Hari Asyura, yang jatuh pada tanggal 10 Muharram dalam kalender Hijriah, adalah salah satu hari yang paling signifikan dan kaya akan sejarah dalam tradisi Islam. Sepanjang berabad-abad, hari ini telah diselimuti dengan berbagai peristiwa monumental, mulai dari mukjizat kenabian hingga tragedi kemanusiaan yang mendalam. Meskipun sering kali dikaitkan dengan peristiwa tragis, hari ini juga sarat dengan keutamaan, keberkahan, dan pelajaran berharga bagi umat Muslim di seluruh dunia. Dari kisah-kisah pertolongan Allah kepada para nabi hingga pengorbanan agung Ahlul Bait Nabi Muhammad SAW, Asyura mengandung lapisan makna yang mendalam, mendorong refleksi, ibadah, dan solidaritas.
Dalam artikel ini, kita akan menyelami secara komprehensif berbagai aspek seputar Hari Asyura. Kita akan menelusuri asal-usul historisnya yang melampaui masa kenabian Muhammad SAW, menguak berbagai peristiwa penting yang dipercaya terjadi pada hari ini, memahami keutamaan amalan-amalan tertentu seperti puasa, serta membahas perbedaan pandangan dan praktik di antara mazhab-mazhab Islam. Tujuannya adalah untuk memberikan pemahaman yang utuh dan mendalam, jauh dari kesalahpahaman, sehingga umat Muslim dapat menghayati Hari Asyura dengan hikmah dan ketaatan yang benar. Mari kita mulai perjalanan ini untuk mengungkap rahasia dan makna yang terkandung dalam Hari Asyura, hari yang telah membentuk sejarah dan spiritualitas umat Islam selama berabad-abad.
I. Asal-Usul dan Sejarah Hari Asyura
Untuk memahami sepenuhnya makna Hari Asyura, kita harus melihat jauh ke belakang, melampaui era Nabi Muhammad SAW. Hari ini memiliki akar sejarah yang dalam, bahkan sebelum kedatangan Islam, dan telah ditandai oleh serangkaian peristiwa penting yang membentuk narasi keberadaan umat manusia dan perjalanan spiritual para nabi.
A. Asyura di Masa Pra-Islam (Jahiliyah)
Sebelum diutusnya Nabi Muhammad SAW sebagai pembawa risalah terakhir, suku Quraisy di Makkah sudah memiliki tradisi menghormati Hari Asyura. Mereka terbiasa berpuasa pada hari ini. Beberapa riwayat menyebutkan bahwa puasa ini adalah warisan dari ajaran Nabi Ibrahim AS yang tetap dilestarikan, atau sebagai bentuk penebusan dosa atas suatu peristiwa di masa lalu, seperti insiden pembakaran atau perbaikan Ka'bah. Tradisi ini menunjukkan bahwa signifikansi Asyura bukanlah sesuatu yang baru bagi masyarakat Arab, melainkan telah menjadi bagian dari kebudayaan dan spiritualitas mereka jauh sebelum Islam datang membawa risalah terakhir. Keberadaan tradisi ini menegaskan bahwa Hari Asyura telah dianggap istimewa dan memiliki tempat tersendiri dalam kebudayaan Semit kuno, seringkali diasosiasikan dengan rasa syukur atau penebusan dosa.
Ada pula yang berpendapat bahwa puasa Asyura pada masa Jahiliyah dilakukan sebagai penghormatan terhadap hari kemenangan atau keselamatan, mirip dengan yang akan kita lihat pada kisah Nabi Musa AS. Apapun alasan pastinya, pengakuan dan penghormatan terhadap hari ini di kalangan masyarakat Arab pra-Islam menyoroti kedalamannya dalam sejarah spiritual Timur Tengah. Ini juga menjadi bukti bahwa Allah SWT telah menetapkan hari-hari tertentu sebagai momen penting dalam sejarah, bahkan sebelum syariat Islam yang sempurna diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW.
B. Peristiwa Penting pada Hari Asyura dalam Sejarah Para Nabi
Tradisi Islam mencatat berbagai peristiwa luar biasa yang konon terjadi pada Hari Asyura. Meskipun tidak semua riwayat memiliki tingkat kesahihan yang sama dalam kajian hadits, kumpulan kisah ini menambah dimensi spiritual yang kaya pada hari tersebut, menunjukkan betapa Allah SWT telah memilih hari ini untuk manifestasi kebesaran dan pertolongan-Nya kepada para nabi dan kaum yang beriman.
1. Nabi Musa AS dan Penyelamatan Bani Israil
Salah satu peristiwa yang paling sering disebut dan memiliki dasar yang kuat dalam Hadits Shahih adalah penyelamatan Nabi Musa AS dan kaumnya, Bani Israil, dari tirani Firaun. Pada Hari Asyura, Allah SWT atas kehendak-Nya yang agung, membelah Laut Merah, memungkinkan Musa dan pengikutnya melarikan diri dari kejaran Firaun. Ketika Firaun dan pasukannya mencoba mengikuti, laut kembali menyatu, menenggelamkan mereka semua. Kisah epik ini diceritakan dalam Al-Qur'an dan menjadi bukti kebesaran Allah serta pertolongan-Nya kepada hamba-hamba-Nya yang beriman.
"Ketika Nabi Muhammad SAW tiba di Madinah, beliau mendapati orang-orang Yahudi berpuasa pada hari Asyura. Beliau bertanya, 'Puasa apakah ini?' Mereka menjawab, 'Ini adalah hari yang agung, hari di mana Allah menyelamatkan Musa dan kaumnya, dan menenggelamkan Firaun dan kaumnya. Musa berpuasa pada hari ini sebagai bentuk syukur kepada Allah, maka kami pun berpuasa.' Nabi SAW bersabda, 'Kami lebih berhak dan lebih dekat kepada Musa daripada kalian.' Maka Nabi SAW berpuasa pada hari itu dan memerintahkan umatnya untuk berpuasa." (HR. Bukhari dan Muslim)
Riwayat ini menunjukkan bahwa puasa Asyura yang diperintahkan Nabi Muhammad SAW memiliki hubungan langsung dengan tradisi Nabi Musa AS dan merupakan bentuk syukur atas penyelamatan yang agung tersebut. Ini juga menekankan kesinambungan risalah kenabian dan persatuan dalam tujuan ilahi.
2. Nabi Nuh AS dan Kapal Penyelamat
Riwayat lain menyebutkan bahwa Hari Asyura adalah hari di mana kapal Nabi Nuh AS berlabuh dengan selamat di Gunung Judi setelah banjir besar yang menenggelamkan bumi. Setelah berbulan-bulan terombang-ambing di tengah air bah yang maha dahsyat, keselamatan ini menjadi simbol pertobatan, awal yang baru bagi kehidupan di bumi, dan rahmat Allah SWT yang tak terbatas bagi mereka yang beriman dan patuh. Kisah ini, meskipun tidak sekokoh riwayat Musa dalam hadits, sering kali diceritakan untuk menambah keberkahan Hari Asyura, menunjukkan bahwa hari ini adalah hari kembalinya ketenangan dan dimulainya kembali peradaban yang bersih dari dosa. Ini mengajarkan pentingnya ketaatan terhadap perintah Tuhan meskipun harus menghadapi ejekan dan kesulitan yang luar biasa.
3. Peristiwa Lain yang Dikaitkan dengan Hari Asyura
Selain kisah Musa dan Nuh, beberapa tradisi juga mengaitkan berbagai peristiwa penting lainnya dengan Hari Asyura. Meskipun banyak dari riwayat ini memiliki derajat kesahihan yang bervariasi, dengan sebagian besar dianggap lemah atau tidak memiliki dasar yang kuat dalam sumber-sumber otentik hadits, keberadaannya dalam tradisi populer menunjukkan betapa kaya imajinasi dan pengharapan umat Muslim terhadap keberkahan Hari Asyura. Kisah-kisah ini seringkali berfungsi sebagai pengingat akan kebesaran dan kemurahan Allah dalam setiap aspek kehidupan para nabi-Nya:
- Penyembuhan Nabi Ayyub AS: Allah SWT menyembuhkan Nabi Ayyub dari penyakitnya yang parah, setelah beliau menunjukkan kesabaran yang luar biasa selama bertahun-tahun dalam cobaan berat. Kisah ini menjadi simbol ketabahan dan keyakinan teguh di tengah penderitaan.
- Keluarnya Nabi Yunus AS dari Perut Ikan: Nabi Yunus dikeluarkan dari perut ikan paus setelah ia bertaubat dan memohon ampunan kepada Allah. Ini menunjukkan rahmat Allah yang luas dan kekuasaan-Nya untuk menyelamatkan hamba-Nya dari situasi yang mustahil.
- Pertemuan Nabi Adam AS dan Hawa: Setelah terpisah selama bertahun-tahun pasca turun dari surga sebagai hukuman atas pelanggaran, Nabi Adam dan Hawa bertemu kembali di Hari Asyura. Ini melambangkan pengampunan, rekonsiliasi, dan awal dari kehidupan manusia di bumi.
- Keluarnya Nabi Yusuf AS dari Penjara: Nabi Yusuf AS dibebaskan dari penjara setelah melewati berbagai cobaan dan fitnah. Kisah ini adalah simbol keadilan yang pada akhirnya ditegakkan dan janji Allah untuk mengangkat derajat orang-orang yang sabar.
- Kembalinya Penglihatan Nabi Ya'qub AS: Nabi Ya'qub AS mendapatkan kembali penglihatannya setelah bertahun-tahun menangisi putranya, Yusuf. Ini melambangkan harapan yang tidak pernah padam dan kekuasaan Allah untuk mengembalikan apa yang hilang.
- Kelapangan Rezeki Nabi Ibrahim AS: Allah menganugerahkan kekayaan yang melimpah kepada Nabi Ibrahim AS, sebagai balasan atas ketaatan dan pengorbanannya. Kisah ini mengajarkan bahwa kedermawanan dan kepercayaan kepada Allah akan mendatangkan berkah.
- Lahirnya Nabi Isa AS: Beberapa riwayat lemah menyebutkan kelahiran Nabi Isa AS pada Hari Asyura, menambahkan dimensi kenabian yang lebih luas pada hari ini.
Meskipun penting untuk selalu memastikan kesahihan riwayat dalam praktik ibadah, keberadaan kisah-kisah ini dalam narasi Islam secara kolektif memperkaya pemahaman kita tentang Asyura sebagai hari yang penuh dengan intervensi Ilahi dan mukjizat. Mereka semua menunjukkan pertolongan Allah bagi orang-orang yang beriman dan sabar dalam menghadapi tantangan.
II. Signifikansi dalam Islam dan Tragedi Karbala
Setelah menelusuri akar sejarah Asyura sebelum Islam, kita akan membahas bagaimana hari ini mendapatkan makna yang lebih spesifik dan kompleks dalam tradisi Islam, terutama dengan kedatangan Nabi Muhammad SAW dan peristiwa tragis di Karbala.
A. Nabi Muhammad SAW dan Penetapan Puasa Asyura
Sebagaimana telah disebutkan, Nabi Muhammad SAW ketika tiba di Madinah mendapati orang-orang Yahudi berpuasa pada Hari Asyura. Setelah mendengar alasan mereka – sebagai bentuk syukur atas penyelamatan Nabi Musa AS dari Firaun – Nabi SAW bersabda, "Kami lebih berhak dan lebih dekat kepada Musa daripada kalian." Sejak saat itu, beliau memerintahkan umat Islam untuk berpuasa pada Hari Asyura. Pada awalnya, puasa Asyura adalah wajib, namun setelah turunnya perintah puasa Ramadhan, statusnya berubah menjadi sunnah muakkadah (sunnah yang sangat dianjurkan) dan bukan lagi wajib. Ini menunjukkan adaptasi dan evolusi syariat Islam yang menyempurnakan praktik-praktik sebelumnya.
Nabi SAW kemudian menganjurkan untuk menambahkan puasa pada tanggal 9 Muharram (Tasu'a) sebagai pembeda dengan praktik Yahudi. Ini adalah upaya untuk membangun identitas Islam yang unik dan membedakannya dari tradisi agama lain, sekaligus memperluas kesempatan untuk mendapatkan pahala. Beliau bersabda:
"Jika aku masih hidup sampai tahun depan, sungguh aku akan berpuasa pada hari kesembilan (Tasu'a)." (HR. Muslim)
Namun, Nabi SAW wafat sebelum mencapai Muharram tahun berikutnya, sehingga puasa Tasu'a menjadi sunnah yang direkomendasikan untuk mengikuti niat dan keinginan beliau. Puasa dua hari (Tasu'a dan Asyura) ini dianggap sebagai cara terbaik untuk mengamalkan sunnah ini, menggabungkan niat syukur dan pembedaan dari Yahudi.
B. Tragedi Karbala: Syahidnya Imam Husain AS
Bagi sebagian besar Muslim, terutama komunitas Syiah, Hari Asyura tidak dapat dipisahkan dari peristiwa paling menyedihkan dan tragis dalam sejarah Islam: syahidnya cucu kesayangan Nabi Muhammad SAW, Imam Husain bin Ali, bersama anggota keluarganya dan para sahabatnya di padang Karbala, Irak. Peristiwa ini terjadi pada tanggal 10 Muharram, tahun ke-61 Hijriah, hanya beberapa dekade setelah wafatnya Nabi SAW, dan menandai babak baru dalam sejarah dan politik Islam.
Imam Husain menolak untuk membaiat Yazid bin Muawiyah, yang dianggapnya tidak sah dan tidak layak memimpin umat Islam karena perilakunya yang korup dan jauh dari nilai-nilai Islam. Beliau merasa bertanggung jawab untuk menegakkan keadilan dan melawan kezaliman yang semakin merajalela. Imam Husain berangkat dari Madinah menuju Kufah, Irak, setelah mendapat banyak surat dukungan dari penduduk Kufah yang berjanji akan membaiatnya dan mendukung perjuangannya. Namun, janji-janji itu kemudian diingkari.
Di tengah perjalanan, rombongan Imam Husain yang berjumlah sangat sedikit, termasuk wanita dan anak-anak, dihadang oleh pasukan Yazid di padang Karbala. Mereka dikepung selama beberapa hari dan dilarang untuk mendapatkan air dari Sungai Eufrat. Dalam kondisi yang sangat berat dan tanpa harapan untuk menang secara militer, Imam Husain dan para pengikutnya yang setia bertempur dalam sebuah peperangan yang tidak seimbang. Satu per satu, para sahabat dan anggota keluarga Imam Husain gugur sebagai syuhada, hingga akhirnya beliau sendiri syahid secara tragis dalam pertempuran tersebut.
Tragedi Karbala adalah titik balik dalam sejarah Islam, yang secara mendalam memperkuat perbedaan antara Sunni dan Syiah. Bagi Syiah, Asyura adalah hari berkabung dan ratapan yang paling intens, hari untuk mengenang pengorbanan, keberanian, dan penegakan keadilan oleh Imam Husain. Ini adalah hari untuk meratapi kehilangan cucu Nabi dan semua yang syahid bersamanya, serta untuk merenungkan nilai-nilai keadilan, kebenaran, dan perlawanan terhadap kezaliman. Peristiwa ini diperingati dengan majelis duka, prosesi berkabung, dan pembacaan kisah syahidnya Imam Husain.
Meskipun mayoritas Muslim Sunni juga mengakui kesedihan dan kebiadaban tragedi Karbala, serta menghormati Imam Husain sebagai seorang syahid besar, fokus mereka pada Hari Asyura cenderung lebih kepada puasa sunnah dan peristiwa-peristiwa positif yang terkait dengan para nabi sebelumnya sebagai bentuk syukur. Namun, pengakuan atas pengorbanan Imam Husain adalah universal di kalangan umat Islam, meskipun bentuk penghormatannya berbeda dan tidak diwujudkan dalam ritual berkabung massal seperti di kalangan Syiah.
III. Keutamaan dan Hikmah Puasa Asyura
Puasa Asyura adalah amalan yang paling ditekankan pada hari ini, dengan keutamaan yang sangat besar di sisi Allah SWT. Memahami keutamaan ini akan mendorong umat Muslim untuk tidak menyia-nyiakan kesempatan berharga ini untuk mendekatkan diri kepada-Nya.
A. Penghapus Dosa Setahun yang Lalu
Keutamaan terbesar puasa Asyura disebutkan secara eksplisit dalam sabda Nabi Muhammad SAW:
"Puasa hari Arafah (9 Dzulhijjah) menghapus dosa dua tahun yang telah lalu dan yang akan datang. Dan puasa hari Asyura (10 Muharram) menghapus dosa setahun yang telah lalu." (HR. Muslim)
Hadits ini menunjukkan bahwa puasa Asyura adalah sarana yang luar biasa untuk mendapatkan ampunan dari Allah SWT atas dosa-dosa kecil yang telah dilakukan selama setahun sebelumnya. Ini adalah hadiah dari Allah bagi hamba-hamba-Nya yang ingin membersihkan diri dan mendekatkan diri kepada-Nya. Tentu saja, pengampunan ini umumnya dipahami berlaku untuk dosa-dosa kecil, sementara dosa besar membutuhkan taubat nasuha (taubat yang sungguh-sungguh) dengan memenuhi syarat-syaratnya, seperti menyesal, berhenti dari dosa, bertekad tidak mengulangi, dan jika terkait hak orang lain, mengembalikannya.
Keutamaan ini menjadi motivasi besar bagi umat Muslim untuk berpuasa, bukan hanya karena pahalanya yang besar tetapi juga karena janji pengampunan yang membebaskan jiwa dari beban dosa, memberikan kesempatan untuk memulai lembaran spiritual yang lebih bersih di tahun Hijriah yang baru.
B. Hukum Puasa Asyura
Sebagaimana telah dijelaskan, puasa Asyura pada awalnya wajib, tetapi kemudian menjadi sunnah muakkadah setelah diwajibkannya puasa Ramadhan. Meskipun berstatus sunnah, anjuran Nabi SAW untuk berpuasa ini sangat kuat, sehingga meninggalkannya berarti kehilangan pahala yang besar dan kesempatan berharga. Untuk membedakan praktik Muslim dari Yahudi dan mengikuti anjuran Nabi SAW, disarankan untuk mengamalkan puasa pada tanggal 9 Muharram (Tasu'a) bersama dengan 10 Muharram (Asyura).
Tingkatan puasa Asyura yang paling utama adalah berpuasa pada tanggal 9 dan 10 Muharram (Tasu'a dan Asyura). Jika tidak memungkinkan, berpuasa pada tanggal 10 Muharram saja tetap diperbolehkan dan mendapatkan keutamaan. Beberapa ulama juga menganjurkan untuk berpuasa pada tanggal 11 Muharram sebagai kehati-hatian atau jika tidak dapat berpuasa pada tanggal 9, sehingga berpuasa pada tanggal 10 dan 11 Muharram. Ini memberikan fleksibilitas bagi umat Muslim untuk tetap meraih keutamaan hari Asyura sesuai dengan kemampuan dan kondisi masing-masing.
C. Hikmah di Balik Puasa Asyura
Selain pengampunan dosa, ada banyak hikmah spiritual dan pelajaran berharga di balik anjuran puasa Asyura yang dapat diambil oleh seorang Muslim:
- Syukur kepada Allah: Puasa ini adalah bentuk syukur yang mendalam atas pertolongan Allah kepada para nabi-Nya dan penyelamatan orang-orang beriman dari kezaliman. Ini mengajarkan kita untuk selalu mengakui kebesaran dan rahmat Allah dalam setiap aspek kehidupan kita, baik di masa lalu maupun sekarang.
- Meningkatkan Ketaqwaan: Dengan berpuasa, seorang Muslim melatih kesabaran, pengendalian diri dari hawa nafsu, dan meningkatkan kesadaran akan kehadiran Allah (muraqabah). Ini memperkuat ikatan spiritual dengan Sang Pencipta dan membentuk karakter yang lebih bertaqwa.
- Mengingat Sejarah Kenabian: Puasa Asyura mengingatkan umat Muslim akan sejarah panjang perjuangan para nabi dalam menegakkan tauhid dan menghadapi cobaan. Ini menginspirasi kita untuk meneladani keteguhan dan kesabaran mereka dalam menghadapi tantangan hidup.
- Solidaritas Umat: Meskipun ada perbedaan dalam penghayatan hari ini, puasa Asyura dapat menjadi titik temu spiritual yang mengingatkan pada nilai-nilai persatuan dan kasih sayang dalam umat Islam, di mana semua merayakan keberkahan dan mengambil pelajaran dari sejarah.
- Pembersihan Diri dan Pembaharuan: Ini adalah kesempatan tahunan untuk melakukan introspeksi, bertaubat, dan memohon ampunan. Dengan memulai tahun baru Hijriah dengan lembaran yang lebih bersih, seorang Muslim diharapkan dapat menjalani sisa tahun dengan semangat kebaikan dan ketaatan yang lebih besar.
- Melatih Disiplin Diri: Puasa mengajarkan disiplin, tidak hanya dalam menahan lapar dan haus, tetapi juga dalam mengendalikan lisan, pandangan, dan pikiran dari hal-hal yang tidak bermanfaat.
- Empati terhadap Sesama: Dengan merasakan lapar dan haus, seorang yang berpuasa akan lebih mudah merasakan penderitaan orang-orang miskin dan yang kelaparan, mendorong munculnya rasa empati dan kedermawanan.
IV. Amalan-Amalan Lain yang Dianjurkan di Hari Asyura
Selain puasa, ada beberapa amalan lain yang, meskipun tidak semuanya memiliki dasar hadits sekuat puasa Asyura atau mungkin diperdebatkan kesahihannya, sering kali dikaitkan dan dianjurkan oleh sebagian ulama dan masyarakat Muslim sebagai bentuk kebaikan dan penghormatan pada hari istimewa ini.
A. Memperluas Rezeki Keluarga
Salah satu amalan yang disebutkan dalam beberapa riwayat, meskipun dengan tingkat kesahihan yang diperdebatkan oleh sebagian ulama Hadits (namun diamalkan oleh sebagian ulama besar seperti Imam Ahmad bin Hanbal), adalah memperluas nafkah atau rezeki bagi keluarga di Hari Asyura. Hadits yang sering dikutip adalah:
"Barang siapa melapangkan keluarganya pada Hari Asyura, maka Allah akan melapangkannya sepanjang tahun." (HR. Al-Baihaqi dalam Syu'ab al-Iman)
Terlepas dari perdebatan sanadnya, makna "melapangkan" ini diinterpretasikan sebagai memberikan kebahagiaan lebih kepada keluarga, seperti memasak hidangan istimewa yang sedikit lebih mewah dari biasanya, membeli sesuatu yang disukai anggota keluarga, memberikan hadiah kecil, atau meluangkan waktu berkualitas bersama mereka. Ini bukan berarti berlebihan atau boros, melainkan menunjukkan rasa syukur dan kepedulian terhadap keluarga. Praktik ini secara historis telah diamalkan di banyak komunitas Muslim, dan dianggap sebagai salah satu cara untuk menyemarakkan Hari Asyura dengan kebahagiaan dan berkah, serta harapan akan kelapangan rezeki di masa mendatang.
Hikmah dari amalan ini adalah mengajarkan kedermawanan, perhatian terhadap kesejahteraan keluarga, dan optimisme bahwa dengan memberi dan berbagi, Allah akan membalas dengan lebih banyak kebaikan. Ini juga memperkuat ikatan kekeluargaan dan menciptakan suasana positif di rumah.
B. Bersedekah
Bersedekah adalah amalan mulia yang dianjurkan kapan saja, dan lebih dianjurkan lagi pada hari-hari istimewa seperti Asyura. Dengan bersedekah, seorang Muslim tidak hanya membantu sesama, tetapi juga membersihkan hartanya, mensucikan jiwa, dan mendekatkan diri kepada Allah SWT. Memberi makan fakir miskin, menyantuni anak yatim, atau membantu mereka yang membutuhkan adalah bentuk-bentuk sedekah yang sangat dianjurkan. Nabi Muhammad SAW sangat menekankan pentingnya sedekah, dan melakukannya di hari yang penuh berkah seperti Asyura dapat melipatgandakan pahala dan keberkahan.
C. Mengusap Kepala Anak Yatim
Mengusap kepala anak yatim merupakan simbol kasih sayang, kepedulian, dan pengasuhan. Nabi Muhammad SAW sangat menganjurkan untuk menyayangi dan merawat anak yatim, bahkan beliau bersabda bahwa orang yang menanggung anak yatim akan bersamanya di surga seperti dua jari yang berdekatan. Di Hari Asyura, amalan ini menjadi lebih bermakna karena mengingatkan pada kesedihan dan pengorbanan, serta pentingnya merawat mereka yang lemah dan membutuhkan. Memberikan kebahagiaan, perhatian, dan bantuan kepada anak yatim adalah salah satu cara terbaik untuk mendapatkan rahmat Allah dan meneladani akhlak mulia Nabi SAW.
D. Mandi dan Memakai Wangi-wangian (Celak)
Beberapa tradisi dan ulama menganjurkan untuk mandi (ghusl) dan memakai wangi-wangian (minyak wangi atau celak) di Hari Asyura. Amalan ini, meskipun tidak didasarkan pada hadits shahih yang secara khusus memerintahkan, seringkali dilakukan sebagai bentuk tazyin (perhiasan atau memperindah diri), membersihkan diri, dan persiapan untuk ibadah, atau sebagai simbol kesucian dan kegembiraan. Namun, penting untuk diingat bahwa amalan ini bersifat sekunder dan tidak memiliki keutamaan sekuat puasa. Niatnya haruslah untuk kebersihan dan kerapian sebagai seorang Muslim, bukan sebagai ritual wajib yang membawa pahala khusus di hari itu.
E. Ziarah dan Silaturahmi
Menziarahi orang sakit, mengunjungi makam, atau bersilaturahmi dengan kerabat dan tetangga juga dianggap sebagai amalan baik yang dapat diperbanyak pada Hari Asyura. Mempererat tali persaudaraan (silaturahmi) dan mengunjungi mereka yang membutuhkan dukungan sosial dan moral adalah nilai-nilai universal dalam Islam yang sangat dianjurkan kapan saja, dan lebih lagi pada hari-hari istimewa. Ini adalah cara untuk membangun komunitas yang kuat dan saling peduli.
F. Memperbanyak Doa, Dzikir, dan Istighfar
Meskipun tidak ada doa atau dzikir khusus yang diajarkan Nabi SAW secara spesifik dengan lafaz tertentu untuk Hari Asyura selain puasa, memperbanyak doa, dzikir, istighfar (memohon ampunan), membaca shalawat kepada Nabi SAW, dan membaca Al-Qur'an adalah amalan yang selalu dianjurkan dan akan mendatangkan pahala berlipat. Muslim dapat memanjatkan doa-doa pribadi, memohon ampunan, rahmat, keberkahan, dan segala kebaikan dunia akhirat dari Allah SWT. Mengisi Hari Asyura dengan zikir dan ibadah ini akan menambah kekhusyukan dan kesadaran spiritual.
V. Perbedaan Pandangan dan Praktik di Hari Asyura
Signifikansi Hari Asyura memiliki resonansi yang berbeda di antara berbagai mazhab dan komunitas dalam Islam, terutama antara Sunni dan Syiah. Memahami perbedaan ini adalah kunci untuk menghargai keragaman dalam umat dan mendorong saling pengertian serta persatuan.
A. Pandangan dan Praktik Muslim Sunni
Bagi mayoritas Muslim Sunni, Hari Asyura adalah hari yang mulia dan penuh berkah. Fokus utama mereka adalah pada:
- Puasa Sunnah: Puasa pada tanggal 9 (Tasu'a) dan 10 Muharram (Asyura) adalah amalan yang paling ditekankan, sebagai bentuk syukur atas penyelamatan Nabi Musa AS dari Firaun, meneladani sunnah Nabi Muhammad SAW, dan meraih pengampunan dosa setahun yang lalu.
- Syukur dan Kegembiraan: Hari ini dianggap sebagai hari di mana Allah menunjukkan kekuatan-Nya dalam menyelamatkan hamba-hamba-Nya yang beriman. Oleh karena itu, suasana yang lebih dominan adalah syukur dan kegembiraan, meskipun tidak melupakan aspek introspeksi dan ibadah yang mendalam.
- Mengenang Kisah Nabi-nabi: Cerita-cerita tentang Nabi Nuh, Nabi Yunus, dan nabi-nabi lainnya yang konon mengalami peristiwa penting pada hari ini juga sering diceritakan untuk menambah makna dan pelajaran, menekankan kebesaran dan pertolongan Allah.
- Amalan Lain: Amalan seperti memperluas nafkah keluarga, bersedekah, dan mengusap kepala anak yatim juga dipraktikkan oleh sebagian Sunni sebagai bentuk kebaikan umum yang dianjurkan dalam Islam, dengan harapan mendapatkan berkah di hari yang istimewa.
Mengenai tragedi Karbala, Muslim Sunni juga merasakan kesedihan dan mengakui kezaliman yang menimpa Imam Husain. Mereka menghormati Imam Husain sebagai seorang syahid besar, cucu Nabi, dan pemimpin yang memperjuangkan keadilan. Namun, mereka tidak mengubah Hari Asyura menjadi hari berkabung atau ratapan publik yang diwujudkan dalam ritual-ritual khusus. Hal ini karena tidak ada dasar sunnah Nabi SAW yang secara eksplisit mengajarkan hal tersebut, dan mereka berpegang pada ajaran Nabi yang menekankan kesabaran dan tidak berduka secara berlebihan lebih dari tiga hari, kecuali bagi wanita yang ditinggal mati suaminya.
B. Pandangan dan Praktik Muslim Syiah
Bagi Muslim Syiah, Hari Asyura adalah hari yang paling sakral dan juga paling menyedihkan dalam kalender Hijriah. Ini adalah hari berkabung dan ratapan yang mendalam atas syahidnya Imam Husain AS di Karbala, yang mereka pandang sebagai puncak penindasan dan pengorbanan dalam sejarah Islam. Fokus utama mereka adalah:
- Berkabung dan Duka Cita: Asyura adalah hari untuk mengenang pengorbanan Imam Husain, keluarganya, dan para sahabatnya. Praktik-praktik duka cita seperti memakai pakaian hitam, berpartisipasi dalam prosesi berkabung (majlis al-aza), membaca maqtal (narasi tentang pembunuhan yang menyayat hati), dan melakukan ritual tertentu seperti matam (memukul dada sebagai tanda duka cita) adalah hal yang umum. Beberapa kelompok kecil bahkan melakukan tatbir (memukul diri dengan rantai atau pedang), meskipun praktik ini ditolak oleh mayoritas ulama Syiah kontemporer karena dianggap merusak tubuh dan citra Islam.
- Renungan dan Introspeksi: Selain duka, Asyura juga menjadi hari untuk merenungkan nilai-nilai keadilan, keberanian, ketabahan, dan penolakan terhadap kezaliman yang diperjuangkan oleh Imam Husain. Ini adalah panggilan untuk meneladani perjuangan beliau dalam menghadapi tirani.
- Puasa (dengan Perbedaan): Beberapa Syiah juga berpuasa pada Hari Asyura, tetapi dengan niat yang berbeda – sebagai bentuk kesedihan dan empati terhadap Imam Husain yang kelaparan dan kehausan di Karbala, bukan sebagai bentuk syukur atas penyelamatan Nabi Musa. Sebagian lagi bahkan menghindari puasa penuh untuk menunjukkan kesedihan, atau berpuasa sampai siang saja sebagai tanda simpati.
- Doa dan Ziarah: Doa-doa khusus (seperti Ziarat Asyura yang dibaca di Karbala atau dari jauh) dan ziarah ke makam Imam Husain di Karbala, jika memungkinkan, adalah amalan penting untuk menyatakan kesetiaan dan duka cita.
Bagi Syiah, peristiwa Karbala adalah inti dari Hari Asyura, yang melambangkan perjuangan abadi antara kebenaran dan kebatilan, serta pengorbanan tertinggi demi menjaga kemurnian Islam. Mereka melihat Imam Husain sebagai simbol perlawanan terhadap penindasan dan pelindung nilai-nilai otentik kenabian dan kepemimpinan ilahi.
C. Pentingnya Saling Menghormati
Perbedaan dalam penghayatan Hari Asyura ini seringkali menjadi sumber kesalahpahaman dan bahkan ketegangan. Namun, sangat penting bagi seluruh umat Islam untuk mempraktikkan toleransi dan saling menghormati. Baik Sunni maupun Syiah sama-sama mencintai Nabi Muhammad SAW dan Ahlul Baitnya, termasuk Imam Husain, dan mengakui kesyahidan beliau. Perbedaan terletak pada cara mereka mengekspresikan cinta dan penghormatan tersebut, serta pada penekanan historis dan teologis yang berbeda.
Memahami perspektif masing-masing adalah langkah pertama menuju persatuan umat. Mengakui bahwa ada berbagai cara yang sah dalam Islam untuk menghormati peristiwa penting dalam sejarah adalah fundamental untuk membangun jembatan komunikasi dan mengurangi ketegangan. Fokus pada nilai-nilai bersama seperti tauhid, kenabian Muhammad SAW, Al-Qur'an, dan cinta kepada Ahlul Bait dapat menjadi dasar untuk saling mendekat dan menghargai keberagaman dalam batas-batas syariat Islam.
VI. Hikmah dan Pelajaran dari Hari Asyura
Terlepas dari perbedaan dalam praktik dan penekanan, Hari Asyura menawarkan banyak hikmah dan pelajaran universal yang relevan bagi seluruh umat manusia, khususnya umat Islam. Hari ini adalah cerminan dari pertarungan abadi antara kebenaran dan kebatilan, antara kezaliman dan keadilan, serta antara kesedihan dan harapan akan pertolongan Ilahi.
A. Pentingnya Bersyukur dan Mengingat Nikmat Allah
Kisah Nabi Musa AS dan penyelamatan Bani Israil menjadi pengingat abadi akan pentingnya bersyukur kepada Allah atas segala nikmat dan pertolongan-Nya. Dalam kehidupan ini, kita seringkali dihadapkan pada kesulitan dan cobaan, dan kisah Asyura mengajarkan kita bahwa setelah kesulitan pasti ada kemudahan, dan pertolongan Allah selalu dekat bagi hamba-hamba-Nya yang bersabar dan bertawakal. Syukur adalah kunci untuk membuka lebih banyak pintu rezeki dan kebahagiaan dari Allah.
B. Keberanian dan Keteguhan dalam Menegakkan Kebenaran
Tragedi Karbala, meskipun menyedihkan, juga menjadi simbol keberanian dan keteguhan Imam Husain dalam menegakkan kebenaran melawan kezaliman. Ini adalah pelajaran tentang pentingnya berpegang teguh pada prinsip-prinsip Ilahi, bahkan ketika menghadapi tekanan dan ancaman yang luar biasa. Pengorbanan Imam Husain mengajarkan bahwa ada nilai-nilai yang lebih tinggi dari kehidupan itu sendiri, yaitu keadilan, kebenaran, dan menjaga kemuliaan agama. Dalam konteks modern, ini bisa diartikan sebagai keberanian untuk berbicara kebenaran, menolak korupsi, dan membela hak-hak orang yang tertindas.
C. Kesabaran dan Ketaqwaan dalam Cobaan
Kisah Nabi Nuh AS, Nabi Ayyub AS, dan banyak nabi lainnya yang dikaitkan dengan Asyura, semuanya menekankan pentingnya kesabaran (sabr) dan ketaqwaan (taqwa) dalam menghadapi cobaan hidup. Cobaan adalah bagian tak terpisahkan dari perjalanan spiritual setiap manusia. Asyura mengingatkan kita bahwa dengan kesabaran dan keteguhan iman, pertolongan Allah akan datang, dan setiap kesulitan pasti akan berakhir dengan kebaikan dari-Nya. Ini adalah pelajaran tentang pentingnya tawakal dan Husnuzan (berprasangka baik) kepada Allah.
D. Pentingnya Taubat dan Memulai Lembaran Baru
Asyura, dengan keutamaan pengampunan dosa melalui puasa, adalah kesempatan untuk bertaubat dan memulai lembaran baru dalam hidup. Ini adalah ajakan untuk membersihkan diri dari kesalahan masa lalu, memperbaiki niat, dan berkomitmen untuk menjadi Muslim yang lebih baik di masa depan. Setiap awal tahun Hijriah, dan khususnya di Hari Asyura, adalah momen refleksi dan pembaharuan diri, sebuah panggilan untuk kembali ke fitrah dan menguatkan hubungan dengan Allah SWT. Taubat yang tulus akan menghapus dosa dan membuka pintu rahmat.
E. Kasih Sayang dan Kedermawanan
Amalan-amalan seperti memperluas nafkah keluarga, bersedekah, dan mengusap kepala anak yatim di Hari Asyura menegaskan nilai-nilai kasih sayang, empati, dan kedermawanan dalam Islam. Agama ini tidak hanya mengajarkan ritual ibadah, tetapi juga hubungan sosial yang kuat dan kepedulian terhadap sesama, terutama mereka yang rentan dan membutuhkan. Memberi dan berbagi adalah inti dari ajaran sosial Islam, yang menumbuhkan rasa persaudaraan dan kebersamaan dalam masyarakat.
VII. Mitos dan Kesalahpahaman Umum tentang Asyura
Seiring dengan makna dan keutamaan yang benar, Hari Asyura juga seringkali diselimuti oleh beberapa mitos dan kesalahpahaman yang perlu diluruskan agar umat Muslim dapat mengamalkan ibadah dengan benar sesuai tuntunan syariat.
A. Ritual Khusus yang Tidak Berdasar Sunnah
Di beberapa komunitas, ada praktik-praktik yang dilakukan pada Hari Asyura yang tidak memiliki dasar kuat dalam Al-Qur'an maupun Sunnah Nabi Muhammad SAW. Contohnya termasuk keyakinan bahwa Hari Asyura adalah hari di mana seseorang harus melakukan hal-hal tertentu seperti mengenakan pakaian baru, memakai henna, memasak makanan tertentu sebagai jimat keberuntungan, melakukan ritual air tertentu dengan harapan akan mendatangkan berkah khusus, atau bahkan kepercayaan takhayul seperti mengikat tali pada dahan pohon untuk umur panjang. Praktik-praktik ini, yang seringkali merupakan inovasi (bid'ah) atau kebiasaan lokal, dapat mengaburkan esensi ibadah yang sebenarnya.
Penting bagi umat Muslim untuk selalu merujuk kepada sumber-sumber ajaran Islam yang otentik (Al-Qur'an dan Sunnah Nabi SAW melalui hadits-hadits yang shahih) dan panduan dari ulama yang kompeten dalam menentukan amalan yang benar. Menambahkan ritual yang tidak diajarkan oleh Nabi SAW, meskipun dengan niat baik, bisa menjadi bid'ah yang dapat menjauhkan dari sunnah.
B. Menjadikan Asyura sebagai Hari Perayaan atau Duka Berlebihan
Meskipun ada alasan untuk bersyukur atas penyelamatan Nabi Musa AS dan untuk berduka atas tragedi Karbala, penting untuk menjaga keseimbangan dalam penghayatan Hari Asyura. Menjadikan Asyura sebagai hari perayaan yang berlebihan dengan pesta pora, tarian, atau hiburan yang melalaikan bisa menyimpang dari esensi ibadah dan introspeksi yang dianjurkan. Sebaliknya, meratapi tragedi Karbala secara berlebihan hingga mengabaikan puasa dan amalan kebaikan lain yang dianjurkan Nabi SAW, atau melakukan ritual-ritual yang dapat membahayakan diri sendiri, juga perlu diperhatikan.
Islam mengajarkan moderasi (wasathiyah) dalam segala hal. Kita bersyukur dengan berpuasa dan beribadah, dan kita berduka dengan introspeksi, doa, dan mengambil pelajaran dari pengorbanan. Keduanya harus berada dalam koridor ajaran Islam, yang menjunjung tinggi kesehatan fisik dan mental serta menghindari ekstremisme dalam segala bentuk.
C. Keyakinan tentang Kekuatan Gaib Hari Asyura
Ada juga kesalahpahaman yang mengaitkan Hari Asyura dengan kekuatan gaib atau mistis tertentu yang dapat memberikan keberuntungan instan atau melindungi dari nasib buruk secara otomatis, tanpa upaya atau ketaatan yang sebenarnya. Ini adalah pandangan yang tidak sesuai dengan ajaran tauhid. Keberkahan Hari Asyura datang dari ketaatan kepada Allah melalui ibadah yang benar dan ikhlas, bukan dari kekuatan magis hari itu sendiri atau dari ritual takhayul. Keyakinan semacam ini dapat mengarah pada syirik kecil (menyekutukan Allah) jika seseorang menggantungkan harapan pada selain Allah.
VIII. Persiapan Menjelang Hari Asyura
Agar dapat menghayati Hari Asyura dengan sebaik-baiknya dan meraih seluruh keberkahannya, ada beberapa persiapan yang dapat dilakukan oleh umat Muslim secara fisik, mental, dan spiritual.
A. Niat yang Tulus dan Jelas
Niat adalah fondasi dari setiap amalan dalam Islam. Sebelum berpuasa atau melakukan amalan lain, pastikan niat kita adalah semata-mata karena Allah SWT, mengikuti sunnah Nabi-Nya, dan meraih keridaan-Nya. Niat puasa Tasu'a (9 Muharram) dapat dilakukan pada malam hari sebelumnya (sebelum fajar shadiq), begitu pula niat puasa Asyura (10 Muharram). Niat yang tulus akan memastikan amalan kita diterima di sisi Allah dan mendapatkan pahala yang sempurna.
B. Memahami Sejarah dan Keutamaan secara Mendalam
Membaca dan memahami sejarah Hari Asyura secara komprehensif, baik dari sudut pandang penyelamatan para nabi maupun tragedi Karbala, akan memperkaya penghayatan kita. Mengetahui keutamaan puasa Asyura yang dapat menghapus dosa setahun yang lalu akan memotivasi kita untuk tidak melewatkan kesempatan emas ini. Pengetahuan yang benar akan membimbing kita untuk mengamalkan sunnah dengan dasar yang kuat dan menjauhkan diri dari bid'ah atau kesalahpahaman.
C. Mempersiapkan Diri Secara Fisik dan Spiritual
Jika berencana untuk berpuasa, pastikan tubuh dalam kondisi sehat. Sahur sebelum berpuasa adalah sunnah yang sangat dianjurkan dan memiliki keberkahan. Selain itu, persiapkan diri secara spiritual dengan memperbanyak dzikir, doa, istighfar, membaca shalawat kepada Nabi, dan membaca Al-Qur'an. Manfaatkan hari-hari awal Muharram untuk meningkatkan ibadah secara umum, menata hati, dan membersihkan jiwa.
D. Rencanakan Amalan Kebaikan
Identifikasi amalan kebaikan apa saja yang ingin dilakukan pada Hari Asyura. Apakah itu bersedekah kepada fakir miskin, mengunjungi orang sakit, meluangkan waktu berkualitas bersama keluarga, membaca shalawat sebanyak-banyaknya, atau bersilaturahmi dengan kerabat. Merencanakan akan membantu kita memanfaatkan hari ini secara maksimal dan memastikan kita tidak melewatkan kesempatan untuk berbuat kebaikan yang dapat mendatangkan pahala berlipat.
E. Jaga Persatuan dan Hindari Perpecahan
Di Hari Asyura, penting untuk menjunjung tinggi nilai persatuan umat. Hindari perdebatan yang tidak perlu atau tindakan yang dapat memicu perpecahan dan permusuhan di antara sesama Muslim. Fokus pada nilai-nilai universal Islam seperti kebaikan, kasih sayang, keadilan, dan persaudaraan. Ingatlah bahwa Allah mencintai hamba-hamba-Nya yang bersatu dalam ketaatan dan kasih sayang, dan Rasulullah SAW sangat membenci perpecahan dalam umatnya.
IX. Kesimpulan: Merangkul Makna Asyura yang Abadi
Hari Asyura, 10 Muharram, adalah sebuah kanvas sejarah yang dilukis dengan peristiwa-peristiwa besar, mulai dari penyelamatan para nabi hingga pengorbanan agung Ahlul Bait Nabi Muhammad SAW. Hari ini adalah cerminan dari pertarungan abadi antara kebenaran dan kebatilan, antara kezaliman dan keadilan, serta antara kesedihan dan harapan akan pertolongan Ilahi. Ini adalah hari yang mengajarkan kita tentang keteguhan iman, keberanian dalam menghadapi tantangan, dan rahmat Allah yang tak terbatas.
Bagi umat Muslim, Asyura adalah kesempatan emas untuk memperbaharui komitmen kita kepada Allah SWT. Melalui puasa, kita bersyukur atas nikmat dan mendapatkan pengampunan dosa. Melalui renungan, kita mengambil pelajaran dari ketabahan para nabi dan keberanian Imam Husain dalam menghadapi cobaan. Melalui amalan kebaikan, kita menegaskan kembali nilai-nilai kasih sayang, kedermawanan, dan solidaritas sosial yang menjadi inti ajaran Islam. Ini adalah momentum untuk mengingat kembali akar-akar spiritual kita dan memperkuat pondasi keimanan.
Terlepas dari perbedaan dalam penghayatan historis dan emosional, benang merah yang mengikat semua Muslim pada Hari Asyura adalah kesadaran akan kebesaran Allah, pentingnya ketaatan, dan urgensi untuk selalu berdiri di sisi kebenaran dan keadilan. Mari kita jadikan Hari Asyura sebagai momentum untuk introspeksi diri, meningkatkan spiritualitas, dan memperkuat ikatan persaudaraan sesama Muslim, sehingga kita dapat melangkah maju dengan hati yang lebih bersih dan tekad yang lebih kuat dalam menjalani kehidupan sesuai tuntunan Islam.
Semoga Allah SWT menerima amalan kita, mengampuni dosa-dosa kita, dan melimpahkan keberkahan serta rahmat-Nya kepada kita semua di Hari Asyura ini dan sepanjang tahun. Amin.