Ahlussunnah wal Jama'ah An-Nahdliyah: Membumikan Islam Moderat dan Toleran

Simbol Ahlussunnah wal Jama'ah An-Nahdliyah Ilustrasi globe dengan bulan sabit, bintang, dan buku terbuka, melambangkan Islam yang universal, moderat, berbasis ilmu, dan menjaga tradisi. Ilmu Tradisi

Ilustrasi yang menggambarkan nilai-nilai Ahlussunnah wal Jama'ah An-Nahdliyah: universalitas Islam (globe), cahaya iman (bulan & bintang), serta pentingnya ilmu dan tradisi (buku).

Pengantar: Memahami Ahlussunnah wal Jama'ah An-Nahdliyah

Ahlussunnah wal Jama'ah (ASWJ) adalah sebuah manhaj atau jalan pemahaman keagamaan yang dianut mayoritas umat Islam di seluruh dunia. Manhaj ini merujuk pada praktik dan keyakinan Rasulullah Muhammad SAW serta para sahabatnya. Di Indonesia, salah satu manifestasi terbesar dan paling berpengaruh dari Ahlussunnah wal Jama'ah adalah Ahlussunnah wal Jama'ah An-Nahdliyah, yang menjadi dasar ideologi Nahdlatul Ulama (NU), organisasi Islam terbesar di negara ini. Pemahaman Ahlussunnah wal Jama'ah An-Nahdliyah bukan sekadar label, melainkan sebuah kerangka berpikir dan bertindak yang mengedepankan moderasi (tawassut), keseimbangan (tawazun), toleransi (tasamuh), keadilan (i'tidal), dan semangat kebangsaan. Manhaj ini mengakar kuat dalam tradisi keilmuan Islam yang otoritatif dan diwariskan secara turun-temurun melalui sanad keilmuan yang jelas.

Dalam konteks keindonesiaan, Ahlussunnah wal Jama'ah An-Nahdliyah telah menjadi benteng penting dalam menjaga persatuan, keberagaman, dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang berdasarkan Pancasila. Ia menawarkan sebuah narasi Islam yang sejuk, inklusif, dan adaptif terhadap kearifan lokal, tanpa mengorbankan prinsip-prinsip fundamental ajaran Islam. Pendekatan ini memungkinkan Islam untuk berdialog harmonis dengan budaya dan realitas sosial Indonesia, menghasilkan corak keislaman yang khas dan dikenal sebagai Islam Nusantara. Artikel ini akan mengupas tuntas tentang apa itu Ahlussunnah wal Jama'ah, bagaimana ia berkembang menjadi corak Nahdliyah, serta relevansinya di tengah tantangan zaman yang semakin kompleks, termasuk ancaman radikalisme dan disinformasi.

Pemahaman yang mendalam tentang Ahlussunnah wal Jama'ah An-Nahdliyah sangat krusial, tidak hanya bagi mereka yang berafiliasi langsung dengannya, tetapi juga bagi seluruh elemen masyarakat yang ingin memahami dinamika Islam di Indonesia. Dengan pemahaman ini, diharapkan dapat terjalin dialog yang konstruktif dan mengurangi potensi kesalahpahaman yang seringkali memicu perpecahan. Manhaj Nahdliyah mengajak umat untuk kembali kepada esensi ajaran Islam yang rahmatan lil 'alamin, yaitu Islam yang membawa kedamaian, kemaslahatan, dan keadilan bagi seluruh umat manusia dan alam semesta.

Sejarah dan Latar Belakang Ahlussunnah wal Jama'ah

Istilah Ahlussunnah wal Jama'ah secara harfiah berarti "pengikut Sunnah (Nabi) dan Jama'ah (mayoritas umat Islam)." Konsep ini muncul sebagai respons terhadap berbagai kelompok pemikiran dan aliran dalam Islam yang berbeda, terutama setelah wafatnya Rasulullah SAW dan pada masa-masa fitnah besar dalam sejarah Islam, ketika muncul perbedaan-perbedaan pandangan yang ekstrem dalam persoalan akidah dan politik. Pada dasarnya, Ahlussunnah wal Jama'ah merujuk pada komunitas Muslim yang berpegang teguh pada Al-Qur'an, Sunnah Nabi, ijma' (konsensus ulama), dan qiyas (analogi) sebagai sumber hukum, serta mengikuti manhaj pemikiran para sahabat dan ulama salafus shalih yang lurus.

Secara historis, konsolidasi teologis Ahlussunnah wal Jama'ah terjadi pada abad ke-3 dan ke-4 Hijriyah sebagai respons terhadap gelombang pemikiran rasionalistik yang berlebihan (seperti Mu'tazilah yang mengedepankan akal di atas nash) dan juga kelompok-kelompok tekstualis yang kaku (seperti Khawarij yang sempit dalam memahami teks). Ahlussunnah wal Jama'ah mengambil jalan tengah, menghargai peran akal namun tetap menjadikannya tunduk pada wahyu. Dua ulama besar yang memainkan peran sentral dalam merumuskan aqidah (teologi) Ahlussunnah wal Jama'ah dengan metode yang sistematis adalah:

  1. Imam Abu al-Hasan al-Ash'ari (w. 324 H/936 M): Beliau adalah mantan pengikut Mu'tazilah yang kemudian bertaubat dan mengembangkan metodologi teologis yang menggabungkan akal dan naql (teks wahyu) secara seimbang. Imam Al-Ash'ari mengajukan argumentasi rasional untuk mempertahankan keyakinan-keyakinan tradisional Islam berdasarkan Al-Qur'an dan Sunnah, sehingga mampu membendung pengaruh rasionalisme ekstrem Mu'tazilah. Ajaran-ajaran beliau menjadi fondasi bagi madzhab teologi Asy'ariyah yang banyak dianut di berbagai belahan dunia Islam, termasuk Indonesia.
  2. Imam Abu Mansur al-Maturidi (w. 333 H/944 M): Beliau mengembangkan madzhab teologi Maturidiyah yang memiliki banyak kesamaan dengan Asy'ariyah, meskipun ada sedikit perbedaan dalam detail-detail tertentu, terutama terkait peran akal dan sifat-sifat Tuhan. Madzhab ini banyak dianut di Asia Tengah, sebagian Turki, dan wilayah-wilayah lain yang memiliki latar belakang budaya Turkis. Kedua madzhab ini pada intinya memiliki kesamaan dalam prinsip dasar aqidah dan sama-sama diakui sebagai representasi Ahlussunnah wal Jama'ah.

Kedua madzhab teologi ini, Asy'ariyah dan Maturidiyah, merupakan representasi utama dari aqidah Ahlussunnah wal Jama'ah. Keduanya menekankan pentingnya tauhid (keesaan Allah) yang murni, keniscayaan sifat-sifat Allah yang Maha Sempurna dan tidak menyerupai makhluk, kebenaran wahyu yang diturunkan, dan kenabian Muhammad SAW sebagai penutup para nabi. Mereka juga menolak paham antropomorfisme (menyerupakan Allah dengan makhluk) dan rasionalisme ekstrem yang menafikan peran wahyu dan tradisi. Dengan demikian, mereka berhasil menjaga kemurnian akidah Islam dari penyimpangan.

Selain dalam bidang aqidah, Ahlussunnah wal Jama'ah juga dikenal dengan komitmennya terhadap madzhab-madzhab fiqih yang muktabar (diakui) dan tradisi tasawuf yang moderat dan sesuai syariat. Dalam fiqih, empat madzhab besar—Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hanbali—diakui dan diikuti oleh mayoritas Ahlussunnah wal Jama'ah. Pengakuan terhadap madzhab ini menunjukkan penghormatan terhadap keragaman interpretasi dalam hukum Islam yang didasarkan pada metodologi ilmiah yang kokoh dan tradisi keilmuan yang panjang. Hal ini juga menjadi kunci dalam menghindari kekacauan hukum, menjaga kontinuitas keilmuan Islam, dan memberikan kemudahan bagi umat dalam menjalankan syariat.

Para ulama Ahlussunnah wal Jama'ah selalu menekankan pentingnya menjaga kesatuan umat, menghindari perpecahan yang destruktif, dan berpegang teguh pada prinsip-prinsip Islam yang diajarkan oleh Rasulullah SAW. Mereka adalah pilar yang mengawal ajaran Islam dari penyimpangan, baik dari ekstrimitas yang terlalu tekstualis dan kaku maupun yang terlalu liberal dan mengabaikan nash. Dengan demikian, Ahlussunnah wal Jama'ah menjadi identitas bagi jalan tengah Islam, yang moderat, seimbang, menjaga tradisi keilmuan yang luhur, dan terbuka terhadap kemaslahatan umum.

Prinsip-Prinsip Aqidah Ahlussunnah wal Jama'ah

Aqidah adalah fondasi keimanan seorang Muslim, dan Ahlussunnah wal Jama'ah memiliki prinsip-prinsip yang kokoh dan telah mapan selama berabad-abad, yang bersumber dari Al-Qur'an dan Sunnah. Prinsip-prinsip ini meliputi keyakinan terhadap Allah SWT, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya, hari akhir, serta qadha dan qadar. Berikut adalah penjelasan lebih lanjut mengenai prinsip-prinsip tersebut dalam perspektif Ahlussunnah wal Jama'ah, yang umumnya dirumuskan dalam enam rukun iman:

1. Tauhidullah (Keesaan Allah SWT)

Ini adalah inti dari ajaran Islam dan prinsip paling fundamental dalam Ahlussunnah wal Jama'ah. Tauhid bukan hanya sekadar mengakui keberadaan Allah sebagai Tuhan, tetapi juga mengesakan-Nya dalam tiga aspek utama: rububiyah (keyakinan bahwa Allah adalah satu-satunya Pencipta, Penguasa, dan Pengatur alam semesta), uluhiyah (keyakinan bahwa hanya Allah yang berhak disembah dan diibadahi), dan asma wa shifat (keyakinan terhadap nama-nama dan sifat-sifat-Nya yang Maha Sempurna tanpa menyerupai makhluk). Ahlussunnah wal Jama'ah meyakini bahwa Allah SWT adalah satu, tidak beranak dan tidak diperanakkan, dan tidak ada yang setara dengan-Nya (Q.S. Al-Ikhlas: 1-4). Mereka menolak segala bentuk syirik (menyekutukan Allah) baik syirik besar maupun kecil, serta segala bentuk antropomorfisme (menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya) dan tasybih (menyamakan Allah dengan makhluk).

Dalam memahami sifat-sifat Allah yang disebutkan dalam Al-Qur'an dan Sunnah, seperti 'tangan Allah', 'wajah Allah', atau 'istiwa' (bersemayam di Arsy), Ahlussunnah wal Jama'ah menempuh jalan tengah. Mereka menetapkan sifat-sifat Allah sebagaimana yang disebutkan dalam nash, tanpa tahrif (mengubah makna literal tanpa dasar), ta'thil (menafikan sifat tersebut), takyif (menggambarkan bagaimana wujudnya), atau tamtsil (menyerupakan dengan makhluk). Maknanya yang hakiki diserahkan sepenuhnya kepada Allah (tafwidh), atau ditafsirkan secara majazi (metaforis) sesuai kaidah bahasa Arab (ta'wil) agar sesuai dengan keagungan dan kesucian Allah yang Maha Suci dari segala kekurangan dan penyerupaan dengan makhluk.

2. Iman kepada Malaikat-malaikat Allah

Ahlussunnah wal Jama'ah meyakini adanya malaikat sebagai makhluk gaib yang diciptakan dari cahaya, senantiasa taat kepada Allah, dan tidak pernah bermaksiat. Mereka adalah hamba-hamba Allah yang mulia, tidak memiliki nafsu, dan hanya menjalankan perintah-perintah-Nya. Malaikat memiliki tugas-tugas tertentu yang sangat beragam, seperti Jibril menyampaikan wahyu, Mikail menurunkan hujan dan mengatur rezeki, Israfil meniup sangkakala di hari kiamat, Izrail mencabut nyawa, Munkar dan Nakir menanyai di alam kubur, serta Raqib dan Atid mencatat amal perbuatan manusia. Keyakinan ini mengajarkan bahwa alam semesta tidaklah kosong dari pengawasan dan pengaturan ilahi, dan bahwa ada kekuatan-kekuatan gaib yang bekerja atas perintah Allah.

3. Iman kepada Kitab-kitab Allah

Ahlussunnah wal Jama'ah meyakini bahwa Allah telah menurunkan kitab-kitab suci kepada para nabi dan rasul-Nya sebagai petunjuk bagi umat manusia. Kitab-kitab tersebut meliputi Taurat (diturunkan kepada Nabi Musa AS), Zabur (kepada Nabi Daud AS), Injil (kepada Nabi Isa AS), dan Al-Qur'an (kepada Nabi Muhammad SAW) sebagai penyempurna, pengoreksi, dan penjaga bagi kitab-kitab sebelumnya. Al-Qur'an diyakini sebagai kalamullah (firman Allah) yang bersifat qadim (azali), bukan makhluk yang diciptakan, dan terjaga kemurniannya dari segala perubahan hingga akhir zaman, sebagaimana firman Allah dalam Surah Al-Hijr ayat 9. Keyakinan ini menekankan bahwa ajaran Allah adalah konsisten dan bertujuan membimbing manusia menuju kebaikan dan kebenaran.

4. Iman kepada Nabi dan Rasul Allah

Ahlussunnah wal Jama'ah mengimani seluruh nabi dan rasul yang diutus oleh Allah, dimulai dari Nabi Adam AS hingga Nabi Muhammad SAW sebagai penutup para nabi (khatamun nabiyyin). Mereka meyakini bahwa para nabi dan rasul adalah manusia pilihan yang ma'shum (terjaga dari dosa dan kesalahan) dalam menyampaikan risalah, sehingga setiap ajaran yang mereka sampaikan adalah benar dan sesuai dengan kehendak Allah. Risalah Nabi Muhammad SAW adalah risalah terakhir dan universal untuk seluruh umat manusia hingga akhir zaman, yang menghapus dan menyempurnakan syariat-syariat sebelumnya. Mengimani para rasul berarti mengikuti ajaran mereka dan mengambil teladan dari akhlak mulia mereka.

5. Iman kepada Hari Akhir

Keyakinan ini mencakup semua peristiwa setelah kematian, mulai dari kehidupan di alam kubur (barzakh) yang merupakan gerbang menuju akhirat, tiupan sangkakala, hari kebangkitan (yaumul ba'ats) di mana semua makhluk akan dihidupkan kembali, hari perhitungan (yaumul hisab) atas segala amal perbuatan, adanya mizan (timbangan amal), shiratal mustaqim (jembatan di atas neraka), hingga adanya surga dan neraka sebagai balasan akhir bagi amal manusia. Iman kepada hari akhir mendorong manusia untuk senantiasa berbuat kebaikan, menjauhi kemaksiatan, dan mempersiapkan diri sebaik mungkin untuk kehidupan abadi di akhirat, karena setiap perbuatan sekecil apa pun akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah SWT.

6. Iman kepada Qadha dan Qadar

Ahlussunnah wal Jama'ah meyakini bahwa segala sesuatu yang terjadi di alam semesta, baik dan buruk, nasib baik maupun buruk, telah diketahui dan ditetapkan oleh Allah SWT sejak azali dan telah dituliskan di Lauhul Mahfuzh sebelum segala sesuatu terjadi. Namun, keyakinan ini tidak berarti menafikan ikhtiar (usaha) manusia. Manusia tetap memiliki kebebasan memilih dalam batas-batas yang telah ditetapkan Allah dan akan dimintai pertanggungjawaban atas pilihan dan usahanya tersebut. Qadha adalah ketetapan Allah secara umum, sedangkan Qadar adalah perwujudan dari ketetapan tersebut pada waktu dan kondisi tertentu. Dengan kata lain, manusia bertanggung jawab atas perbuatannya (kasb), meskipun segala sesuatu pada akhirnya berada dalam ilmu dan ketetapan Allah. Keyakinan ini menumbuhkan sikap tawakkal (berserah diri setelah berusaha maksimal), sabar, dan syukur, serta menjauhkan dari sikap putus asa atau sombong.

Prinsip-prinsip aqidah ini membentuk kerangka keyakinan yang kokoh bagi Ahlussunnah wal Jama'ah, menjaga umat dari kesesatan dan penyimpangan. Aqidah ini diajarkan melalui jalur sanad keilmuan yang bersambung kepada para sahabat dan Rasulullah SAW, memastikan kemurnian dan keotentikannya yang tidak tercampuri bid'ah atau khurafat.

Madzhab Fiqih dalam Ahlussunnah wal Jama'ah

Selain aqidah yang merupakan pondasi keimanan, aspek penting lain yang menjadi ciri khas Ahlussunnah wal Jama'ah adalah pengakuan dan kepatuhan terhadap madzhab-madzhab fiqih yang muktabar. Fiqih adalah ilmu yang mempelajari hukum-hukum syariat praktis (seperti shalat, zakat, puasa, haji, muamalah, nikah, dll.) yang diambil dari dalil-dalilnya yang terperinci dari Al-Qur'an dan Sunnah. Dalam Ahlussunnah wal Jama'ah, terdapat empat madzhab fiqih utama yang diakui secara luas dan diikuti oleh mayoritas umat Islam di berbagai belahan dunia:

  1. Madzhab Hanafi: Didirikan oleh Imam Abu Hanifah An-Nu'man (w. 150 H). Madzhab ini banyak berkembang di Asia Tengah, India, Pakistan, Turki, Balkan, dan sebagian Mesir. Ciri khasnya adalah penggunaan ra'yu (penalaran pribadi yang sistematis), istihsan (pencarian solusi terbaik yang dianggap lebih maslahat meski menyimpang dari qiyas), dan 'urf (adat kebiasaan lokal) sebagai sumber hukum, setelah mendalami Al-Qur'an dan Sunnah. Madzhab Hanafi dikenal memiliki banyak furu' (cabang-cabang masalah) yang membahas berbagai kemungkinan hukum.
  2. Madzhab Maliki: Didirikan oleh Imam Malik bin Anas (w. 179 H), yang juga dikenal sebagai Imam Darul Hijrah (Imam Negeri Hijrah, yaitu Madinah). Madzhab ini dominan di Afrika Utara, Spanyol (Andalusia masa lalu), dan beberapa wilayah di Mesir dan Sudan. Ciri utamanya adalah berpegang teguh pada amalan penduduk Madinah (amal ahlul Madinah) sebagai salah satu sumber hukum yang kuat, selain Al-Qur'an, Sunnah, dan mashalih mursalah (kemaslahatan umum yang tidak diatur secara eksplisit oleh nash). Imam Malik dikenal sangat selektif dalam meriwayatkan hadits.
  3. Madzhab Syafi'i: Didirikan oleh Imam Muhammad bin Idris asy-Syafi'i (w. 204 H). Madzhab ini sangat populer di Asia Tenggara (termasuk Indonesia), Mesir, Yaman, Suriah, dan sebagian besar wilayah pesisir India. Imam Syafi'i dikenal sebagai peletak dasar ilmu ushul fiqih yang sistematis dan komprehensif melalui karyanya "Ar-Risalah", dengan penekanan pada Al-Qur'an, Sunnah, ijma', dan qiyas sebagai hierarki dalil yang jelas. Madzhab Syafi'i dianggap sebagai madzhab yang paling "moderat" karena mengambil posisi tengah antara pendekatan Hanafi yang cenderung ra'yu dan Hanbali yang cenderung tekstualis.
  4. Madzhab Hanbali: Didirikan oleh Imam Ahmad bin Hanbal (w. 241 H). Madzhab ini banyak dianut di Jazirah Arab (khususnya Saudi Arabia) dan beberapa wilayah di Timur Tengah. Ciri khasnya adalah sangat berpegang teguh pada nash (teks) Al-Qur'an dan Sunnah secara literal, serta fatwa sahabat, dengan meminimalkan penggunaan ra'yu dan ijtihad yang bersifat spekulatif. Imam Ahmad dikenal sebagai seorang muhaddits (ahli hadits) yang ulung dan sangat gigih dalam mempertahankan akidah Ahlussunnah wal Jama'ah dari bid'ah Mu'tazilah.

Penerimaan terhadap madzhab-madzhab ini bukanlah bentuk fanatisme buta atau pengultusan individu, melainkan pengakuan terhadap metodologi ilmiah yang telah teruji, kedalaman ilmu para imam pendiri madzhab, serta kebutuhan akan sistem hukum yang terstruktur untuk umat. Para ulama Ahlussunnah wal Jama'ah memahami bahwa ijtihad (usaha keras ulama untuk merumuskan hukum dari dalil-dalil syar'i) adalah sebuah keniscayaan, dan bahwa hasil ijtihad bisa beragam karena perbedaan interpretasi dalil, kondisi sosial, atau metode penalaran yang digunakan. Keragaman ini dipandang sebagai rahmat (ikhtilaf ummati rahmah).

Di Indonesia, khususnya di lingkungan Nahdliyin, Madzhab Syafi'i menjadi madzhab fiqih yang paling dominan. Hal ini bukan hanya karena faktor historis penyebaran Islam di Nusantara yang banyak dibawa oleh ulama bermadzhab Syafi'i dari Hadramaut dan Gujarat, tetapi juga karena karakter Madzhab Syafi'i yang dianggap fleksibel dan komprehensif, mampu mengakomodasi berbagai permasalahan tanpa terlalu kaku. Penggunaan Madzhab Syafi'i memungkinkan umat Islam untuk memiliki panduan yang jelas dalam menjalankan ibadah dan muamalah sehari-hari, sambil tetap membuka ruang untuk diskusi (bahtsul masail) dan penyesuaian (talfiq) antar madzhab dalam konteks tertentu yang maslahat dan tidak melanggar prinsip dasar syariat.

Konsep *taqlid* (mengikuti pendapat madzhab) menjadi relevan bagi awam yang tidak memiliki kapasitas berijtihad. Bagi mereka, mengikuti salah satu madzhab yang diakui adalah cara untuk memastikan praktik keagamaan mereka sesuai dengan syariat dan terhindar dari kesesatan. Namun, bagi ulama yang memiliki kapasitas dan memenuhi syarat, pintu ijtihad tetap terbuka, meskipun mereka umumnya tetap berada dalam kerangka metodologi madzhab yang mereka ikuti (ijtihad madzhabi) atau melakukan ijtihad mustaqil (ijtihad mandiri) yang sangat jarang dilakukan. Pendekatan ini menunjukkan kebijaksanaan Ahlussunnah wal Jama'ah dalam menjaga stabilitas hukum, kontinuitas keilmuan, dan kesatuan umat, sekaligus menghargai dinamika pemikiran dan keilmuan Islam.

Tasawuf dan Akhlak dalam Ahlussunnah wal Jama'ah

Ahlussunnah wal Jama'ah tidak hanya fokus pada aspek aqidah (keyakinan) dan syariah (hukum Islam), tetapi juga sangat menekankan dimensi spiritual dan etika, yang dikenal sebagai tasawuf dan akhlak. Tasawuf adalah ilmu yang mempelajari cara menyucikan jiwa, membersihkan hati dari penyakit-penyakit batin seperti riya' (pamer), ujub (bangga diri), takabur (sombong), dan hasad (dengki), serta menghiasinya dengan sifat-sifat terpuji (mahmudah) agar dapat mendekatkan diri kepada Allah SWT, mencapai derajat ihsan (beribadah seolah melihat Allah atau meyakini bahwa Allah melihat kita). Akhlak adalah manifestasi dari tasawuf dalam bentuk perilaku terpuji yang lahir dari hati yang bersih.

Dalam Ahlussunnah wal Jama'ah, tasawuf bukanlah sesuatu yang terpisah dari syariat, melainkan bagian integral yang saling melengkapi. Syariat adalah bentuk lahiriah agama (fiqih), sedangkan tasawuf adalah esensi batiniahnya (hati dan ruh). Tasawuf yang diterima adalah tasawuf yang berbasis pada Al-Qur'an dan Sunnah, bukan tasawuf yang menyimpang, bid'ah, sinkretisme dengan kepercayaan lain, atau mengabaikan syariat. Para tokoh tasawuf yang diakui dalam Ahlussunnah wal Jama'ah adalah mereka yang juga merupakan ulama fiqih dan hadits, seperti Imam Junaid al-Baghdadi (w. 298 H), Imam Abu Hamid al-Ghazali (w. 505 H), dan Syekh Abdul Qadir al-Jailani (w. 561 H). Mereka mengajarkan tasawuf yang menekankan pada:

  • Zuhud: Tidak terlalu terikat pada kenikmatan duniawi, bukan berarti meninggalkan dunia sama sekali, melainkan menempatkan dunia pada porsinya yang benar, menggunakannya sebagai sarana menuju akhirat, dan tidak menjadikannya tujuan utama hidup.
  • Wara': Kehati-hatian dalam setiap tindakan agar tidak terjerumus pada hal-hal yang syubhat (meragukan) atau haram, serta menjauhi hal-hal yang berpotensi menimbulkan dosa meskipun kecil.
  • Ikhlas: Melakukan segala amal perbuatan semata-mata karena Allah SWT, tanpa mengharapkan pujian, balasan, atau pengakuan dari manusia. Ikhlas adalah ruh dari setiap ibadah.
  • Tawakkal: Berserah diri sepenuhnya kepada Allah setelah melakukan usaha maksimal dan mengambil semua ikhtiar yang diperlukan. Tawakkal bukan berarti pasrah tanpa usaha, melainkan percaya penuh pada pertolongan Allah setelah berikhtiar.
  • Mahabbah: Cinta yang mendalam kepada Allah dan Rasul-Nya, yang termanifestasi dalam ketaatan penuh kepada perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya, serta cinta kepada sesama makhluk sebagai wujud cinta kepada Penciptanya.
  • Khauf dan Raja': Keseimbangan antara rasa takut akan azab Allah (khauf) yang mendorong untuk menjauhi maksiat, dan harapan akan rahmat dan ampunan-Nya (raja') yang mendorong untuk terus beribadah dan bertobat. Keseimbangan ini mencegah sikap putus asa dan sombong.
  • Muraqabah: Merasa selalu diawasi oleh Allah SWT dalam setiap keadaan, sehingga mendorong untuk senantiasa berbuat baik dan menjauhi keburukan.

Imam al-Ghazali, melalui karyanya yang monumental, Ihya' Ulumiddin (Menghidupkan Ilmu-ilmu Agama), secara efektif mengintegrasikan tasawuf ke dalam kerangka Ahlussunnah wal Jama'ah. Beliau menepis anggapan yang salah bahwa tasawuf adalah bid'ah atau ajaran di luar syariat, dan menunjukkan bagaimana tasawuf adalah esensi dari Islam itu sendiri, yang menyempurnakan ibadah lahiriah dengan ibadah batiniah, membersihkan hati dari sifat-sifat tercela (madzmumah) dan menghiasinya dengan sifat-sifat terpuji (mahmudah). Beliau mengajarkan bahwa fiqih adalah ilmu yang mengatur gerak anggota tubuh, sedangkan tasawuf mengatur gerak hati.

Pentingnya tasawuf dan akhlak dalam Ahlussunnah wal Jama'ah An-Nahdliyah sangat terasa. Ia menjadi dasar bagi pembentukan karakter pribadi yang santun, rendah hati, sabar, jujur, dermawan, adil, dan berempati terhadap sesama. Nilai-nilai ini menjadi landasan bagi perilaku sosial yang harmonis, toleran, dan jauh dari kekerasan, permusuhan, serta fitnah. Tanpa tasawuf, ibadah bisa menjadi hampa makna, hanya menjadi rutinitas tanpa jiwa, dan pengetahuan agama bisa kering dari sentuhan spiritual. Oleh karena itu, Ahlussunnah wal Jama'ah mengajarkan bahwa kesempurnaan seorang Muslim tercapai ketika ia mampu mengintegrasikan aqidah yang benar, syariat yang sesuai, dan akhlak yang mulia. Ketiganya merupakan satu kesatuan tak terpisahkan dalam mengamalkan ajaran Islam secara kaffah (menyeluruh).

Pendekatan tasawuf yang damai dan adaptif ini juga menjadi salah satu faktor mengapa Islam yang dibawa oleh para wali dan ulama ke Nusantara diterima dengan damai dan tanpa paksaan. Mereka tidak hanya mengajarkan hukum, tetapi juga menanamkan nilai-nilai kehalusan budi pekerti, kedermawanan, kedekatan spiritual dengan Sang Pencipta, dan penghargaan terhadap kearifan lokal. Hal ini menghasilkan proses Islamisasi yang inkulturis, di mana Islam berinteraksi secara positif dengan budaya setempat, memperkaya khazanah kebudayaan Nusantara.

Ahlussunnah wal Jama'ah An-Nahdliyah: Identitas dan Kekhasan

Setelah memahami dasar-dasar Ahlussunnah wal Jama'ah secara umum, kini saatnya menyelami kekhasan Ahlussunnah wal Jama'ah An-Nahdliyah, sebuah corak pemahaman keagamaan yang menjadi tulang punggung Nahdlatul Ulama (NU), organisasi Islam terbesar di Indonesia. Ahlussunnah wal Jama'ah An-Nahdliyah adalah penafsiran dan implementasi prinsip-prinsip Ahlussunnah wal Jama'ah yang disesuaikan dengan konteks keindonesiaan, dengan penekanan kuat pada moderasi, toleransi, dan komitmen kebangsaan. Ia adalah model keislaman yang mampu berdialog dengan kemajemukan dan perubahan zaman.

1. Kelahiran Nahdlatul Ulama sebagai Manifestasi Nahdliyah

Nahdlatul Ulama didirikan pada 16 Rajab 1344 H / 31 Januari 1926 M di Surabaya oleh para kiai dan ulama pesantren, yang dipimpin oleh Hadratussyekh KH. Hasyim Asy'ari. Pendirian NU merupakan respons terhadap berbagai tantangan pada masanya, baik dari dalam maupun luar negeri. Di antaranya adalah:

  • Konservasi Tradisi Keilmuan: Adanya ancaman terhadap tradisi keilmuan Islam klasik yang diajarkan di pesantren-pesantren, terutama Madzhab Syafi'i dalam fiqih, teologi Asy'ariyah/Maturidiyah, dan tasawuf Al-Ghazali, dari gerakan pembaharuan yang cenderung menolak tradisi madzhab dan turats ulama salafus shalih. NU hadir untuk melestarikan dan mengembangkan warisan keilmuan ini melalui sistem pesantren yang terstruktur dan bersanad.
  • Pergerakan Pembaharuan Skripturalis: Menghadapi arus pembaharuan Islam yang cenderung skripturalis-literalistik, yang menolak taqlid kepada madzhab dan mengklaim kembali ke Al-Qur'an dan Sunnah secara langsung tanpa mempertimbangkan interpretasi ulama salaf. NU berpandangan bahwa hal tersebut dapat menyebabkan kekacauan hukum dan penafsiran yang dangkal.
  • Kolonialisme dan Dinamika Politik Global: Menjaga identitas keislaman dan kebangsaan di bawah penjajahan Belanda, serta menghadapi perubahan geopolitik dunia Islam, termasuk runtuhnya khilafah Utsmaniyah dan munculnya ideologi-ideologi baru yang berpotensi memecah belah umat. NU didirikan untuk mengorganisir ulama dan umat dalam rangka mempertahankan Islam Ahlussunnah wal Jama'ah dan memperjuangkan kemerdekaan.

NU sejak awal didirikan dengan semangat untuk 'kebangkitan ulama' (Nahdlatul Ulama), yang berarti kebangkitan dalam menjaga, mengembangkan, dan menyebarkan ajaran Ahlussunnah wal Jama'ah yang moderat dan toleran, serta membimbing umat dalam menghadapi berbagai persoalan zaman. Ini adalah upaya kolektif untuk merespons tantangan kontemporer tanpa meninggalkan akar tradisi keilmuan Islam.

2. Pilar Manhaj Nahdliyah: Fondasi Berpikir dan Bertindak

Ahlussunnah wal Jama'ah An-Nahdliyah memiliki pilar-pilar manhaj yang membedakannya dan menjadikannya relevan sepanjang masa. Pilar-pilar ini dikenal dengan istilah "Manhaj Ahlussunnah wal Jama'ah An-Nahdliyah", yang meliputi lima prinsip utama:

  • Tawassut (Moderasi/Jalan Tengah): Sikap berada di tengah-tengah, tidak ekstrem kanan (tekstualis kaku yang menolak ijtihad dan akomodasi budaya) dan tidak ekstrem kiri (liberal yang mengabaikan nash dan syariat). Tawassut mendorong umat untuk bersikap adil, seimbang, dan proporsional dalam segala hal, baik dalam keyakinan, pemikiran, maupun tindakan. Dalam beragama, tawassut berarti memahami ajaran Islam dengan tidak berlebih-lebihan (ghuluw), menghindari takfir (pengkafiran) dan tasfii (pengotoran) sesama Muslim, serta menjauhi fanatisme buta.
  • Tawazun (Keseimbangan): Prinsip menjaga keseimbangan antara berbagai aspek kehidupan dan pemahaman agama. Ini mencakup keseimbangan antara dalil aqli (akal) dan naqli (wahyu), antara hak individu dan hak komunal, antara kepentingan duniawi (maslahat duniawiyah) dan ukhrawi (maslahat ukhrawiyah), serta antara tradisi (turats) dan modernitas. Tawazun memastikan bahwa praktik keagamaan tidak kaku dan tidak mudah terbawa arus ekstrem, tetapi mampu beradaptasi secara bijaksana dengan perubahan zaman tanpa mengorbankan prinsip dasar.
  • Tasamuh (Toleransi): Sikap saling menghargai dan menghormati perbedaan, baik perbedaan madzhab dan pandangan di kalangan umat Islam (ukhuwah Islamiyah) maupun perbedaan keyakinan dengan pemeluk agama lain (ukhuwah wathaniyah dan ukhuwah insaniyah). Tasamuh bukan berarti mencampuradukkan aqidah atau membenarkan semua keyakinan, tetapi menghargai hak setiap individu untuk meyakini keyakinannya dan hidup berdampingan secara damai dan harmonis. Tasamuh adalah kunci kerukunan umat beragama di Indonesia yang majemuk.
  • I'tidal (Keadilan): Prinsip menegakkan keadilan dalam segala aspek kehidupan, baik bagi diri sendiri, keluarga, masyarakat, maupun negara. I'tidal menuntut umat Islam untuk menjadi saksi kebenaran dan keadilan, tidak berat sebelah, serta berpihak kepada yang benar meskipun itu pahit dan bertentangan dengan kepentingan pribadi atau golongan. Keadilan dalam Ahlussunnah wal Jama'ah juga berarti menempatkan segala sesuatu pada tempatnya yang semestinya, serta memberikan hak kepada setiap yang berhak.
  • Amar Ma'ruf Nahi Munkar (Menyeru Kebaikan dan Mencegah Kemungkaran): Prinsip ini dijalankan dengan hikmah (kebijaksanaan), mau'izhah hasanah (nasihat yang baik), dan mujadalah billati hiya ahsan (berdialog dengan cara yang terbaik), sebagaimana diajarkan dalam Al-Qur'an (Q.S. An-Nahl: 125). Pendekatan NU dalam amar ma'ruf nahi munkar bersifat persuasif, edukatif, dialogis, dan menghindari kekerasan atau pemaksaan, sesuai dengan ajaran Rasulullah SAW dan meneladani metode dakwah para wali di Nusantara.

3. Sumber Ajaran Nahdliyah: Integrasi Turats dan Konteks

Ahlussunnah wal Jama'ah An-Nahdliyah berpegang teguh pada empat sumber hukum Islam utama: Al-Qur'an, Sunnah (Hadits Nabi), Ijma' (konsensus ulama), dan Qiyas (analogi). Namun, interpretasi dan implementasi sumber-sumber ini dilakukan dengan merujuk pada turats (karya-karya klasik) ulama salafus shalih dari madzhab-madzhab yang muktabar. Dalam fiqih, Madzhab Syafi'i menjadi rujukan utama; dalam aqidah, teologi Asy'ariyah dan Maturidiyah; dan dalam tasawuf, ajaran Imam al-Ghazali serta Junaid al-Baghdadi. Ini adalah bentuk konsistensi dalam menjaga keilmuan bersanad.

Pendekatan ini menjamin kontinuitas keilmuan dan menjaga umat dari penafsiran yang dangkal, liberal ekstrem, atau menyimpang. Ulama Nahdliyah sangat menghargai sanad keilmuan, yaitu mata rantai guru dan murid yang bersambung hingga Rasulullah SAW, sebagai jaminan keotentikan dan kedalaman pemahaman agama. Hal ini tidak berarti menolak ijtihad baru (ijtihad jama'i melalui forum bahtsul masail), tetapi ijtihad harus dilakukan oleh ulama yang mumpuni dengan metodologi yang benar, dan tetap dalam koridor prinsip-prinsip Ahlussunnah wal Jama'ah dan kaidah ushul fiqih yang telah mapan.

4. Penekanan pada Budaya Lokal dan Kearifan Nusantara

Salah satu ciri khas utama Ahlussunnah wal Jama'ah An-Nahdliyah adalah kemampuannya beradaptasi dengan budaya lokal dan kearifan Nusantara, selama tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip syariat Islam. Islam di Indonesia disebarkan melalui jalur damai, dengan menghargai tradisi yang ada, bukan dengan penghancuran atau pemaksaan. Ini terlihat dari praktik-praktik seperti ziarah kubur, tahlilan, yasinan, maulidan, istighosah, dan shalawatan, yang merupakan akulturasi budaya dengan nilai-nilai Islam. Kegiatan-kegiatan ini berfungsi sebagai media dakwah, penguatan ukhuwah (persaudaraan), pelestarian tradisi keilmuan, dan ekspresi kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya.

Pendekatan ini menjadikan Islam tidak terasa asing bagi masyarakat Indonesia, bahkan menjadi bagian tak terpisahkan dari identitas budaya mereka. NU meyakini bahwa Islam adalah agama yang fleksibel dan rahmatan lil 'alamin (rahmat bagi seluruh alam), yang bisa berdialog dan berintegrasi secara positif dengan budaya, adat istiadat, dan realitas sosial, asalkan esensi tauhid dan prinsip-prinsip syariat tetap terjaga. Inilah yang kemudian dikenal sebagai "Islam Nusantara", sebuah corak Islam yang moderat, toleran, dan menghargai keberagaman, sekaligus kuat dalam tradisi keilmuannya.

5. Komitmen Kebangsaan: Hubbul Wathan Minal Iman

Ahlussunnah wal Jama'ah An-Nahdliyah mengintegrasikan nilai-nilai keislaman dengan komitmen kebangsaan yang sangat kuat. Slogan "Hubbul Wathan Minal Iman" (cinta tanah air sebagian dari iman) bukan sekadar retorika, melainkan pondasi ideologis. NU memandang Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dengan Pancasila dan UUD 1945 sebagai bentuk final yang harus dijaga dan dipertahankan. Para pendiri NU dan ulama-ulamanya berperan aktif dalam perjuangan kemerdekaan dan perumusan dasar negara. Mereka menyadari bahwa menjaga keutuhan bangsa adalah bagian dari perintah agama untuk menjaga kemaslahatan umat (mashalihul 'ammah) dan menghindari kerusakan (mafsadat).

Komitmen ini termanifestasi dalam penolakan terhadap ideologi transnasional yang bertentangan dengan Pancasila, serta upaya terus-menerus untuk mempromosikan Islam Nusantara, sebuah Islam yang khas Indonesia, yang moderat, toleran, dan inklusif. Islam Nusantara adalah Islam yang tidak tercerabut dari akar budayanya dan tetap berpegang teguh pada ajaran Ahlussunnah wal Jama'ah, serta menjunjung tinggi nilai-nilai kebangsaan. NU meyakini bahwa Pancasila adalah titik temu (kalimatun sawa') dari berbagai keyakinan dan suku di Indonesia, dan telah diterima sebagai perjanjian luhur bangsa.

6. Peran Sosial dan Politik

Sebagai organisasi keagamaan terbesar, NU melalui Ahlussunnah wal Jama'ah An-Nahdliyah memiliki peran yang sangat signifikan dalam kehidupan sosial dan politik Indonesia. Dalam bidang sosial, NU aktif dalam pendidikan (melalui ribuan pesantren, madrasah, dan puluhan universitas), kesehatan (melalui rumah sakit dan klinik), dan pemberdayaan ekonomi umat (melalui koperasi dan UMKM). Semua ini dilakukan sebagai wujud dari khidmah (pengabdian) kepada umat dan bangsa.

Dalam bidang politik, NU secara historis pernah memiliki partai politik, namun sejak Muktamar ke-27 di Situbondo, NU memutuskan untuk kembali ke khittah (garis dasar) sebagai organisasi kemasyarakatan (jam'iyah diniyah ijtima'iyah) yang independen. Meskipun tidak berafiliasi langsung dengan partai politik, NU tetap memberikan kontribusi pemikiran, moral, dan kader dalam kancah perpolitikan nasional melalui berbagai jalur, dengan tujuan memastikan kebijakan-kebijakan negara selaras dengan nilai-nilai keadilan, kemanusiaan, dan kemaslahatan umat, sesuai dengan prinsip-prinsip Ahlussunnah wal Jama'ah An-Nahdliyah. Peran ini selalu didasari oleh prinsip untuk menciptakan masyarakat yang adil, makmur, beradab, dan diridhai Allah SWT (baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur).

Relevansi Ahlussunnah wal Jama'ah An-Nahdliyah di Era Kontemporer

Di tengah dinamika global dan tantangan modern yang semakin kompleks, Ahlussunnah wal Jama'ah An-Nahdliyah semakin menemukan relevansinya sebagai solusi dan panduan. Dunia kini dihadapkan pada berbagai persoalan, mulai dari radikalisme, ekstremisme, disinformasi, krisis moral, masalah lingkungan, hingga konflik antarperadaban. Dalam konteks ini, manhaj Nahdliyah menawarkan solusi dan perspektif yang sangat dibutuhkan untuk menciptakan kedamaian dan kesejahteraan universal.

1. Benteng Terhadap Radikalisme dan Ekstremisme Agama

Salah satu kontribusi terbesar Ahlussunnah wal Jama'ah An-Nahdliyah adalah perannya sebagai benteng kokoh terhadap paham radikalisme, ekstremisme, dan terorisme yang mengatasnamakan agama. Dengan penekanan pada tawassut (moderasi), tasamuh (toleransi), dan i'tidal (keadilan), Nahdliyah secara tegas menolak segala bentuk kekerasan, anarkisme, dan pengkafiran (takfir) terhadap sesama Muslim maupun non-Muslim yang tidak bersalah. NU aktif mengampanyekan Islam yang damai, rahmatan lil 'alamin, dan menolak interpretasi agama yang sempit serta berpotensi memecah belah.

Melalui pendidikan di pesantren dan madrasah, ceramah-ceramah keagamaan, serta melalui platform media sosial, Nahdliyah secara konsisten mengajarkan bahwa perbedaan adalah keniscayaan dan rahmat (ikhtilaf ummati rahmah), bukan alasan untuk permusuhan. Mereka menekankan pentingnya dialog, musyawarah, dan persaudaraan (ukhuwah) sebagai jalan utama dalam menyelesaikan perbedaan dan konflik. Ini menjadikan Ahlussunnah wal Jama'ah An-Nahdliyah sebagai agen perdamaian global yang efektif.

2. Menjaga Harmoni Sosial dan Keutuhan Bangsa

Dalam masyarakat yang plural seperti Indonesia, Ahlussunnah wal Jama'ah An-Nahdliyah dengan prinsip tasamuh dan komitmen kebangsaannya, menjadi perekat yang menjaga harmoni sosial dan keutuhan NKRI. NU mengajarkan bahwa mencintai tanah air adalah bagian dari iman (Hubbul Wathan Minal Iman), dan menjaga persatuan bangsa adalah kewajiban agama yang sangat penting. Dengan demikian, Nahdliyah secara konsisten mendukung Pancasila sebagai ideologi negara dan menolak upaya-upaya yang ingin mengganti dasar negara atau merongrong kedaulatan bangsa. NU memandang bahwa Negara-bangsa adalah bentuk ideal untuk kemaslahatan umat pada zaman ini.

Peran NU dalam menjaga kerukunan antarumat beragama juga sangat menonjol, melalui dialog lintas agama, kerja sama dalam isu-isu kemanusiaan dan kebangsaan, serta pembentukan forum-forum komunikasi yang melibatkan berbagai elemen masyarakat. Ini menunjukkan bahwa Islam yang diusung Nahdliyah adalah Islam yang inklusif, mampu hidup berdampingan dengan damai di tengah keberagaman, dan berkontribusi pada pembangunan peradaban yang beradab.

3. Mendorong Pendidikan dan Pengembangan Ilmu Pengetahuan

Sejak kelahirannya, Nahdlatul Ulama melalui pesantren-pesantrennya telah menjadi pusat pendidikan Islam tradisional yang menjaga warisan keilmuan (turats) ulama salafus shalih. Di era modern, Ahlussunnah wal Jama'ah An-Nahdliyah terus beradaptasi dengan mengembangkan pendidikan formal yang lebih luas, mulai dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi, yang mengintegrasikan ilmu agama dengan ilmu pengetahuan umum (sains dan teknologi). Hal ini mencerminkan prinsip tawazun (keseimbangan) antara ilmu naqli (ilmu agama) dan aqli (ilmu akal/umum). Dengan demikian, Nahdliyah berkontribusi dalam mencetak generasi muda yang memiliki kedalaman ilmu agama (tafaqquh fiddin) dan juga kompeten di bidang sains dan teknologi, sehingga mampu bersaing di kancah global.

Semangat untuk terus belajar, berijtihad (bagi yang kompeten dan sesuai metodologi), dan mengembangkan ilmu pengetahuan adalah bagian tak terpisahkan dari ajaran Ahlussunnah wal Jama'ah An-Nahdliyah. Pendidikan adalah kunci untuk membangun peradaban, mencerdaskan umat, dan menyiapkan sumber daya manusia yang berkualitas.

4. Responsif Terhadap Isu-isu Kontemporer

Ulama-ulama Nahdliyah tidak hanya berkutat pada masalah fiqih klasik, tetapi juga aktif merespons isu-isu kontemporer yang relevan dengan kehidupan modern melalui forum bahtsul masail (diskusi masalah keagamaan yang mendalam). Mereka membahas berbagai persoalan baru yang muncul di masyarakat, mulai dari etika digital, krisis lingkungan hidup, ekonomi syariah modern, bioetika, hingga isu-isu kesehatan global dan hak asasi manusia, dengan tetap berlandaskan pada metodologi Ahlussunnah wal Jama'ah dan kearifan lokal. Ini menunjukkan bahwa Ahlussunnah wal Jama'ah An-Nahdliyah adalah manhaj yang dinamis, progresif, dan relevan untuk menjawab tantangan zaman tanpa kehilangan identitas keislaman.

Pendekatan ini menjamin bahwa ajaran Islam tetap hidup dan mampu memberikan solusi terhadap berbagai problematika baru, menjaga umat dari kebingungan, dan membimbing mereka dalam menghadapi kompleksitas kehidupan modern dengan tetap berada di jalur syariat yang lurus.

5. Kontribusi pada Dialog Peradaban Global

Model Islam moderat yang diusung oleh Ahlussunnah wal Jama'ah An-Nahdliyah, yang dikenal sebagai Islam Nusantara, telah menjadi sorotan dan studi bagi dunia internasional. Banyak negara, lembaga riset, dan organisasi global tertarik untuk mempelajari bagaimana Indonesia, dengan NU sebagai salah satu aktor utamanya, berhasil menjaga harmoni di tengah keberagaman agama dan etnis, serta menghadapi ancaman ekstremisme. Ini menempatkan Ahlussunnah wal Jama'ah An-Nahdliyah sebagai kontributor penting dalam dialog peradaban global, menawarkan alternatif model Islam yang damai, inklusif, dan adaptif kepada dunia. Diharapkan model ini dapat menginspirasi upaya-upaya perdamaian dan kerukunan di berbagai belahan bumi.

Dengan demikian, Ahlussunnah wal Jama'ah An-Nahdliyah bukan hanya warisan masa lalu, tetapi kekuatan vital yang terus membimbing umat Islam di Indonesia dan dunia untuk menciptakan masyarakat yang lebih baik, berkeadilan, dan sejahtera di bawah naungan rahmat Allah SWT. Ia adalah mercusuar yang memancarkan cahaya moderasi di tengah kegelapan ekstremisme dan ketidakpastian.

Kesimpulan: Cahaya Moderasi dalam Beragama

Ahlussunnah wal Jama'ah An-Nahdliyah adalah sebuah manhaj beragama yang kokoh, adaptif, dan sarat akan nilai-nilai luhur Islam. Berakar pada ajaran Rasulullah SAW dan para sahabat, serta dikembangkan melalui ijtihad para ulama salafus shalih dari madzhab-madzhab yang muktabar, ia menawarkan sebuah kerangka pemahaman Islam yang moderat, seimbang, toleran, dan inklusif. Di Indonesia, Nahdlatul Ulama telah menjadi penjaga setia dan pengembang utama dari manhaj ini, mengintegrasikan prinsip-prinsip Ahlussunnah wal Jama'ah dengan kearifan lokal (Islam Nusantara) dan komitmen kebangsaan yang tak tergoyahkan.

Melalui pilar-pilar tawassut (moderasi), tawazun (keseimbangan), tasamuh (toleransi), i'tidal (keadilan), dan amar ma'ruf nahi munkar (menyeru kebaikan dengan cara bijak), Ahlussunnah wal Jama'ah An-Nahdliyah membimbing umat Islam untuk menjadi pribadi yang berakhlak mulia, berilmu luas, serta bertanggung jawab terhadap agama, bangsa, dan negara. Ia adalah benteng pertahanan terhadap ekstremisme, radikalisme, dan disinformasi yang merusak tatanan sosial, sekaligus jembatan penghubung antarumat beragama dalam membangun persatuan dan kerukunan. Manhaj ini mengajarkan pentingnya menjaga tradisi keilmuan yang bersanad, sekaligus terbuka terhadap perubahan yang maslahat.

Di era kontemporer yang penuh tantangan dan perubahan cepat, relevansi Ahlussunnah wal Jama'ah An-Nahdliyah semakin nyata dan diperlukan. Ia bukan hanya sekadar identitas kelompok, tetapi sebuah solusi komprehensif untuk menghadapi kompleksitas zaman, menawarkan jalan Islam yang damai, progresif, dan membawa rahmat bagi seluruh alam. Memahami dan mengamalkan nilai-nilai Ahlussunnah wal Jama'ah An-Nahdliyah berarti berkontribusi pada pembangunan peradaban yang berkeadilan, beradab, harmonis, dan sejahtera, sesuai dengan cita-cita Islam sebagai rahmat bagi semesta.

Semoga artikel yang komprehensif ini memberikan pemahaman yang mendalam tentang Ahlussunnah wal Jama'ah An-Nahdliyah dan menginspirasi kita semua untuk terus menyebarkan nilai-nilai moderasi, toleransi, dan kebaikan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

🏠 Homepage