian-ujian hidup, menguatkan iman, dan meneladani kesabaran para nabi. Dalam menghadapi kesulitan, kita harus yakin bahwa pertolongan Allah itu dekat, dan setiap kesulitan pasti ada kemudahan di baliknya.
Peristiwa Nabi Musa dan Firaun adalah pertarungan abadi antara kebenaran (tauhid) melawan kebatilan (kesyirikan dan tirani). Kemenangan Nabi Musa menandai kemenangan keadilan atas kezaliman. Ini adalah pelajaran bahwa pada akhirnya, kebenaran akan selalu menang, meskipun harus melalui perjuangan yang berat.
Umat Islam diajarkan untuk selalu berdiri di sisi keadilan, memperjuangkan kebenaran, dan menentang segala bentuk kezaliman, meskipun risikonya besar. Sejarah Asyura mengingatkan kita bahwa Allah adalah pembela orang-orang yang terzalimi.
Meskipun Hari Asyura memiliki konteks yang berbeda bagi sebagian kelompok Muslim, hikmah terbesarnya adalah potensi untuk bersatu dalam kebaikan dan menghindari perpecahan. Dengan berpegang pada sunnah Nabi SAW yang jelas, kita dapat menghindari perbedaan yang tidak perlu dan fokus pada amalan-amalan yang disepakati.
Mengenang tragedi Karbala dengan penuh duka adalah hal yang wajar, namun harus menjadi pelajaran untuk menghindari fitnah dan perpecahan di masa depan, bukan untuk memicu permusuhan. Umat Islam harus belajar dari sejarah untuk membangun persatuan dan saling menghormati dalam bingkai ukhuwah Islamiyah.
Hari Asyura adalah awal dari tahun baru Hijriah, sehingga menjadi momen yang tepat untuk melakukan muhasabah. Menilai kembali amal perbuatan selama setahun terakhir, bertaubat dari dosa-dosa, dan bertekad untuk menjadi pribadi yang lebih baik di masa depan.
Puasa Asyura yang menghapus dosa-dosa setahun yang lalu adalah tawaran agung dari Allah untuk memulai lembaran baru dengan hati yang bersih. Ini adalah kesempatan untuk memperbarui niat, memperkuat azam (tekad), dan meningkatkan kualitas ibadah kita.
Untuk memastikan kita mendapatkan keberkahan penuh dari Hari Asyura, berikut adalah panduan praktis untuk menghidupkannya:
Beberapa hari sebelum 9 Muharram, niatkanlah dengan sungguh-sungguh untuk berpuasa Tasu'a dan Asyura (9 & 10 Muharram), atau bahkan hingga 11 Muharram. Ingatlah keutamaan puasa ini sebagai penghapus dosa setahun yang lalu dan sebagai bentuk syukur kepada Allah SWT. Persiapkan diri secara fisik dan mental.
Ketika berpuasa, lakukanlah dengan penuh kesadaran dan keikhlasan. Hindari perbuatan sia-sia, perbanyaklah ibadah, dan manfaatkan waktu puasa untuk refleksi diri. Puasa bukan hanya menahan lapar dan haus, tetapi juga menahan hawa nafsu dan memperbanyak amal kebaikan.
Pada tanggal 10 Muharram, berikanlah kelapangan kepada keluarga Anda. Ini bisa berupa hidangan yang sedikit lebih istimewa dari biasanya, atau sekadar momen kebersamaan yang lebih berkualitas. Tujuannya adalah untuk menciptakan suasana bahagia dan penuh syukur, bukan untuk menghamburkan harta. Ajarkan anak-anak tentang pentingnya berbagi dan bersyukur.
Selain puasa, perbanyaklah amalan-amalan seperti:
Jadilah seorang Muslim yang cerdas dan kritis. Jangan mudah terpengaruh oleh tradisi atau amalan yang tidak memiliki dasar kuat dalam syariat. Selalu rujuk kepada Al-Qur'an dan Sunnah yang shahih. Jika ragu, tanyakan kepada ulama yang berilmu dan terpercaya.
Manfaatkan hari Asyura untuk mempelajari dan merenungkan kisah-kisah para nabi, khususnya Nabi Musa AS. Ambil pelajaran dari ketabahan mereka, kemenangan kebenaran, dan kekuasaan Allah SWT. Ini akan memperkuat iman dan keyakinan kita.
Karena Muharram adalah awal tahun Hijriah, jadikan Hari Asyura sebagai momentum untuk mengevaluasi diri dan membuat resolusi spiritual untuk tahun yang akan datang. Apa saja yang perlu diperbaiki? Bagaimana agar ibadah lebih berkualitas? Bagaimana menjadi pribadi yang lebih bermanfaat bagi umat?
Meskipun Hari Asyura adalah puncak kemuliaan di bulan Muharram, bukan berarti hanya hari itu saja yang memiliki keutamaan. Seluruh bulan Muharram sendiri adalah bulan yang mulia. Nabi Muhammad SAW bersabda:
"Sebaik-baik puasa setelah bulan Ramadhan adalah puasa di bulan Allah, Muharram." (HR. Muslim)
Hadits ini menunjukkan bahwa memperbanyak puasa sunnah di bulan Muharram secara umum sangat dianjurkan. Jadi, selain puasa Tasu'a dan Asyura, kita juga bisa:
Intinya, bulan Muharram secara keseluruhan adalah kesempatan emas untuk meningkatkan kualitas ibadah dan mendekatkan diri kepada Allah SWT. Tidak hanya terpaku pada Hari Asyura, namun menjadikan seluruh bulan ini sebagai ajang untuk meraih pahala dan ampunan.
Keluarga adalah inti dari masyarakat Muslim, dan peran orang tua sangat vital dalam menanamkan nilai-nilai agama kepada anak-anak. Mengajarkan tentang Hari Asyura dan amalan-amalannya sejak dini akan membentuk generasi yang taat dan berpengetahuan.
Orang tua dapat menceritakan kisah Nabi Musa AS dan Firaun kepada anak-anak dengan cara yang menarik. Jelaskan bagaimana Allah menolong hamba-Nya yang beriman dan bagaimana kesabaran Nabi Musa membuahkan kemenangan. Kisah ini tidak hanya mendidik, tetapi juga menanamkan kepercayaan kepada Allah SWT.
Ajak anak-anak yang sudah mumayyiz (sekitar usia 7 tahun ke atas) untuk ikut berpuasa, setidaknya puasa setengah hari atau puasa 'bedug'. Ini adalah latihan yang baik untuk membiasakan mereka berpuasa Ramadhan kelak. Jelaskan kepada mereka mengapa kita berpuasa dan apa pahala yang akan didapatkan.
Libatkan anak-anak dalam kegiatan sedekah. Misalnya, biarkan mereka memilih sendiri barang atau uang yang ingin disedekahkan. Ini akan menumbuhkan rasa empati dan kedermawanan pada diri mereka.
Pada Hari Asyura, buatlah suasana keluarga yang lebih islami. Misalnya, membaca Al-Qur'an bersama, mengadakan halaqah kecil untuk membahas kisah para nabi, atau sekadar berbincang tentang makna bersyukur dan sabar.
Penting untuk mendidik anak-anak agar kritis dan tidak mudah menerima segala sesuatu tanpa dalil. Ajarkan mereka untuk selalu bertanya "apa dalilnya?" ketika ada amalan baru yang diajarkan. Ini akan membentengi mereka dari bid'ah dan pemahaman agama yang keliru.
Teladan adalah guru terbaik. Ketika anak-anak melihat orang tuanya antusias dalam mengamalkan sunnah di Hari Asyura, mereka akan terinspirasi untuk mengikutinya. Keikhlasan dan kesungguhan orang tua akan tercermin pada perilaku anak-anak.
Dengan pendidikan yang baik di lingkungan keluarga, Hari Asyura tidak hanya menjadi hari perayaan ritual, tetapi menjadi momen transformasi spiritual dan peningkatan kualitas keimanan bagi seluruh anggota keluarga.
Hari Asyura adalah hari yang agung dalam kalender Islam, sarat dengan sejarah, hikmah, dan keutamaan. Ia merupakan pengingat akan kekuasaan Allah SWT, pertolongan-Nya kepada hamba-hamba yang beriman, dan kemenangan kebenaran atas kebatilan.
Amalan utama yang disunnahkan pada Hari Asyura adalah puasa, khususnya puasa Tasu'a (9 Muharram) dan Asyura (10 Muharram), sebagai bentuk syukur dan ketaatan kepada Nabi Muhammad SAW. Selain itu, memperluas nafkah keluarga dan memperbanyak sedekah juga merupakan amalan yang sangat dianjurkan, yang diharapkan mendatangkan keberkahan rezeki dari Allah SWT.
Penting bagi setiap Muslim untuk selalu berpegang pada ajaran Islam yang sahih, bersumber dari Al-Qur'an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW. Menghindari segala bentuk bid'ah dan praktik-praktik yang tidak memiliki dasar syariat adalah kunci untuk menjaga kemurnian agama dan mendapatkan pahala yang sesungguhnya.
Semoga dengan pemahaman yang benar dan pelaksanaan amalan yang sesuai tuntunan, kita semua dapat meraih keberkahan Hari Asyura, diampuni dosa-dosa kita, dan semakin mendekatkan diri kepada Allah SWT. Mari kita jadikan Hari Asyura sebagai momentum untuk memperbaharui komitmen spiritual, meningkatkan ketaatan, dan menjadi pribadi yang lebih baik di hadapan Allah dan sesama manusia.
Wallahu a'lam bish-shawab.